Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nafas Bacin di Hari Kesembilan
9.1: Hari yang Penuh Bau Busuk
Sudah sembilan hari berlalu sejak mereka berlindung di bunker itu, dan suasana semakin mencekam. Gelap gulita yang konstan, rasa pengap, dan suhu yang panas tak lagi bisa diabaikan. Setiap hembusan napas terasa seperti racun. Udara yang mereka hirup seperti terperangkap di sana, tanpa ada sirkulasi yang layak, bercampur dengan bau keringat, bau badan, dan tentu saja—napas busuk yang dihasilkan dari perut kosong selama berhari-hari.
Maria duduk bersandar di dinding bunker, mencoba beristirahat sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang menusuk hidungnya—bau yang sangat menyengat hingga membuat perutnya mual. “Astagfirullah... bau banget, siapa yang barusan napas deket aku?”
Di sebelahnya, Fatimah tertawa kecil meski suaranya lemah. “Hehehe Itu aku, Maria. Maaf ya... Udah sembilan hari nggak makan, nggak minum, apalagi sikat gigi. Kita semua di sini mungkin udah sama aja baunya.”
Sarah yang berada di sisi lain ikut tertawa, meskipun ia sendiri merasa Mual. “Mungkin kalau ada monster yang masuk ke sini, dia bakal pingsan duluan karena bau mulut kita.”
Tawa yang tersebar di tengah bunker mungkin terdengar aneh dalam kondisi seperti ini, tapi itu satu-satunya cara mereka untuk sedikit meredakan kecemasan. Mereka tahu, setiap hari yang berlalu hanya membuat keadaan semakin memburuk, namun mereka tidak bisa menyerah begitu saja.
Sementara itu, di sisi lain bunker, dua orang kafir—Fahri dan Jono—yang tak pernah berhenti ribut sejak hari pertama, kembali memancing masalah. Fahri yang dari tadi mengeluh lapar dan haus, mulai menunjukkan keisengannya. Ia mendekati Jono yang sedang terlelap, lalu tiba-tiba meniupkan napasnya yang penuh bau busuk ke wajah Jono.
“Woi! Apa-apaan lo!” teriak Jono dengan suara parau, terbangun kaget dan jijik.
Fahri hanya tertawa geli. “Hahaha! Gimana, Jon? Wangi, kan?”
Jono memukul pelan kepala Fahri dengan kepalan tangan. “Gila lo, ya! Udah di tempat begini, lo masih aja ngejahilin orang. Bau mulut lo bikin gue pengen muntah!”
“Apa? Bau mulut gue? Coba napas lo gimana? Kita semua di sini udah kayak zombie hidup. Udah bau bangkai!” balas Fahri sambil tertawa.
Jono tak mau kalah. Ia mulai melawan dengan mengembuskan napasnya ke arah Fahri, yang membuat keduanya tertawa di tengah kegelapan. Namun, tawa itu segera berubah jadi keributan kecil ketika Fahri tidak terima dan mendorong Jono.
“Eh! Jangan dorong-dorong, woi!” bentak Jono.
Keributan mereka menarik perhatian yang lain. Sarah dan Maria mendekat, meraba-raba dalam kegelapan untuk menghentikan pertikaian kecil itu. Ulama yang sudah kelelahan dengan suasana yang semakin tak kondusif, akhirnya angkat bicara dengan suara tenang tapi penuh wibawa.
“Sudah cukup... Kita di sini sudah dalam keadaan sulit, jangan saling menyulitkan lagi. Ingatlah bahwa kita semua berada di ujian Allah. Dzikir dan kesabaran adalah bekal kita. Jangan biarkan emosi menguasai hati kita.”
Ulama itu terus berdzikir dengan pelan, suaranya menyelimuti keheningan di bunker, berusaha menenangkan suasana yang sempat tegang. Satu per satu penghuni bunker mulai ikut berdzikir. Meski gelap dan udara semakin bau, dzikir itu seperti sedikit meringankan beban mereka.
