Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Para pelayan dan pengawal berjalan gelisah di koridor menuju kamar Queen, masing-masing menyunggingkan rasa takut yang nyata.
Sejak insiden pagi itu, ketika seorang pelayan nekat melangkah masuk dan berakhir dengan luka yang ditorehkan oleh gadis itu, tak seorang pun berani mendekat.
Queen, dalam genggaman penyakitnya yang kembali kambuh, bahkan telah melukai lengan kanannya sendiri. Panik merasuki setiap sudut rumah besar itu, terutama Nina, kepala pelayan, yang gemetar tangannya saat ia mencoba menghubungi Renata dan dokter Adira.
Beberapa saat kemudian, Renata dan dokter Adira tiba, ketegangan tergambar jelas di wajah pengasuh itu.
Dengan langkah yang berat, dia memasuki kamar, diikuti oleh dokter. Saat pintu terbuka, terbentang pemandangan yang membuat Renata nyaris roboh - Queen, duduk di lantai, penuh luka dan kesakitan, pandangannya kosong menembus dinding-dinding yang dingin.
Queen duduk tersudut di kamarnya, genggaman tangannya erat pada pisau di tangannya. Tatapannya kosong, menelisik tajamnya pisau itu, sementara darah merembes lembut dari lengan yang terluka.
Rambut panjangnya yang biasa tergerai kini acak-acakan, penuh cakaran yang tersebar di wajah pucatnya.
Renata, dengan langkah kaki yang hampir tak terdengar, perlahan mendekat. Queen, yang tajam inderanya, segera mengarahkan pisau tepat di leher jenjang Renata.
Dengan pergerakan yang mendadak, Renata berhenti, matanya menatap penuh kasih pada gadis muda di depannya.
"Non, ini Rena," bisiknya lembut, melangkah perlahan lagi. "Tolong letakkan pisau itu, Non. Jika Non terluka, kami nanti dimarahi Tuan besar dan juga Kak Ell-non"
Queen menggeleng cepat, air mata memenuhi mata suramnya. "Tidak... Kak Ell enggak peduli sama aku, Kak Ell jahat!" teriaknya dengan suara parau, penuh kekecewaan yang mendalam.
Renata mengamati kerutan di kening Queen yang berlipat. Tadi pagi, ketika mengantar gadis muda itu ke sekolah, semangatnya meluap-luap, namun kini suasana hatinya seakan tertutup awan kelabu.
"Apakah itu kembali terjadi karena Ellison?" gumam Renata dalam hati, merenung apakah penyakit lama Queen kambuh hanya karena pengaruh Ellison yang bisa menjadi obat sekaligus racun baginya.
Dengan langkah hati-hati, Renata mendekat, mencoba meredakan kegelisahan gadis itu.
"Non, Kak Ell itu sangat mencintai Non, tahu. Dia hanya belum sadar bahwa Non adalah dunianya," kata Renata, suaranya lembut, berusaha meredakan kemarahan yang mungkin saja muncul.
Dari sudut ruangan, Dokter Adira mengangkat sebuah foto dari meja.
"Lihat ini, Sayang," katanya seraya menunjukkan foto Ellison yang sedang tersenyum hangat ke arah kamera. "Lihat betapa bahagianya Kak Ell saat bersamamu. Dia mencintaimu lebih dari apa pun."
Secara perlahan, ia memberikan foto tersebut kepada Queen. Sambil berhati-hati, Queen meraih foto itu, dan seketika, dia memeluknya erat, seolah-olah menemukan secercah penghiburan di tengah kebingungannya.
Renata menatap dengan perhatian Queen, dia bergerak cepat dan berhasil merebut pisau dari tangannya.
Tepat saat itu, Dokter Adira yang baru saja menyerahkan sebuah foto kepada Queen, dengan cepat menyuntikkan jarum penenang ke lehernya.
Tubuh Queen bergetar sebelum akhirnya ambruk lemas, kehilangan kesadaran dan jatuh ke pelukan Renata.
