"Bagaimana rasanya jatuh cinta dengan wali yang ditugaskan oleh ayah saya?"
Amara yang muda dan cantik memiliki kehidupan yang bahagia dan sempurna; ia dicintai oleh orang tuanya, sukses dalam studinya, dan telah menjadi direktur perusahaan sejak usia sembilan belas tahun.
Namun, di balik permukaan yang di irikan semua orang itu, ada sesuatu yang membuatnya sedih. Melihat pria yang dikaguminya sejak kecil menikah dengan wanita lain, Amara yang sombong hampir tidak bisa menyembunyikan rasa sakit dan kesedihan di hatinya.
Di sisi lain, Akmal yang tahu dirinya tidak boleh jatuh cinta, namun tanpa sadar dirinya terus memperhatikan Amara. Saat melihat Amara bersama pria lain, ia peduli dan cemburu...
Akankah roda takdir menuntun keduanya untuk saling mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan tumbuh seiring dengan waktu
Enghh
Matahari menyinari celah jendela di mana seorang gadis masih meringkuk di bawah selimut. Amara menggerakkan tanganya untuk menutupi wajahnya dengan bantal, matanya masih lengket belum ingin bangun tapi sinar matahari pagi membuatnya terusik.
"Non, belum bangun."
Suara bik Marla membuat Amara spontan membuka matanya. Amara terbangun dan menatap kesekeliling.
"Kamar," Gumamnya dengan wajah bingung.
Tangannya memegangi kepalanya yang sedikit pusing, ia mengingat kejadian tadi malam saat dirinya menghadiri pesta Daniel dan Amara meminum tiga gelas minuman yang belum pernah ia rasakan.
"Minum dulu non, ini bisa mengurangi kepala non Amara yang pusing." Bik Marla menyodorkan minuman hangat untuk Amara.
"Siapa yang membawaku pulang bik?" Tanya Amara sambil meraih minuman yang bik Marla berikan.
"Den Evan, memangnya siapa lagi." Jawab bik Marla sambil membereskan kamar Amara.
Meskipun rapih tapi tetap saja ada barang yang bergeser yang harus bik Marla rapih kan.
"Evan," Gumamnya sambil mengingat-ingat pria yang membawanya keluar dari bar.
"Tapi kenapa aku merasakan wangi parfum yang familier." Gumamnya lagi.
Amara mengendus pakaian yang melekat ditubuhnya, tidak bau karena ia sudah memakai pakaian berbeda dari tadi malam.
"Pakaian ku tadi malam di mana bik?" tanya Amara yang ingin memastikan sesuatu.
"Sudah bibik cuci, ada apa non?"
Amara mengusap wajahnya kasar, meskipun mabuk tapi sepertinya ia mengenali sosok pria yang datang padanya, ia yakin jika itu bukan Evan.
"Tidak apa, yasudah aku mau mandi ada kuliah."
Tidak ingin memikirkan hal yang tidak pasti, Amara memilih untuk masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya.
*
*
"Pagi non," Sapa Evan saat Amara menuju mobil.
"Hm" Gumam Amara sambil mengendus wangi Evan saat gadis itu melewatinya.
"Eh!" Evan langsung memundurkan wajahnya saat wajah Amara mendekat kearahnya, takut jika diserang tiba-tiba.
Hidung Amara mengendus wangi Evan, "Bukan seperti ini," Katanya pada diri sendiri.
"Nona, ada apa?" Tanya Evan yang dengan bingung.
"Tidak ada, terima kasih sudah membawaku pulang tadi malam." Katanya sambil masuk kedalam mobil.
Evan menutup pintu dan ikut masuk duduk dibalik kursi kemudi.
"Masa iya sih si Evan." Gumam Amara masih menelisik Evan yang duduk di kursi kemudi.
"Kenapa menatap ku seperti itu non?" Tanya Evan yang melihat Amara terus menatapnya dari belakang.
"Tidak apa-apa, aku hanya berpikir jika bukan kamu yang membawaku pulang, tapi itu tidak mungkin karena memang kamu yang membawaku pulang."
Evan hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Amara.
"Dalam keadaan tidak sadar saja dia bisa mengenali siapa yang membawanya pulang," Katanya dalam hati.
