Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.
Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.
Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.
"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.
Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.
Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.
Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JEJAK KEGELAPAN YANG LEBIH DALAM
Hari masih pagi, tetapi udara sudah terasa berat. Cahaya matahari yang seharusnya membawa kehangatan malah tampak redup, seakan enggan menembus kabut tipis yang melingkupi desa tua itu. Nur, Pujo, Ustad Eddy, dan Tri duduk dalam diam di sebuah warung kecil, merenungkan kejadian semalam. Meski mereka telah berhasil mengusir makhluk dari kegelapan, rasa tidak nyaman masih menghantui pikiran mereka.
Pujo, yang duduk paling ujung dengan rokok terselip di antara jari-jarinya, menghela napas panjang. "Aku tidak suka perasaan ini," gumamnya, suaranya berat namun tenang. Matanya yang selalu tajam kini dipenuhi kekhawatiran. "Biasanya setelah kita mengalahkan entitas seperti itu, ada kelegaan. Tapi kali ini... sesuatu terasa salah."
Tri, yang duduk di sebelahnya, mengangguk pelan. "Kamu tidak sendirian. Aku juga merasa ada yang belum selesai. Seolah-olah apa yang kita hadapi tadi malam hanya puncak dari gunung es."
Nur yang tengah menyeruput kopinya, menatap mereka dengan mata lelah. "Rantai itu... aku merasa kita hanya menyentuh sedikit dari apa yang tersembunyi di baliknya. Mungkin makhluk itu hanyalah penjaga dari sesuatu yang lebih besar." Dia meletakkan cangkirnya, menatap Ustad Eddy yang masih terdiam, membaca dzikir dengan tenang.
Ustad Eddy akhirnya mengangkat wajahnya, matanya tajam namun penuh ketenangan. "Kita sudah berhadapan dengan banyak makhluk, dari pocong, genderuwo, kuntilanak hingga yang lebih langka seperti glundung pringis dan leak. Namun, ini terasa berbeda. Energi yang ada di tempat itu seperti sesuatu yang sangat tua, jauh sebelum semua makhluk itu dikenal di masyarakat."
"Jadi kita berhadapan dengan apa?" tanya Nur, meskipun dalam hatinya ia sudah tahu jawabannya tidak akan memuaskannya.
"Aku tidak tahu," jawab Ustad Eddy perlahan. "Tetapi ini bukan sekadar ilmu pesugihan biasa. Mungkin ini adalah salah satu bentuk kekuatan kuno, yang berasal dari zaman di mana manusia dan roh hidup berdampingan dengan cara yang sangat berbeda."
Suasana hening. Tidak ada yang bisa menyangkal kebenaran dalam kata-kata Ustad Eddy. Mereka semua merasakannya. Ada sesuatu yang lebih besar dari makhluk yang mereka hadapi semalam. Sesuatu yang mungkin bersembunyi jauh di balik bayang-bayang.
Nur meraih tas ranselnya dan mengeluarkan peta kuno yang ia temukan di rumah tua tempat mereka bertarung. Peta itu penuh dengan simbol-simbol misterius, kebanyakan tidak dapat dipahami. "Aku menemukan ini saat kita mencari rantai tadi malam," katanya. "Aku pikir ini bisa menjadi petunjuk."
Pujo segera mendekat, menatap peta dengan seksama. "Ini seperti... jalur atau jalan," katanya, jarinya menelusuri garis-garis samar di peta. "Tapi ini bukan sembarang peta. Lihat, di sini ada tanda yang aneh. Ini bukan seperti tanda pada peta biasa."
Tri yang penasaran segera melihat lebih dekat. "Itu mirip dengan simbol yang kita temukan di dinding rumah tadi malam," ujarnya sambil menunjuk pada salah satu bagian peta yang penuh dengan lingkaran-lingkaran yang saling terkait.
Ustad Eddy mengangguk. "Aku pikir ini bukan peta fisik. Ini peta energi. Jalan-jalan yang terhubung dengan aliran kekuatan tertentu. Kita mungkin sudah terjebak dalam arus energi ini, dan tempat yang kita datangi semalam hanyalah salah satu simpul dari jaringan yang lebih besar."
Nur menyadari sesuatu. "Jika itu benar, berarti ada lebih banyak tempat seperti itu di sekitar sini. Lebih banyak rantai yang terikat, lebih banyak makhluk yang menjaga."
"Dan lebih banyak rahasia gelap yang tersembunyi," tambah Pujo. "Kalau kita terus maju, kita harus siap dengan apa pun yang mungkin kita hadapi."
***
Siang itu, mereka memutuskan untuk menjelajahi lebih jauh, mengikuti jalur-jalur di peta yang membawa mereka ke desa-desa terpencil di sekitar wilayah tersebut. Setiap tempat yang mereka kunjungi memiliki cerita sendiri, penuh dengan legenda tentang makhluk-makhluk mistis yang telah lama menghantui masyarakat. Ada yang bercerita tentang kuntilanak merah, makhluk jahat yang mencari balas dendam, ada yang berbicara tentang tuyul yang mencuri harta orang kaya sebagai bagian dari ritual pesugihan. Namun, semuanya tampak saling terhubung dengan jejak misterius yang mereka temukan di peta.
