"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TANPA PILIHAN,TANPA HARAPAN
Pagi itu, suasana rumah Pak Falah sunyi seperti biasanya. Hanya ada suara burung-burung yang berkicau di pohon depan rumah dan deru pelan angin yang menerobos jendela. Namun, ketenangan itu membeli ketika sebuah telepon dari pihak asrama datang. Suara di seberang terdengar tenang, tapi membawa kabar yang menghentak hati Pak Falah.
“Pak Falah, kami hanya ingin memberitahu bahwa anak bapak, Zilfi, tidak berada di asrama sejak tadi malam,” suara pengurus pesantren terdengar jelas. "Kami sudah mencarinya, tapi tidak ketemu"
Jantung Pak Falah serasa berhenti sejenak. Gagang telepon di tangannya hampir terjatuh. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya berputar. “Anak itu… kabur? "
“Kami sudah mencoba menanyakan kepada teman sekamarnya, tapi tidak ada yang tau. Kami khawatir, mungkin Anda bisa mencarinya?"
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pak Falah menutup telepon. Kemarahan mulai mendidih di dada. Zilfi, anaknya, telah melanggar aturan, kabur tanpa izin. Dan lebih buruk lagi, ia tahu ke mana anak itu pergi ,yaitu ke rumah ibunya.
Saat mobil berhenti di depan rumah tua yang dipenuhi tanaman merambat, Falah menarik napas panjang. Rumah Farah selalu seperti ini hangat, tenang, dan penuh kenangan. Tapi bagi Falah, rumah itu adalah tempat di mana ia pernah kalah, dan sekarang menjadi tempat yang merenggut perhatian remaja.
Pintu rumah terbuka sebelum Falah sempat mengetuk. Di baliknya, Farah berdiri dengan raut wajah tenang, meski ada ketakutan di matanya.
"Dia masuk ke dalam?" tanya Falah tanpa basa-basi.
Farah mengangguk, tapi tidak segera mempersilakan Falah masuk. “Falah, kita perlu bicara.”
"Sudah terlalu banyak bicara," Falah memotong cepat, "Aku mau bawa Zilfi pulang. Ini sudah kelewatan."
Farah menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Dia hanya butuh waktu, Falah."
“Aku tahu apa yang dia rasakan,” balas Falah tajam. "Aku ayahnya."
Tanpa menunggu lebih lama, Falah melangkah masuk ke dalam rumah, melewati Farah yang masih berusaha menahan amarahnya sendiri. Zilfi duduk di sofa ruang tamu, matanya merah, mungkin karena menangis. Ia menggenggam secangkir teh hangat, tampak kecil dan rapuh di ruangan besar yang terasa terlalu damai untuk suasana yang terjadi di antara mereka.
“Zilfi, kita pulang sekarang,” kata Falah tegas.
Zilfi mendongak, menatap ayahnya dengan penuh pemberontakan. "Aku tidak mau, Ayah."
Falah merasakan kemarahan mulai membara dalam dirinya lagi. "Zilfi, ini bukan pilihan. Kamu tidak bisa lari ke sini setiap kali ada masalah di asrama."
"Aku tidak lari!" balas Zilfi dengan suara bergetar. "Aku cuma ingin bertemu ibu!"
Falah terdiam sejenak, mencoba menenangkan emosinya. Di satu sisi, dia bisa memahami perasaan putrinya. Tetapi di sisi lain, kabur ke rumah ibunya tanpa sepengetahuan nya bukanlah solusi yang bisa diterima.
Farah, yang berdiri di dekat pintu, mendekat perlahan. "Falah, biarkan dia bicara. Kita semua tahu bahwa ada masalah yang lebih besar di sini."
Falah menatap Farah dengan tajam. “Aku tidak butuh ceramah tentang bagaimana mengasuh anakku.”
“Itu juga anakku,” jawab Farah tenang. "Dan aku tahu, kamu juga ingin yang terbaik buat dia. Tapi kamu harus mendengarkan Zilfi."
Falah menatap putrinya, yang kini menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku cuma ingin bertemu sama ibu ,,,sudah lama aku tidak pulang ke rumah ibu."
“Zilfi,” kata Falah dengan suara yang lebih lembut, “Ayah hanya ingin kamu belajar bertanggung jawab. Kamu tidak bisa terus-menerus lari setiap ada masalah.”
“Tapi aku tidak lari, Ayah,” Zilfi memotong, suaranya mulai terdengar lebih tegas. "Aku hanya ingin tempat di mana aku merasa nyaman. aku memang suka di asrama ,,aku mending hidup di asrama yang jauh dari kehidupan yang sepi ,,tapi liburan kali ini ,aku ingin pulang ke rumah ibu ,,,."
Falah menatap putrinya dalam diam. Selama ini, ia berpikir bahwa memberikan fasilitas terbaik akan cukup untuk Zilfi. Asrama elit, pendidikan kelas atas,semua itu ia pikir bisa membuat anaknya menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Namun, dibalik semua itu, mungkin yang dibutuhkan Nadya hanyalah kehadiran yang lebih hangat.
“Ayah, aku capek,” lanjut Zilfi dengan suara serak. "Aku capek merasa seperti beban diantara kalian, aku tidak punya tempat. Aku cuma ingin ketenangan ,."
Falah merasakan amarah dalam dirinya perlahan mereda, digantikan dengan perasaan bersalah yang mulai menghantam keras. Apa yang selama ini ia perjuangkan, jika pada akhirnya anaknya merasa jauh darinya?
Andi terdiam lama. Perasaannya bercampur aduk antara ingin menegakkan disiplin dan keinginan untuk memperbaiki persyaratan dengan Zilfi. Dia ingin menjadi ayah yang tegas, tapi tidak kejam. Dia ingin melindungi Nadya, tapi tidak menjauhkannya dari kebahagiaan
“Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, Zilfi,” katanya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang.
Zilfi mengangguk pelan, meski masih terlihat ada keraguan di matanya. "Aku tahu, Ayah. Tapi... aku tidak bisa terus seperti ini, Aku butuh Ayah. Aku butuh Ibu."
Falah menatap mata anaknya, dan untuk pertama kalinya sejak berpisah dengan Farah, dia mendengar pengakuan itu dari putrinya . Falah mengusap kepala Zilfi dengan penuh kasih “Kamu tidak akan pernah kehilangan Ayah, Nak. Kamu selalu ada di hati Ayah, dan nggak ada yang bisa mengubah itu. Kita bisa tetap jadi keluarga, meski tidak seperti dulu,Jadi ayo kita pulang sekarang”
Zilfi pun mengangguk pelan,dia kecewa dengan jawaban ayah nya karena menolak untuk rujuk Dengan ibunya,kini ia tau bahwa kembali seperti dulu sebagai keluarga yang sempurna itu adalah hal yang mustahil.