"Ya Mikha?" Amara mengangkat panggilan dari Mikha yang sebenarnya sudah puluhan kali.
"Im sorry, aku baik-baik saja jangan khawatir." Ucap Amara yang mendengar suara Mikha yang terdengar panik.
"Yes, im fine. kita bertemu di kampus." Setelahnya Amara mematikan sambungan telepon.
Sampainya di kampus Amara disambut dengan wajah panik Mikha dan juga Daniel, kedua orang itu begitu senang melihat Amara baik-baik saja.
"Aku akan menjadi pria berdosa jika sesuatu terjadi padamu." ucap Daniel yang benar-benar takut jika terjadi sesuatu pada Amara tadi malam.
"Ngomong-ngomong siapa yang membawamu pulang? bukankah Evan tidak bisa masuk?"
Pertanyaan Mikha membuat Amara mengedikkan bahunya acuh.
"Tidak tahu, Its oke semua baik-baik saja oke!" Amara merangkul Mikha yang tadi terlihat begitu terharu melihatnya.
"Hm, aku akan bersalah jika sesuatu terjadi padamu." ucap Mikha sambil memeluk Amara.
*
*
Amara membaca pesan yang baru saja masuk, bibirnya menyunggingkan senyum saat sebuah foto ia dapatkan.
Amara menatap kedepan, di mana semua orang keluar dari bandara.
Amara melambaikan tangan saat melihat seorang pria muncul, pria yang sangat ia kenali.
"Om!" Panggilnya sambil tersenyum.
Akmal melambaikan tangannya membalas senyuman Amara, pria itu berjalan cepat menuju dimana Amara berdiri menunggunya.
"Aku pikir kamu tidak datang menjemput."
Tubuh Amara terpaku saat tiba-tiba Akmal memeluk tubuhnya, Amara terdiam sesaat sebelum dirinya tersadar saat Akmal sudah melepaskan pelukannya.
Jantungnya berdetak lebih cepat, pertama kali setelah lama tidak bertemu.
"Kenapa pakai pakaian seperti ini, bagaimana kalau masuk angin!"
Protes Akmal yang melihat cara berpakaian Amara, celana pendek dengan atasan model corp top, membuat sebagian perut Amara terpampang jelas.
"Em, tidak akan. Aku bukan anak kecil yang mudah masuk angin," Lirih Amara yang kikuk.
"Apa kamu lupa saat kamu pernah pakai baju seperti ini, di mana kamu malah menjadi pusat perhatian semua orang!" Kesal Akmal yang langsung melepaskan mantelnya dan memakaikannya pada Amara.
"Begini jauh lebih baik," Katanya setelah berhasil memakaikan mantel ditubuh Amara.
"Kenapa jantung ku selalu begini, apakah perasaan itu masih ada." Gumam Amara yang sibuk degan pikirannya sendiri.
"Ayo, di mana mobilnya." Akmal merangkul bahu Amara sambil menggeret kopernya.
Sebenarnya perhatian Akmal adalah hal biasa sejak dulu, namun karena menggunakan perasaan Amara selalu terjebak dengan perlakuan Akmal. Ditugaskan menjadi wali untuk Amara sejak kecil membuat Akmal harus ekstra menjaganya, posesif dan over protektif itulah Akmal, hingga tanpa sadar membuat Amara justru terjebak dengan bentuk kepedulian Akmal tanpa mengenal perhatian dari orang lain. Tanpa sadar Akmal sudah membuat Amara jatuh kedalam pesonanya yang begitu bertanggung jawab. Namun semua hanya Amara yang merasakan tidak dengan Akmal dulu.
"Aku punya sesuatu untuk mu, tapi nanti saja kalau sampai rumah." Katanya membuyarkan lamunan Amara.
"Apa?"
"Kejutan, untuk kamu." katanya lagi dengan diiringi dengan senyum.
Hati wanita siapa yang tidak akan meleleh, mendapat perhatian dari pria yang ia kagumi, diam-diam perasaan itu muncul dan tumbuh seiring berjalanya waktu kebersamaan.
menunggu lama ternyata dpt bekas siapa tuh
akhirnya jika org yg berjuang tk mu menyerah maka kamu sendiri yg mengalami penyesalan