Nadira Atau Naura
"Buat kamu!"
Wanita bernama Naura itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil padaku.
Aku tidak langsung menerima pemberiannya. Terlebih dulu aku menaruh tas kerja di tempatnya.
Tidak putus asa, dia mengikuti ku sampai ke kamar.
Aku memilih duduk di tepi ranjang.
Membuka kemeja dan melemparkannya ke keranjang tempat pakaian kotor di sudut kamar.
Dia berdiri di depan pintu. Diam membisu dengan masih memegang kotak kecil. Karena tidak mendapat respon dariku, ia memilih keluar dari kamar.
"Mau kemana?"
Wanita yang baru tiga bulan menyandang gelar menjadi istriku itu menghentikan langkah kakinya.
Aku berdiri, kemudian berjalan ke arahnya, " Mana" tanganku terulur meminta kotak tadi.
Penasaran juga isinya apa.
"Apanya?" Tanyanya bingung.
Aku menghela napas, "kotak tadi?" Ujarku menahan kesal.
Dia menepuk jidat, " maaf." Lalu memberikan kotak mini tersebut pada ku.
Aku menggoyang-goyang kotak tersebut, tidak bisa menebak detik berikutnya aku sudah mengoyak bungkus kotak tersebut dan melemparkan asal.
Seperti tidak sabar, kini ditangan ku sudah ada sebuah benda pipih. Aku memegang dengan sangat hati-hati.
"Benda apa ini?"
"Testpack."
Aku memperhatikan dengan seksama, namun sepertinya aku memang kurang paham kegunaan benda ini.
"Aku hamil." Jawabnya spontan.
Hah? Hamil? Yang benar saja? Baru tiga kali aku menyentuhnya. Dan semua itu dalam keadaan kepepet karena nafsuku sudah berada di ubun-ubun dan sudah tidak tertahankan lagi.
"Yakin kamu hamil?" Tanyaku datar saja, bahkan terkesan dingin.
Naura mengangguk kikuk.
"Jangan sampai ibu tahu."
"Kenapa mas?"
"Ya aku tidak ingin saja ibu tahu." Ucapku penuh penekanan.
Dari wajahnya, aku tahu Naura kecewa. Tanpa bicara ia keluar dari kamar.
Aku menghela napas berat. Seharusnya aku memakai pengaman saja saat menyentuh Naura.
Sial! Bagaimana jika Nadira tahu aku sudah menyentuh Naura? Bisa selesai hubungan yang sudah terajut selama empat tahun ini.
Kenapa jadi rumit begini sih?
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan, aku sudah mandi dan sudah bersiap untuk menghadiri acara ulang tahun kekasihku, Nadira.
Kulihat Naura sedang berdiri di depan kompor. Tangannya tampak lihai memegang sendok.
"Nau.."
Dia tidak menyahut, mungkin masih kecewa, sedih atau apalah namanya. Aku tidak perduli.
Aku duduk di meja makan. Naura tampak sok sibuk. Wajahnya tampak sembab. Apa dia habis menangis? Apa aku menyakitinya?
"Nau.."
Aku memanggilnya sekali lagi.
Tampak Naura mengusap wajahnya menggunakan lengan bajunya.
"Iya mas?"
Dia menyahut, tapi tidak berbalik.
"Sudah siap masaknya?"
"Sebentar lagi mas."
Sahutnya lagi. Ia tampak membesarkan api kompor. Mungkin biar makin cepat masaknya.
Aku mencomot udang crispy di atas meja.
"Hmm..Gurih sekali udang ini. Ternyata Naura emang pandai memasak."
Aku membatin sendiri.
Memang, semenjak ada Naura di rumah ini, dapur di rumahku lebih bermanfaat, biasanya dapur adalah area yang jarang ku kunjungi waktu hidup sendiri.
Dan poin plusnya hidupku jauh lebih teratur. Pakaian rapi, rumah bersih, dan makanan tersaji dengan baik. Hidupku jauh lebih teratur hidup bersama wanita pilihan bunda.
Tapi..sekali tidak cinta ya tidak cinta titik. Bukankah cinta tidak dipaksakan? Menurut kalian gimana?
Naura datang membawa semangkok tumis kangkung. Harum masakannya membuat perutku berisik.
Naura meletakkan piring dihadapan ku, lalu mengisinya dengan dua centong nasi, tumis kangkung dan empat udang crispy.
Aku siap untuk makan malam ini.
Satu suapan..dua suapan..sampai tiga suapan, Naura masih duduk tanpa pergerakan.
Aku menghentikan aktivitas makanku, " kenapa gak makan?" Tanyaku sok perduli.