Namun, kondisi fisik mereka mulai menunjukkan tanda-tanda kemerosotan. Perut mereka mengerang karena kelaparan, tenggorokan mereka kering, dan bibir mereka mulai pecah-pecah. Satu-satunya harapan mereka untuk bertahan hidup adalah dengan dzikir, karena dzikir itulah yang selama ini mampu memberi mereka kekuatan untuk terus bertahan di tengah kegelapan dan kesesakan bunker itu.
Maria yang sedari tadi mendengar perkataan ulama mulai menenangkan dirinya. “Ulama benar... Kita harus terus berdzikir. InsyaAllah, Allah akan menjaga kita. Kalau tidak, entah bagaimana kita bisa bertahan di sini...”
Fatimah mengangguk pelan. “Iya, aku juga rasa... kalau bukan karena dzikir, mungkin kita udah mati di sini. Udah sembilan hari... Tapi kok rasanya udah kayak sembilan tahun.”
Sarah menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan bau busuk yang memenuhi udara. “Aku nggak tau sampai kapan kita bisa bertahan kayak gini. Tapi aku yakin... Allah pasti punya rencana di balik semua ini.”
Dan begitu, dalam kesunyian yang penuh dengan dzikir dan keluhan lemah, hari kesembilan berlalu dengan penuh ketegangan. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi esok hari, tapi di dalam bunker yang gelap itu, harapan dan keputusasaan terus bertarung satu sama lain, mencoba bertahan di tengah kehampaan.
9.2: Ledakan Tak Terduga
Setelah suasana kembali tenang dan dzikir mulai menyelimuti bunker, tiba-tiba terdengar suara yang tidak terduga. Sebuah bunyi samar namun jelas menggema di dalam bunker yang sempit dan gelap itu.
“Prrrt!”
Sekejap semua orang terdiam. Maria, yang duduk paling dekat dengan sumber suara, segera menutup hidungnya. "Astaghfirullah... apa lagi ini?” ucapnya dengan wajah meringis.
Fatimah, yang ada di sampingnya, mengendus-endus udara dengan kening berkerut. “Ya Allah... bau banget! Siapa yang kentut?”
Sarah tak bisa menahan tawanya. “Hahaha! Kayaknya itu bau telur busuk. Siapa nih yang nggak kuat nahan?”
Sementara yang lain menahan napas, Fahri, yang tadi ribut dengan Jono, pura-pura tak tahu apa-apa. Ia mengangkat tangan, berpura-pura tidak bersalah. “Eh, siapa tuh yang kentut? Jangan-jangan ini ulahnya Jono lagi!”
Jono langsung melotot. “Gila lo! Itu bukan gue! Jangan nuduh sembarangan!” Dia buru-buru menjauhkan dirinya dari Fahri, mengibaskan tangan di depan hidungnya seolah ingin menyingkirkan bau busuk yang menguar di udara.
Sarah menutupi mulutnya dengan tangan sambil tertawa terpingkal-pingkal. “Hahaha! Serius, siapa yang kentut di bunker segelap ini? Bener-bener nggak ada tempat buat sembunyi, loh!”
Fahri akhirnya tak tahan lagi dan tertawa. “Oke, oke! Itu gue! Tapi seriusan... gue nggak tahan! Perut gue udah sembilan hari nggak terisi apa-apa. Makanan dari tadi cuma udara, ya udah keluar begini...”
Semua orang di bunker tak bisa menahan diri untuk tertawa, meskipun udara semakin tak tertahankan. “Aduh, Fahri! Kalau gitu, kentut di luar sana aja! Jangan di sini!” ledek Sarah, menahan tawanya dengan susah payah.
Ulama, yang sudah terbiasa menghadapi segala macam situasi di dalam bunker, mencoba tetap tenang. Namun kali ini ia tak bisa menahan senyum simpulnya. “Saudaraku, bahkan dalam kesulitan sekalipun, kita masih diberi kesempatan untuk tertawa. Ini mungkin cara Allah memberi kita sedikit hiburan di tengah cobaan-Nya.”
Mendengar ucapan ulama, semua orang yang tadinya tertawa keras mulai mereda. Mereka kembali tenang, meskipun bau busuk kentut Fahri masih berputar di udara.
