Aku hampir gila, karena dihadapkan pada dua wanita.
Nadira adalah gadis pilihanku, sedangkan Naura adalah gadis pilihan ibu.
Jika tetap mempertahankan Nadira, maka hati ibulah yang akan tersakiti, tetapi jika memilih wanita pilihan ibu, maka aku harus siap melihat Nadira terluka dan kecewa.
lalu aku harus bagaimana? Apa aku bisa mencintai wanita pilihan ibu seperti aku mencintai Nadira?
hai...mampir yuk di cerita terbaruku!
jangan lupa like dan komen ya.. terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 24
"Bahkan aku tidak menemukan setitik darah pun saat malam pertama kami. jika dia tidak bisa menjaga harga dirinya, bagaimana dia bisa menjaga harga diriku nanti? Bagaimana nasib keturunan kami nanti yang akan lahir dari rahimnya? Apa dia bisa menyandang gelar ibu terbaik untuk anak kami nanti?"
Aku yang menjadi pendengar cerita mas Rafka hanya bisa diam seribu bahasa.
Aku takut salah dalam memberikan pendapat pada mas Rafka. Sebagai wanita yang tengah bersaing mendapat perhatian dari mas Rafka, aku juga tidak ingin mempunyai pikiran kotor atau mempengaruhi mas Rafka untun menceraikan Nadira.
Biar saja mas Rafka menyelesaikan masalahnya sendiri.
***
"Mas.. mas Rafka..."
Aku memangil mas Rafka berulang kali namun belum juga ada sahutan.
Setelah tadi malam aku mengeluarkan sedikit noda merah, pagi ini perutku terasa mulas.
Bahkan semakin lama rasa mulas itu tidak tertahankan.
Sebagai wanita yang baru pertama kali mengandung, tentu aku sedikit panik. Apa aku akan melahirkan?
Sekuat tenaga aku keluar dari kamar mandi. Sementara wajahku seperti sudah basah oleh keringat.
"Mas..."
Aku memanggil kembali mas Rafka sambil membuka pintu kamar. Dari kejauhan, aku melihat mas Rafka berdiri di ruang tamu sambil tangannya terletak di sebelah telinga. Ia tampak serius berbicara dengan seseorang.
Karena perut yang semakin sakit, setengah berteriak aku memanggil mas Rafka.
"Mas..tolong aku!"
Mendengar panggilanku, mas Rafka segera memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana. Mas Rafka lantas berlari mendekat padaku.
"Kamu..kenapa?"
"Perutku sakit, mas. Tolong aku." Pintaku.
Mas Rafka tampak panik. Ia memegang tanganku, lalu menuntunku kesebuah kursi.
"Duduk dulu. Aku telpon ibu sebentar."
Setelah meminta saran dari ibu, akhirnya aku dan mas Rafka bergegas ke rumah sakit.
***
"Pak, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Allah berkehendak lain. Anak bapak meninggal dunia."
Kalimat dokter bagai petir yang menyambar tubuhku.
Ibu yang berada di sampingku sudah jatuh tergeletak tak sadarkan diri.
Belum sempat aku bertanya lebih rinci, dokter dan suster tersebut sudah pergi dengan alasan akan mengurus Naura yang koma.
Sementara ibu, sudah diurus oleh suster yang lain.
Aku belum tahu penyebab bayi kami meninggal. Sekarang pikiranku sedang kacau. Naura koma dan sekarang bayi kami harus kubawa pulang untuk dikebumikan.
Tanganku gemetar menerima jenazah bayi kecil yang kemerahan dari tangan suster.
Tangisku pecah. Berbagai perasaan berkecamuk di dada.
Tuhan...apa ini karma untukku?
Aku pulang bersama ambulan rumah sakit. Sementara ibu masih belum siuman.
Rumahku sudah ramai oleh tetangga. Beruntung aku sempat memberi kabar pada ketua RT di kompleks perumahan kami.
"Yang sabar ya Raf.."
Beberapa warga mencoba menghiburku.
Tapi..disuasana duka seperti ini, siapa yang bisa tersenyum?
Bahkan jika tidak ada orang, ingin rasanya aku menangis.
Sekarang aku hanya bisa merenung diatas pusara bertanah merah milik putri perempuan kami.
Kuberi ia nama Aisyah meski tanpa persetujuan Naura.
Pemakaman ini sudah sepi. Gerimis masih setia menemani. "Nak, mengapa kamu yang harus menanggung kesalahan ayah? Ayah sudah menerima kehadiran kamu dengan setulus hati ayah. Ayah juga sudah mencintai ibu kamu? Lalu..mengapa kamu pergi? Mengapa kamu tidak ingin menjadi pelengkap dikeluarga ayah?"
Ucap batinku pilu.
Aku beranjak pulang ke rumah karena hari semakin gelap.
