Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Bukan Drama Korea
Arga duduk termangu di kursinya, tangan menopang dagu. Komputer di depannya menampilkan headline berita yang membuatnya ingin melempar monitor: "Ivan, Putra Pejabat, Bebas dari Jerat Hukum." Di bawahnya, ada sederet komentar netizen konoha (baca: Indonesia) yang, seperti biasa, bak tsunami kritik pedas.
"Cek rekening polisinya dong, pasti nambah nol belakangnya."
"Wah, hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Udah biasa."
"Ivan bebas, rakyat menangis. Polisi ngopi."
"Netizen, ayo gotong royong beli keadilan buat korban!"
Arga memijat pelipisnya. Miris. Rasanya seperti ditusuk-tusuk komentar itu, apalagi karena... ya, mereka nggak salah juga. Dia melirik Rahmat yang sedang membaca berita serupa di ponselnya sambil sesekali meringis geli.
"Netizen nih lucu-lucu ya, Ga. Ada yang bilang, 'Mungkin hukum di kita emang sistem berlangganan. Yang premium bisa skip jeruji.' Pinter bener tuh orang," kata Rahmat sambil terkekeh.
Arga melotot. "Mat, lo bisa ketawa? Ini serius, tahu! Orang-orang tuh udah nggak percaya sama kita. Malah mereka ngetawain!"
Rahmat mengangkat bahu. "Ya kan, udah lama juga, Ga. Apa lo baru nyadar sekarang? Selamat datang di dunia nyata, Bos."
Arga membuang napas keras-keras. "Yang gue nggak habis pikir, Mat, kenapa semua yang di dalam sistem ini bisa anteng-anteng aja? Netizen aja, yang cuma lihat dari layar, ngerti ada yang salah. Masa kita, yang tiap hari ngadepin ini, malah diem?"
Rahmat menaruh ponselnya dan menatap Arga serius. "Karena, Ga, kalau kita kebanyakan protes, kita bakal abis sendiri. Ya kayak lo dan gue, contohnya. Makanya, udah, nggak usah pusing. Yang penting kerja, gaji lancar, pulang selamat."
"Jadi cuma itu?" Arga menatap Rahmat tajam. "Kita di sini cuma buat nerima gaji, terus pura-pura buta?"
Rahmat menggaruk kepala. "Lo kebanyakan nonton drama polisi, Ga. Hidup tuh nggak segampang itu. Jangan lo pikir, jadi polisi kayak sinetron drama korea"
Sebelum Arga sempat membalas, pintu ruangan terbuka. Komandan Gunawan masuk dengan ekspresi datar khasnya. "Lagi diskusi berat, ya? Atau sekadar nyari alasan buat nggak kerja?"
Arga mengangkat tangan, merasa dapat angin segar. "Pak, ini kan soal Ivan. Kalau berita kayak gini terus keluar, gimana masyarakat bisa percaya sama kita lagi?"
Gunawan menatap Arga lama, lalu akhirnya bicara, suaranya pelan tapi jelas. "Arga, kalau kita peduli semua omongan orang, kita nggak bakal bisa kerja. Fokus aja sama apa yang bisa kita perbaiki, satu-satu. Kita nggak bisa ubah dunia dalam sehari. Tapi kalau kamu mau coba, saya nggak akan larang."
Arga diam. Kata-kata Gunawan masuk ke telinganya, tapi hatinya masih berat. Dia tahu maksud Gunawan benar, tapi tetap saja, rasanya tidak cukup. Dunia terlalu busuk, dan dia hanya punya satu sapu kecil untuk membersihkannya.
Netizen boleh ketawa-ketawa di balik layar, tapi bagi Arga, ini bukan sekadar lelucon. Ini perjuangan. Dan meskipun dia tahu jalannya panjang dan penuh rintangan, dia tidak mau menyerah. Belum.
...****************...
Di sebuah apartemen mewah di pusat kota, Ivan melangkah keluar dari lift dengan wajah garang. Meski baru saja bebas dari jeratan hukum, emosinya masih membara. Ayahnya sudah memperingatkan: "Diam di rumah. Jangan cari masalah." Tapi bagi Ivan, kata-kata itu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Pikirannya penuh kemarahan. Semua ini—penangkapan, rasa malu, dan pemberitaan buruk—adalah akibat Jessica dan juga.... Rosa. Kalau saja wanita itu tidak berani mengadukan perbuatannya, hidupnya akan tetap mulus seperti biasa.
Setibanya di depan pintu apartemen Jessica, Ivan langsung menggedor keras tanpa peduli waktu. “Jess! Buka pintunya! Gue tahu lo di dalam!” teriaknya.
Di dalam, Jessica duduk membeku di sofa, kedua tangan memeluk lutut. Wajahnya pucat, matanya penuh ketakutan. Dia sudah menduga Ivan akan datang, meskipun berharap pria itu akan menuruti perintah ayahnya dan menjauhinya untuk sementara waktu. Tapi itu Ivan, pria yang tidak pernah menerima kata "tidak."
Ketukan semakin keras, hampir seperti ingin mendobrak pintu. Jessica gemetar, ingin menelepon polisi, tapi dia tahu percuma. Ivan baru saja bebas. Siapa yang akan percaya padanya sekarang?
...****************...
Beberapa tetangga mulai membuka pintu mereka sedikit, mengintip dari celah.