“Ya Allah, ini cobaan lain dalam bunker ini,” kata Maria sambil menutup hidung dengan selendangnya. “Kalau begini terus, bisa-bisa kita semua pingsan bukan karena lapar, tapi karena bau.”
Semua tertawa lagi, meskipun mereka tahu keadaan mereka tidak mudah. Namun di tengah segala kesulitan, tawa itu seolah menjadi pelarian sementara, sebuah pengingat bahwa mereka masih manusia yang bisa menikmati momen-momen kecil di tengah penderitaan panjang.
Seiring waktu berlalu, mereka kembali fokus pada dzikir dan harapan, mencoba melupakan bau tak sedap yang masih menyelimuti bunker itu. Hari kesembilan di dalam bunker menjadi satu hari lagi di mana mereka bertahan—dengan dzikir, tawa, dan sedikit kentut yang mengocok perut mereka.
9.3: Mulut Bau, Tapi Hati Harus Suci
Setelah tawa sedikit mereda, suasana di dalam bunker kembali sunyi. Namun bau tak sedap masih memenuhi udara, membuat beberapa orang meringis dan mencoba menghindari sumber aroma busuk. Saat itu, salah satu dari mereka, seorang pemuda bernama Hasan, tiba-tiba melontarkan ledekan yang membuat orang-orang kembali tersenyum di tengah kegelapan.
"Ustadz," kata Hasan sambil mengusap hidungnya yang keriput. "Jangan marah ya, tapi... kayaknya mulut ustadz juga udah mulai bacin nih, hehehe."
Orang-orang yang mendengar ucapan Hasan langsung terdiam, menunggu reaksi sang ulama. Suasana sempat tegang, semua mata seolah-olah tertuju pada sosok ulama itu meski dalam kegelapan mereka tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Apakah Hasan terlalu lancang? Apakah ulama itu akan marah?
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ulama itu tertawa pelan, suaranya bergema di bunker yang pengap. “Hahaha, Hasan... kau benar. Mulutku mungkin sudah bau, sama seperti kalian semua. Sudah sembilan hari kita di sini tanpa makan dan minum layak, bagaimana mungkin mulut kita tidak bau?”
Hasan tertawa lega. “Hehe, iya, Ustadz. Tapi serius, kita semua udah kayak zombie di sini.”
"Betul sekali," sahut ulama itu. “Tapi ingatlah, saudaraku, meskipun mulut kita bau karena kurang makan dan minum, hati kita harus tetap bersih. Karena Allah menilai hati, bukan bau mulut.”
Semua orang tersenyum, merasa lega bahwa ulama itu tidak tersinggung. Bahkan beberapa orang ikut tertawa kecil. "Bener juga, ya," kata Jono yang biasanya ribut. "Mulut kita bau, tapi kita masih bisa berbuat baik."
“Yang penting hati kita nggak busuk, ya, Ustadz,” kata Sarah dengan nada bercanda, mencoba menambah kelucuan di tengah kegelapan.
"Betul sekali," jawab ulama itu dengan bijak. "Jangan biarkan hati kita busuk seperti kentut Fahri tadi."
Seluruh bunker meledak dalam tawa lagi. Fahri, yang tadi menjadi bahan ledekan, tak bisa menahan tawanya juga. "Aduh, Ustadz, jangan bawa-bawa kentut lagi dong!"
Ulama itu tersenyum meski mereka tidak bisa melihatnya. “Dalam keadaan sesulit apapun, ingatlah untuk menjaga hati. Dzikir kita adalah makanan dan minuman kita. Dan tawa ini, mungkin Allah berikan agar kita tetap kuat menjalani cobaan ini.”
Suasana yang tadinya tegang kini berangsur-angsur menjadi lebih ringan. Meski kondisi mereka masih sulit, mereka setidaknya memiliki sedikit momen untuk tertawa, melepaskan ketegangan yang telah menumpuk selama sembilan hari terakhir di dalam bunker yang gelap gulita.
Namun, meskipun mereka tertawa, bau yang menguar di udara masih tidak bisa dihindari. “Ya Allah,” keluh Maria, “kalau begini terus, kita harus belajar bernapas tanpa hidung.”
Tawa kecil kembali terdengar, dan untuk sementara, meski dalam kegelapan, mereka merasa tidak terlalu sendiri.