Dia cuma menggeleng, hingga aku merasa kurang puas mendapat jawabannya.
"Makanlah! Jangan sampai berat badan kamu turun dan ibu mengira kamu tidak diberi makan di rumah ini."
"Aku tidak berselera, mas. rasanya mual sekali.
Naura memijit keningnya.
"Masaklah yang membuat kamu berselera." Ucapku sambil melanjutkan makan.
Selesai makan, aku mencuci tangan dan bersiap hendak berangkat.
Namun, belum lagi aku melangkah, Naura tampak menutup mulutnya.
"Kamu kenapa "
Huek...huek...
Naura muntah. Beruntung ia tidak terlambat berdiri di wastafel.
Aku memijit pundak Naura, meski tidak cinta, tapi aku mencoba bersikap manusiawi.
"Gimana? Udah enakan?"
Naura hanya diam, ia berjalan memegang dinding, tampak sempoyongan.
Takut Naura jatuh, aku memegang tangannya, mengantarkan Naura ke kamar.
Ia berbaring di ranjang.
Aku menutup separuh tubuhnya dengan selimut.
"Mau ke dokter?" sebagai suami yang bertanggung jawab, aku berniat mengantarkan Naura ke dokter.
"Enggak usah, mas. Itu.. tolong ambilkan minyak kayu putih di atas meja."
Aku mengambil lalu memberikan padanya.
Dia mengolesi wajahnya dan hidung menggunakan minyak kayu putih.
Apa-apaan ini?
Seketika kamar ini berubah aroma.
Drtdddrttttt..ddrrrttt...
Ponsel milikku yang tergelatak di atas meja bergetar.
Aku memilih keluar kamar.
Ternyata Nadira yang menelpon.
"Halo sayang.."
"Iya, bentar lagi mas kesana ya."
Huft..aku menghela napas. Terdengar suara Nadira yang ngambek karena aku belum juga datang.
Bagaimana ini? Tetap di rumah atau tetap pergi?
Aku jadi bingung sendiri.
Kalau tidak hadir, bisa-bisa Nadira ngambek sepanjang masa.
Hiii...
Aku bergidik ngeri membayangkan Nadira ngambek.
Maka kuputuskan untuk tetap pergi malam ini.
"Nau, aku pergi dulu ya. Ada acara kantor." Dustaku.
"Iya mas." Sahutnya lemah.
"Kamu gak papa, kan?" Aku memastikan lagi.
"Hm."
Hanya sebuah gumaman.
Aku bergegas pergi. Semoga aku tidak terlambat.
***
"Iya..aku sudah di depan." Aku mematikan sambungan teleponnya
Pantas saja Nadira menelpon, ternyata sekarang sudah pukul sembilan malam.
Dengan tergesa-gesa aku masuk ke sebuah gedung tempat perayaan ulang tahun Nadira yang ke dua puluh dua tahun.
Para tamu sudah hadir dan sedang menikmati hidangan yang tersedia.
" Kemana aja sih loe? Lihat tuh, Nadira bete nungguin loe." Joe, sahabat dekatku mulai mengomel seperti mamak-mamak.
"Ada masalah serius." Sahutku beralasan.
"Masalah apa? Naura hamil?" Diko ikut menimpali sambil terkekeh.
Aku hanya bisa meninju pelan bahu sahabatku ini.
Atas permintaan mereka, akhirnya aku menemui Nadira.
"Happy birthday ya Nad." Aku memberikan setangkai bunga mawar dan sebuah kotak berisi perhiasan untuk Nadira.
Nadira mengucapkan terima kasih, lantas dia mengecup pipiku dan.. bibirku.
"Aku pikir kamu gak datang, Ka." Ia bergelayut manja.
Acara pesta ulang tahun Nadira berlangsung meriah. Sesekali ia bergelayut manja. Kekasih yang kupacari sejak empat tahun terakhir tampak bahagia.
Namun aku tidak fokus menikmati pesta kekasihku itu karena meninggalkan Naura di rumah dalam keadaan tidak sehat.
Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Naura? Atau lebih fatalnya Naura terjatuh saat berada di kamar mandi?
Pulang..tidak.. pulang.. tidak..pulang..tidak..
Menurut kalian aku harus pulang atau tetap di sini?
Jawab ya di kolom komentar..
Terima kasih sudah mampir...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Teh Euis Tea
mampir cerita ini kynya seru nih
2024-06-21
0
Syahrini Cacha
pulang lah,yg di rumah sudah menjadi takdir mu
"menikahi yg di cintai itu harapan
mencintai yg di nikahi itu kewajiban" Ust.Adi Hidayat
2024-06-15
1