"Siapa sih ini ribut banget?" gumam salah satu tetangga sambil menggelengkan kepala. Tapi begitu melihat sosok Ivan, yang bertubuh besar dan berwajah garang, mereka segera menutup pintu rapat-rapat. "Ah, biar aja. Jangan ikut campur urusan orang."
Namun, seorang wanita tua di lantai bawah, yang selalu sensitif terhadap keributan, mengintip dari balkon. "Ini lagi! Keributan apalagi, ya ampun..." Dengan sigap, dia mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan ke grup WhatsApp penghuni apartemen.
“Jess, jangan bikin gue tambah marah!” Ivan mengancam, suaranya penuh amarah.
Dengan tangan gemetar, Jessica akhirnya berdiri dan membuka pintu sedikit, hanya untuk menghindari Ivan membuat keributan lebih besar. “Apa lagi yang kamu mau, Van? Bukannya kamu sudah bebas seperti yang kamu mau, tolong jangan ganggu aku lagi?”
Ivan mendorong pintu hingga terbuka lebar dan masuk dengan langkah besar. Tatapan matanya seperti bara api. “Lo masih nanya apa yang gue mau? Gue mau tahu kenapa lo berani macem-macem sama gue! Gara-gara lo sama Rosa, jadi bikin gue harus tidur di kantor polisi berhari-hari, Jess! Gue malu! Semua ini salah lo!”
Begitu pintu terbuka, Ivan mendorongnya dengan tenaga berlebihan hingga hampir menabrak Jessica. Napasnya berat, wajahnya merah. Namun, begitu melangkah masuk, sikapnya berubah total. Senyumnya muncul tiba-tiba, seperti orang yang baru saja memenangkan undian besar.
"Jessica," katanya dengan suara lembut, matanya menyipit seolah menampilkan kasih sayang. "Kita perlu bicara." Dia mengangkat tangannya, seperti sedang mencoba menyentuh wajah Jessica, tapi gadis itu mundur setengah langkah, tubuhnya gemetar.
"Aku nggak mau ngomong, Ivan. Tolong keluar," Jessica berkata dengan suara bergetar, tapi Ivan hanya mendesah panjang.
"Jess, kenapa kamu jadi keras kepala begini? Kita kan pernah bahagia." Nada suaranya berubah melankolis, seolah dia benar-benar mengenang masa-masa indah. "Ingat nggak waktu kita liburan ke Bali? Kamu pakai baju merah yang aku suka itu... Kamu terlihat seperti bidadari."
Jessica menelan ludah. "Ivan, tolong. Aku nggak mau—"
Ivan memotong, kali ini dengan nada sedikit tajam. "Dengar dulu, dong!" Tapi dia segera tersenyum lagi, menutupi amarahnya yang hampir meluap. "Aku cuma ingin kita kembali seperti dulu. Kamu tahu, aku cinta kamu, Jess. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
Jessica memandang Ivan, tak percaya. Baginya, "masa-masa indah" yang disebut Ivan adalah hari-hari penuh ketakutan, di mana dia harus berpura-pura tersenyum meski tubuhnya penuh memar. Saat Ivan memaksakan cintanya dengan cara yang menyakitkan, saat dia memutuskan hubungan Jessica dengan sahabat dan keluarganya. Masa-masa itu adalah neraka yang ingin dia lupakan selamanya.
"Ivan, masa itu..." Jessica mencoba mengontrol suaranya. "Itu bukan bahagia. Itu—itu...penyiksaan." Suaranya pecah, air mata mulai mengalir. Tapi Ivan hanya tertawa kecil, seolah yang didengarnya adalah lelucon.
"Siksa? Jessica, kamu lebay. Aku itu cuma... keras karena aku peduli! Aku nggak mau ada yang menyakitimu! Cuma aku yang boleh jaga kamu, ngerti?" Suaranya naik lagi, lalu dia menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Tapi aku nggak mau marah, aku di sini buat kita, buat hubungan ini. Kamu dan aku, Jess. Cuma kita berdua."
Jessica merasa sesak, seperti ruangan itu semakin mengecil. Ivan semakin mendekat, dan instingnya mengatakan dia harus pergi, harus keluar dari situ. Tapi Ivan berdiri di antara dia dan pintu. Wajah lembut Ivan kini tampak lebih menyeramkan dibanding amarahnya.
"Ivan, aku... aku nggak mau ini lagi," kata Jessica pelan, hampir seperti bisikan.
Wajah Ivan berubah. Senyumnya hilang, digantikan oleh tatapan dingin. "Kamu nggak punya pilihan, Jess. Kita ini udah ditakdirkan bersama. Nggak ada yang bisa memisahkan kita. Bukan orang tua kamu, bukan Rosa, bahkan bukan polisi tolol yang nangkep aku kemarin!"
Jessica menggigit bibir, tubuhnya membeku. Dalam hatinya, dia hanya bisa berharap seseorang, siapa pun, akan mengetuk pintunya lagi sebelum semuanya terlambat.
Jessica mencoba berbicara, tapi Ivan sudah meraih pergelangan tangannya dengan kasar. “Denger ya, Jess. Gue nggak peduli apa yang lo pikirin. Lo cuma milik gue. Dan kalau lo coba ninggalin gue lagi, lo bakal tahu apa akibatnya.”
Tangis Jessica pecah, tapi Ivan tidak peduli. Baginya, Jessica adalah miliknya, dan tidak ada yang bisa mengubah itu.
...****************...