9.4: Kekuatan Dzikir
Setelah tawa mereka mereda, ulama itu kembali mengangkat suaranya, kali ini dengan nada yang lebih serius dan dalam. “Saudara-saudaraku,” serunya, suaranya menggema di dalam bunker yang sunyi. “Bagaimana dengan dzikir yang kalian lantunkan selama ini? Apakah ada sesuatu yang kalian rasakan terhadap rasa lapar dan haus yang mendera kita semua?”
Beberapa orang terdiam, merenungi apa yang telah mereka alami selama sembilan hari ini. Dzikir memang menjadi pegangan mereka, namun dengan kondisi yang semakin sulit, wajar jika beberapa di antara mereka mulai merasakan keraguan.
Sarah yang duduk di dekat ulama, berbicara lebih dulu. "Ustadz, jujur saja... meskipun kita sudah berdzikir, saya masih merasa lapar. Haus juga kadang datang tiba-tiba. Tapi... di saat-saat tertentu, rasanya seperti ada kekuatan yang menahan rasa lapar itu, seolah-olah perut saya terisi walaupun tidak makan apa-apa."
Orang-orang lain mulai mengangguk, membenarkan apa yang Sarah katakan. Hasan menimpali, “Iya, saya juga merasakan hal yang sama. Perut memang kosong, tapi tidak sampai membuat saya lemas atau kehilangan tenaga seperti biasanya kalau tidak makan. Mungkin... dzikir ini memang benar-benar menguatkan kita.”
Ulama itu tersenyum dalam gelap, meskipun mereka tidak bisa melihatnya. “Itulah kekuatan dzikir. Dzikir bukan hanya ucapan di bibir, tapi juga makanan bagi jiwa dan iman kita. Allah tidak akan membiarkan hambanya yang terus mengingat-Nya dalam keadaan lemah. Rasa lapar dan haus itu adalah ujian. Namun, hati yang berdzikir tidak akan pernah kekurangan.”
Maria, yang masih dalam duka karena kehilangan anaknya, tiba-tiba angkat bicara. Suaranya lirih, namun terdengar tegar. “Saya juga merasakan hal yang sama, Ustadz. Rasanya seolah-olah ada yang memberi kekuatan dari dalam diri saya. Mungkin benar, dzikir ini yang membuat kita bisa bertahan.”
"Benar sekali," kata ulama itu. “Karena dzikir tidak hanya memberi kita kekuatan fisik, tapi juga ketenangan hati. Allah sedang menguji kita, dan setiap dzikir yang kalian lantunkan adalah bukti keimanan kalian. Jika kalian terus berdzikir, insyaAllah, lapar dan haus akan terasa ringan.”
Jono, yang biasanya sering membuat keributan, ikut bicara. "Ustadz, kalau begitu, apakah dengan dzikir kita bisa benar-benar bertahan sampai semuanya berakhir? Soalnya... saya khawatir, ini belum separuh jalan, tapi tubuh saya sudah mulai lemas."
Ulama itu mengangguk meski mereka tidak melihatnya. “Jangan khawatir, Jono. Dzikir adalah sarana kita mendekatkan diri kepada Allah, dan insyaAllah, Dia tidak akan meninggalkan kita. Teruslah berdzikir, meskipun tubuh kalian merasa lemas. Kekuatan dzikir itu bukan untuk membuat kita seperti tak pernah lapar, tapi untuk memberikan kekuatan hati dan iman agar kita bisa melewati cobaan ini.”
Orang-orang mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun kondisi fisik mereka semakin lemah, ulama itu terus memberi mereka semangat. “Ingatlah, Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dzikir adalah cara kita menguatkan iman, dan iman itulah yang akan membuat kita bertahan.”
Semua penghuni bunker terdiam, meresapi kata-kata ulama itu. Mereka sadar bahwa meskipun tubuh mereka lemah dan lapar, hati mereka harus tetap kuat. Dzikir menjadi satu-satunya harapan mereka untuk terus bertahan dalam kegelapan ini, menghadapi apa yang belum pasti di luar sana.