Suasana tegang menyelimuti ruangan tersebut, namun begitu Queen tak berdaya, semua orang di dalam ruangan itu menghela nafas lega.
Renata, dengan bantuan Dokter Adira, perlahan membaringkan Queen. Dia kemudian berbalik mendekati Bibi Nina yang masih tampak gemetar.
"Bibi Nina," panggil Renata, suaranya lembut namun ada kekhawatiran yang terpendam.
"Iya," sahut Bibi Nina dengan suara yang getir.
"Tuan besar sudah dihubungi?" tanya Renata sambil memandangi wajah tua itu, merasakan ketakutan yang masih bercokol dalam diri Bibi Nina.
"Sudah Rena. Tuan akan tiba nanti malam," jawab Bibi Nina dengan nada berusaha tegar.
Mengangguk paham, Renata merasa lega mendengar konfirmasi itu dan berharap kehadiran Tuan besar bisa membuat situasi lebih tenang.
Renata dengan lembut menepuk punggung Bibi Renata yang terlihat lemah oleh kekhawatiran.
"Bibi, dia akan pulih, besok dia akan lebih baik," ucap Renata berusaha menghibur meski di dalam hati sendiri, ketakutan juga merayap masuk.
Air mata mengalir deras di pipi Bibi Nina. Dia mengusapnya perlahan sambil berbisik dengan suara getir, "Bibi takut, Rena. Aku belum pernah melihat Nona muda sekacau ini."
Renata menggenggam tangan Bibi Nina, memberikan kekuatan melalui sentuhannya. "Percaya pada saya, Bibi. Ini yang terakhir. Dia akan lebih kuat dari ini nanti," katanya, penuh keyakinan.
Bibi Nina mengangguk, ada secercah harapan di matanya yang berkaca-kaca.
"Dan, Bibi," katanya perlahan, "mohon beritahu yang lain bahwa mereka tidak perlu merasa bersalah. Mereka sudah melakukan yang terbaik."
Sesaat sebelum Bibi Nina melangkah pergi, Renata menambahkan dengan suara rendah, "Dan, soal pelayan yang terluka, pastikan nona tidak mengetahuinya. Tuan besar akan mengatur semuanya."
Bibi Nina menanggapi dengan anggukan yang lebih pasti, menyimpan amanat Renata di hati.
Dokter Adira mendekat ke arah Renata dengan langkah yang perlahan dan menepuk bahu perempuan itu secara halus. Renata yang tampak tenggelam dalam pikirannya, tersentak saat menyadari kehadiran dokter.
"Lukanya telah dibalut. Dia akan baik-baik saja," ucap Adira dengan suara yang menenangkan.
"Ya," Renata membalas, sambil mengangguk perlahan, matanya masih tertuju pada ruangan yang terasa berantakan.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka memecahkan kesunyian. Seorang pelayan wanita masuk dengan sikap penuh hormat. "Maaf Renata, ada tuan muda Lison di luar."
Awalnya, wajah Renata terlihat terkejut mendengar nama itu, tapi dengan cepat dia berhasil menguasai diri dan menutupi kejutannya.
"Suruh masuk." ujarnya dengan suara yang tenang namun berat.
Tidak lama kemudian, Ellison masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang murung dan penampilan yang agak kacau. Luka di tangan kanannya tampak menganga dan darahnya meresap ke perban yang dibalutkan.
Pandangan Renata langsung menusuk tajam ke arah Ellison, raut marah tergambar jelas di wajahnya.
Tanpa peringatan, Renata melangkah cepat mendekati Ellison dan dengan pukulan yang dahsyat, dia menghantam wajah pemuda itu.
Pukulannya begitu kuat sehingga Ellison terhuyung dan kepala orang itu menoleh ke samping. Meski Renata seorang wanita, kekuatannya tidak bisa dianggap enteng.
"Rena! "
seru cerita nya🙏
GK jd mewek UIN🤭
ko ada aja yg GK suka