Cinta memang tak memandang logika. Cinta tak memandang status. Suami yang ku cintai selama ini, tega menikah dengan wanita lain di belakang ku.
"Maafkan aku Ris! Tapi aku mencintainya. Dan sebenarnya, selama ini aku tak pernah mencintai kamu!"
"Jika memang kamu mencintai dia, maka aku akan ikhlas, Mas. Aku berharap, jika suatu saat hatimu sudah bisa mencintaiku. Maka aku harap, waktu itu tidak terlambat."
Risma harus menerima kenyataan pahit dalam rumah tangganya, saat mengetahui jika suaminya mencintai wanita lain, dan ternyata dia tak pernah ada di hati Pandu, Suaminya.
Akankah Pandu bisa mencintai Risma?
Dan apakah saat cinta itu tumbuh, Risma akan bisa menerima Pandu kembali? Dan hal besar apa yang selama ini Risma sembunyikan dari semua orang, termasuk Pandu?
Simak yuk kisahnya hanya di Novel ini.
JANGAN LUPA TEKAN FAV, LIKE, KOMEN DAN VOTENYA... KARENA ITU SANGAT BERHARGA BUAT AUTHOR🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Risma
"Ternyata rasanya sesakit ini diabaikan. Maafkan aku Ris! Semoga kamu mau memaafkan aku dan aku janji akan memperbaiki hubungan kita, mungkin aku mulai mencintai kamu, karena hatiku selalu sakit saat kamu mengabaikan ku. Alloh ampuni aku."
Pandu terus sibuk dengan perasaannya sendiri, merasa bersalah dan menyesal yang mungkin sudah terlambat. Karena hati Risma sudah benar benar ia tutup untuk cinta dan harapan itu, Risma sudah lelah dan ingin merasakan hidup yang lebih baik dengan tanpa Pandu dalam mimpi dan harapannya. Semua sudah berakhir seiring dengan penghianatan yang Pandu ciptakan.
Terus melesatkan mobilnya dengan kecepatan tinggi, Pandu ingin segera sampai rumah dan menemui Risma. Meminta maaf dan mengatakan kalau dia sudah mulai mencintai istrinya.
Pandu rela melakukan apapun yang diminta Risma, asal dia mau memaafkannya.
Hanya butuh waktu satu jam, Pandu sudah sampai di halaman rumahnya, memarkirkan mobilnya dan turun dengan segera. Melangkah tegap dengan langkahnya yang lebar, mencari keberadaan istrinya di setiap ruangan, namun nihil. Risma tidak Pandu temukan dimanapun. Bahkan anak anaknya juga tidak kelihatan.
Pandu panik, takut kalau Risma pergi membawa anak anak meninggalkan dirinya.
"Ris! Dimana kamu, Risma!
Galang!
Cinta! " Semua Pandu panggil, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Keberadaan pembantunya saja juga tidak ada.
"Ya Tuhan, kemana mereka. Jangan hukum aku seperti ini Tuhan, disaat aku mulai membuka hati untuk istriku, kenapa saat itu juga aku membuatnya semakin terluka dengan kebodohan ku yang memasukkan cinta yang dulu aku cari.
Jangan pergi, RIS! Jangan tinggalkan aku sendirian."
Pandu meratap sendirian, matanya sudah memerah dengan pikiran yang tak tentu arah. Kacau, pandu benar benar frustasi.
Berkali kali pandu memencet nomor istrinya, namun tidak sekalipun Risma mau mengangkatnya, padahal terlihat online. Pandu kian gusar dan semakin sesak.
Berjalan menuju kamar dan membuka lemari, Pandu tersenyum karena barang barang Risma masih utuh disana. Itu artinya Risma hanya sedang pergi dan akan kembali.
Kembali pandu melangkahkan kaki menuju kamar anak anaknya, dan sama, semua barang anak anaknya juga masih ada di tempat.
Lega, itu yang Pandu rasakan. Kembali mengayunkan langkah dan membersihkan diri berganti dengan pakaian santai, merebahkan tubuhnya di atas ranjang, pikirannya melayang, mengingat bagaimana Risma selalu menggodanya, selalu meminta haknya duluan dan Pandu akan terpaksa melakukannya. Tapi kini, Pandu yang merindukan semua itu, Pandu yang berharap dan menginginkan Risma. Penyesalan dan perasaan bersalah cukup menguras pikirannya, akhirnya Tanpa sadar Pandu terlelap meringkuk sendirian di atas kasur empuk berukuran besar.
Pukul lima sore, Risma dan anak anaknya pulang dengan memakai mobil baru, Honda jazz warna putih, jadi pilihan Risma. Anak anak terlihat bahagia, turun dari mobil dengan riang dengan segala celotehnya.
Risma menatap mobil milik suaminya yang sudah terparkir rapi di garasi.
"Tumben Mas pandu sudah ada dirumah?" gumam Risma lirih dan kembali meneruskan langkah menyusul anak anaknya masuk ke dalam rumah.
"Ma, Papa dimana? mobilnya sudah dirumah berarti papa sudah pulang .