Suasana kembali hening, hanya terdengar desahan nafas yang mulai tenang. Meski bau busuk tetap menguar di udara, hati mereka kembali dikuatkan oleh dzikir yang terus dilantunkan di tengah kegelapan.
9.5: Ketenangan yang Rapuh
Setelah mendengar pencerahan dari ulama itu, suasana di dalam bunker yang gelap gulita mulai tenang. Tidak ada lagi cekcok atau ketegangan seperti sebelumnya. Mereka yang tadinya gelisah, frustasi, atau bahkan marah-marah karena keadaan, mulai menenangkan diri. Beberapa orang mulai kembali duduk dengan tenang di sudut-sudut bunker, mencoba menemukan ketenangan batin di tengah rasa lapar dan haus yang terus mendera.
Sarah duduk bersandar ke dinding besi bunker, menatap kegelapan dengan mata yang hampir terpejam. "Setidaknya," gumamnya pelan, "walaupun lapar, aku masih bisa merasa sedikit tenang."
Di sebelahnya, Maria masih terlihat murung karena kehilangan anaknya beberapa hari lalu. Meski begitu, dia mulai berdzikir lagi, mengikuti saran ulama. Suaranya lemah tapi stabil, mencoba menyalurkan ketenangan pada dirinya sendiri. Di sisi lain bunker, Hasan memejamkan matanya, berusaha menenangkan pikirannya, mengingat Allah dalam hatinya.
Namun, di tengah ketenangan yang rapuh itu, Jono, yang sebelumnya selalu menjadi biang keributan, tampak gelisah. Meskipun sudah mendengarkan ceramah ulama, dia masih berusaha melawan rasa cemas yang berkecamuk di dalam dirinya.
“Apa yang akan terjadi setelah ini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Dia melirik ke arah ulama yang duduk di sudut bunker. Meskipun Jono sudah sedikit lebih tenang, rasa takut akan masa depan terus menghantuinya.
Tak jauh darinya, seorang pria lain, yang sejak tadi diam dan tampak termenung, tiba-tiba angkat bicara. “Aku masih tidak bisa membayangkan, berapa lama lagi kita harus bertahan di sini? Apa yang akan terjadi setelah keluar dari bunker ini? Apakah dunia di luar sana masih bisa dihuni?”
Suasana yang semula tenang kembali terasa tegang dengan pertanyaan itu. Semua orang, meski mereka mencoba untuk tenang, tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dunia di luar bunker mungkin tidak lagi seperti yang mereka kenal. Mungkin saja kehancuran telah melanda di luar sana, dan mereka harus bersiap menghadapi kenyataan yang lebih buruk.
Ulama itu menghela nafas panjang. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi ingat, apa pun yang terjadi di luar sana, kita masih punya Allah. Hanya kepada-Nya kita berlindung. Semua ujian ini pasti ada hikmahnya, dan Allah tidak akan membiarkan kita berjuang sendirian.”
Hasan, yang tadinya diam, ikut menimpali. “Benar. Kalau kita bisa bertahan sejauh ini, itu sudah merupakan keajaiban. Kita hanya perlu terus berdzikir, terus mengingat Allah. Setiap cobaan pasti ada akhirnya.”
Maria tersenyum lemah, meski air matanya masih mengalir. “Semoga saja kita bisa melewati ini bersama-sama.”
Ulama itu mengangguk. “Iya, bersama-sama kita bisa. Jangan biarkan ketakutan menguasai hati kalian. Dzikir akan menjadi makanan bagi jiwa kita, dan kesabaran akan menjadi kekuatan terbesar kita.”
Suasana di dalam bunker kembali hening, tapi kali ini keheningan itu tidak lagi penuh dengan ketegangan. Mereka saling menguatkan satu sama lain, meskipun masa depan masih penuh dengan ketidakpastian.
Namun, di balik ketenangan itu, semua orang tahu bahwa ujian ini masih jauh dari selesai. Hari-hari berikutnya masih gelap dan penuh dengan cobaan yang mungkin lebih berat. Tapi untuk saat ini, di hari kesembilan mereka bertahan di bunker, setidaknya mereka menemukan sedikit kedamaian dalam dzikir dan kebersamaan mereka.