Saat mereka tiba di sebuah desa yang tampak lebih tua dari yang lain, mereka langsung merasakan energi yang berbeda. Udara di sana lebih berat, hampir terasa menekan dada mereka. Penduduk desa tampak curiga terhadap kedatangan mereka, namun mereka tidak menghentikan langkah Nur dan yang lainnya.
"Ada sesuatu yang aneh di sini," bisik Tri saat mereka melangkah lebih dalam ke desa. "Aku bisa merasakan aura kegelapan yang jauh lebih kuat dibandingkan tempat-tempat sebelumnya."
Pujo mengangguk setuju. "Aku juga merasakannya. Ini lebih besar dari sekadar makhluk-makhluk pesugihan. Rasanya... seolah-olah ada sesuatu yang dikubur di bawah tanah ini."
Mereka melanjutkan pencarian hingga tiba di sebuah kuil tua yang hampir sepenuhnya tertutup oleh tumbuhan liar. Bangunannya tampak sangat kuno, jauh lebih tua dari apa pun yang pernah mereka temui sebelumnya. Simbol-simbol kuno terpahat di dinding, mirip dengan yang ada di peta.
"Ini dia," kata Nur, suaranya hampir berbisik. "Ini pusat dari semua ini."
Namun, sebelum mereka bisa mendekati pintu kuil, terdengar suara gemuruh dari dalam tanah. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan dari kegelapan di dalam kuil, muncul sosok yang jauh lebih besar dan lebih mengerikan daripada makhluk yang mereka hadapi semalam. Makhluk itu memiliki tubuh yang seperti bayangan pekat, dengan mata yang bersinar merah darah. Dia tidak memiliki bentuk yang jelas, tetapi aura kekuatannya begitu mengerikan sehingga membuat mereka mundur beberapa langkah.
“Kalian terlalu jauh masuk ke dalam wilayah kami,” suara makhluk itu terdengar lebih jelas daripada yang sebelumnya. Kali ini, suaranya seolah tidak hanya keluar dari mulut, tetapi dari segala arah, menggema di dalam pikiran mereka.
Pujo, yang biasanya paling berani, tampak ragu sejenak. “Ini bukan makhluk biasa. Dia lebih kuat dari yang lain.”
Ustad Eddy melangkah maju, tasbih di tangan, berusaha untuk tetap tenang. "Dengan izin-Nya, kita bisa melawan apa pun yang ada di hadapan kita," katanya, namun kali ini, bahkan Ustad Eddy tampak sedikit tegang.
Makhluk itu tertawa, suara tawa yang dingin dan menembus jiwa. “Kekuatan dari atas tidak akan membantu kalian di sini. Ini adalah wilayah kami, kekuatan kuno yang sudah ada sebelum manusia berjalan di bumi.”
Nur meraih peta yang masih di tangannya, mencoba memahami lebih lanjut simbol-simbol di peta. Saat dia menyentuh salah satu simbol yang ada di peta, tiba-tiba seberkas cahaya muncul dari simbol tersebut, memancar langsung ke arah kuil. Cahaya itu membentuk jalur, mengarah ke sebuah titik di tanah di depan mereka.
“Lihat ini,” kata Nur, menunjuk ke arah tempat di mana cahaya itu terfokus.
“Ini… seperti pintu,” kata Pujo, mendekat. Tanpa ragu, dia mulai menggali dengan tangan kosong, dan tidak lama kemudian mereka menemukan sebuah pintu batu besar yang tertutup rapat.
“Kita harus masuk,” kata Tri, meskipun dalam hatinya dia merasa ngeri dengan apa yang mungkin mereka temukan di dalam.
Mereka membuka pintu batu itu, dan di bawahnya, terhampar sebuah lorong gelap yang sepertinya menuju lebih dalam ke bawah tanah. Angin dingin dari dalam lorong itu berhembus, membawa bau yang busuk dan menyesakkan.
“Apakah kita benar-benar ingin melangkah lebih jauh?” tanya Tri, suaranya gemetar.
Pujo mengangguk, meskipun dia juga merasakan ketakutan yang sama. "Kita sudah sampai sejauh ini. Tidak ada jalan kembali sekarang."
Dan dengan itu, mereka pun melangkah masuk ke dalam kegelapan, menuju ke pusat dari semua misteri yang telah mereka kejar selama ini. Kegelapan yang menunggu di bawah tanah bukanlah sekadar makhluk atau entitas biasa. Ini adalah kekuatan yang lebih besar, kekuatan yang mungkin tidak bisa mereka lawan dengan mudah.
Tetapi, apapun yang terjadi, mereka tahu bahwa mereka harus melanjutkan. Karena di balik semua ketakutan dan kegelapan ini, mungkin tersembunyi kunci untuk mengakhiri siklus pesugihan dan kekuatan gelap yang telah menghantui tempat ini selama berabad-abad.