Papa! Papa!" teriak Galang semangat dan berlarian mencari keberadaan papanya.
Risma hanya menatapnya perih, tak tega jika harus memisahkan anak anaknya dari papanya, pilihan satu satunya, bertahan tapi dengan merubah keadaan yang tak lagi menyakitinya.
Mendengar ribu ribut dan suara anaknya memanggil, Pandu terbangun dan mengusap wajahnya.
"Papa!"
Teriak Galang saat sudah membuka pintu kamar dan melihat Pandu ada di dalam.
"Wah jagoan papa, sini nak." sahut Pandu sambil membenahi posisinya.
"Papa sudah pulang jam segini, tumben!" Galang menatap papanya dengan ekspresi menggemaskan berdiri di samping ranjang.
"Iya papa sudah pulang dari tadi, tapi dirumah sepi, gak ada siapa-siapa, Dari mana tadi sama mama?"
Pandu berusaha mencari informasi dari anak laki lakinya.
"Anterin mama belanja, dan mama beli mobil baru loh, Pa!" Sahut Galang antusias.
Pandu mengerutkan wajahnya.
"Mobil baru? kok gak bilang papa!" balas Pandu dengan mimik sedih di perlihatkan pada anaknya yang justru tertawa.
"Habis papa sibuk terus, mama harus punya mobil sendiri, biar kemana mana bawa kami gak repot, gitu kata mama. Tapi Galang suka, mobil mama bagus, imut." sahut Galang menggemaskan dan membuat Pandu tak tahan untuk tidak mencium pipi anaknya.
"Yasudah, yuk, papa ingin lihat mobil baru punya mama, Galang antarin ya!"
"Oke papa!" sahut Galang dan langsung berlarian keluar dengan lucunya. Pandu mengikuti dari belakang dan saat sampai diruang tengah berpapasan dengan Risma yang nampak berbeda.
Gamis hitam dan jilbab lebar warna senada melekat ditubuh wanita ayu yang kini ada di hadapannya. Pandu tertegun. Cantik, kata yang pertama kali keluar dari mulutnya.
"Ma, kamu beli mobil? kenapa gak bilang bilang, aku kan bisa antar kamu." Pandu mengawali obrolan dengan berusaha bersikap manis.
"Bukankah menjadi istri perwira harus bisa melakukan semuanya sendiri, harus tangguh dan tidak manja. Aku masih ingat dengan kata kata itu, Pa!" Sahut Risma dingin dan langsung berlalu meninggalkan Pandu yang mematung, mengingat ucapannya beberapa tahun yang lalu, saat Risma memintanya untuk menemani membeli motor matic baru.
"Lagi lagi, semua salahku." Pandu bergumam kesal dan mengusap wajahnya kasar.
Membelokkan arah dan memutuskan untuk mengikuti Risma yang sedang menuju kamarnya.
"Ma! kita harus bicara!"
Pandu menatap istrinya yang sibuk meletakkan belanjaan nya dan mulai melepaskan hijabnya.
"Bicara soal apa?
Apa wanita itu sudah mengadu, kalau tadi pagi aku menemuinya?
Kamu tidak suka, dan akan memintaku untuk meminta maaf padanya?
Apa begitu, Pak Pandu Aditama?"
Risma dengan nada dingin membalas pertanyaan Pandu dengan pertanyaan ganti.
Pandu menggeleng, dan menahan napasnya.
Apalagi Risma dengan sengaja melepas baju dihadapannya.
Dengan sikap cuek nya Risma melepas satu persatu baju nya, dan menggantinya dengan daster tanpa lengan.
Pandu hanya bisa menelan ludahnya kasar saat matanya melihat segala keindahan yang ada di tubuh sang istri.
"Rasain kamu, Mas." Batin Risma tertawa jahat. Bukan tanpa sebab dia melakukan itu, Risma sengaja ingin menyiksa Pandu. Agar dia tau seperti apa rasanya menahan diri saat merindukan pelukan, namun tak kunjung diberikan padahal berada dalam satu atap.
Toh mereka masih sah suami istri, jadi tak masalah Pandu melihat keindahan dalam diri Risma. Hanya sekedar melihat untuk menyiksanya. "Sakit kan, Mas?" batin Risma bersorak.
"Kita harus bicara, karena ini tidak akan selesai, tanpa kita bicara." sahut Pandu pada akhirnya, setelah berhasil menguasai dirinya.
"Kamu sengaja, memarkan tubuhmu di depanku kan, kamu ingin kita melakukan itu kan, Ma? "
Pandu mulai mendekat dan ingin meraih Risma dalam pelukannya, namun dengan cepat Risma menepisnya.
"Jangan pernah sentuh aku, Pa. Tangan dan tubuhmu sudah kamu buat menjamah perempuan itu. Tak Sudi aku berbagi raga dengan wanita manapun. Ingat itu!"
Risma menatap tajam pada Pandu yang mulai mengepalkan kedua tangannya.
"Cukup!
Cukup, Risma! Cukup!
teriak Pandu yang sudah tidak lagi bisa menahan dirinya. Harga dirinya merasa di injak injak oleh istrinya saat ini.