Sampai di rumah, aku segera mandi lalu bersiap untuk kembali ke rumah sakit. Aku ingin menemui dokter untuk menanyakan penyebab kematian putri kami.
***
"Bu.. bagaimana keadaan ibu?"
Aku menggenggam tangan keriput ibu.
Ibu menyeka air matanya. "Kenapa cucu ibu bisa meninggal Raf?"
Aku menghela napas berat. Jika berbicara tentang putriku, selalu saja ada desakan air yang memenuhi mataku.
"Ibu..mau lihat wajah cucu ibu, Raf!"
Aku memeluk ibu. Mencoba menguatkan ibu, meski aku sendiri rapuh.
Ibu terisak di pelukanku.
"Bu.. Aisyah sudah bersama Allah. Aisyah sudah bahagia di sana." Ucapku penuh kepiluan.
"Sekarang yang bisa kita lakukan adalah berdoa untuk Naura, supaya dia bisa sadar dari komanya."
Setelah menenangkan ibu, aku melihat Naura yang berada di ruang ICU.
Berbagai alat menempel di tubuhnya.
"Nau..sadar Nau! Berjuanglah untuk menemaniku!" Bisikku ditelinganya.
"Aku tahu kamu kuat, Nau."
Naura bagai mayat hidup. Tubuhnya terlihat tenang. Hanya air mata yang menetes dari sudut matanya.
"Maafkan kesalahan ku, Nau. Aku janji akan menjadi suami yang baik untukmu. Sadarlah Nau! Kalau kamu pergi menyusul Aisyah, aku sama siapa? Ibu sama siapa?"
Ah! Mengapa baru sekarang aku sadar, kalau sesungguhnya aku takut kehilangan Naura?! Kemana saja aku kemarin? Terlalu sibuk dengan urusan percintaan ku dengan Nadira sampai aku tidak tahu jika Naura mengalami preeklamsia.
Kemana mataku selama ini? Sampai aku tidak tahu jika kaki Naura bengkak-bengkak?
***
"Mas, dimana aku?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Naura tidak mampu aku jawab.
Naura memegang perutnya yang sudah rata, " mas, aku sudah lahiran? Dimana putri kita? Apa dia baik-baik saja?"
Lagi-lagi Naura memberondong ku dengan bermacam-macam pertanyaan.
Aku menggenggam tangan Naura erat, mencium punggung tangan itu berkali-kali dengan air mata yang jatuh satu persatu membasahi tangan Naura.
" Mas, dimana anakku?!" Naura memekik, ia menghempaskan tanganku.
"Sus..suster.. suster!"
Naura berteriak memanggil suster.
Dua orang suster masuk, " ada apa pak?"
" Sus, istri sa-"
Belum selesai aku berbicara, Naura sudah memotongnya.
" Sus, dimana anak saya? Saya mau bertemu anak saya, sus. Tolong saya sus!" Naura tampak menghiba, baru kali ini aku melihat Naura hancur sehancur-hancurnya.
Bahkan pernikahan ku dengan Nadira tidak membuat Naura sehisteris ini. Itu artinya aku tidak ada artinya dalam kehidupan Naura.
"Suster...mana anak saya? Saya ibunya sus!"
"Ibu, sabar ya buk..ibu tenang ya."
Suster menyuntikkan sesuatu pada Naura. Setelah itu Naura tampak lemas dan menutup matanya.
"Sus, istri saya.."
"Istri bapak baik-baik saja, kami hanya menyuntikkan penenang untuk istri bapak. Sekarang istri bapak kembali istirahat, mudah-mudahan setelah bangun nanti beliau sudah membaik dan bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.
Setelah selesai mengurus Naura, kedua suster itu pun keluar dari ruangan kami
Aku mengusap pipi kusam Naura. Bahkan rambut yang dulu selalu rapi dan wangi kini tampak kusut dan tidak teratur.
"Naura...aku tahu ini berat..tapi kita tidak bisa melawan kehendak tuhan." Bisikku ditelinganya.
***
Drttt...drttt...
Ponselku bergetar. Ada nama Nadira.
"Ha-"
"Kamu...? Kemana saja? Kamu gak ingat pulang lagi? Kamu lupa kalau kamu punya istri dua? Keterlaluan kamu ya! Dzolim kamu sama istri sendiri! Kalau kamu terus begini, aku akan datang ke rumah kamu, aku juga akan buat perhitungan sama istri kamu di anak panti itu!
Dasar wanita licik dan picik!!
"menikahi yg di cintai itu harapan
mencintai yg di nikahi itu kewajiban" Ust.Adi Hidayat
klu mau balik suruh sivrafa sujudv7 hari 7 malam siang dan malam. terus diiviioin.
terus anaknya sipelakor kamu syruh buang kerumah orang tua nadira atau bawa ke panti sosial.
najis amat kamu sampai gila stress dan amenesia.