NovelToon NovelToon
Renjana Senja Kala

Renjana Senja Kala

Status: tamat
Genre:Romantis / Contest / Romansa / Tamat
Popularitas:19.3M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SEGERA TERBIT CETAK

"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".

***

Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.

Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.

Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.

Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Pria Berkaos Biru Gelap

Jakarta

Pocut

"Itu ... Nenek pulang!" seru Sasa sambil menunjuk ke arah pintu.

"Nenek bawa apa, Nek?" tanya Sasa yang berlari menghambur ke arah pintu. Menyambut kedatangan Mamak dengan penuh suka cita.

"Ikan ...." jawab Mamak dengan senyum terkembang. Tapi begitu melihat dua orang tamu yang sedang duduk di kursi, dahi Mamak langsung mengerut.

"Nenek ada tamu, Nek," celoteh Sasa. Seraya menggelayuti tangan kiri Mamak. "Nyariin Nenek ...."

"Akungnya Dekgam Aran," terang Sasa, seolah menjadi satu-satunya orang yang paling mengetahui informasi terkini. Dan harus segera menyampaikannya detik ini juga.

"Tapi sayang ... Dekgamnya nggak ikut," Sasa mengangkat bahu dengan wajah menyesalkan. "Padahal Sasa udah kangen banget sama Dekgam ...."

Mamak tersenyum menanggapi celotehan Sasa. Kemudian mengangguk sopan ke arah Pak Setyo dan Tama. Lalu berjalan menghampirinya.

"Ini .... Pak Ustadz baru panen ikan," bisik Mamak dengan kening yang semakin mengerut. Sembari menyerahkan kantong kresek berwarna putih yang terlihat berat.

Ia menerima kantong kresek warna putih dari tangan Mamak dan segera melihat isinya. Di dalamnya terdapat lebih dari sepuluh ekor ikan Nila. Yang sebagian besar masih hidup. Menggelepar-gelepar mencari keberadaan air.

Membuatnya buru-buru mengikat kembali kantong kresek tersebut.

"Mohon maaf sebelumnya ...." Tama angkat bicara. "Kami berkunjung kemari tanpa berkabar terlebih dahulu. Mungkin ... sedikit mengejutkan Bu Cut."

Mamak kembali mengangguk.

Sementara ia tengah berusaha mengangkat boneka beruang yang tersimpan di atas kursi.

"Sasa ... bonekanya tolong simpan di dalam. Nenek mau duduk," bisiknya pada Sasa, yang masih menggelayuti tangan Mamak.

Sasa langsung mengangguk dan melakukan perintahnya dalam waktu singkat. Dengan setengah berlari membawa boneka beruang ke dalam kamar.

"Maaf ... harus menunggu lama," ucap Mamak yang kini telah duduk di kursi.

Sementara Pak Setyo yang baru selesai menyusut air mata, hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Mamak.

Namun sebelum Tama sempat menjawab, Mamak kembali berkata, "Apa berkenan jika menunggu sebentar?"

"Ada ikan segar yang baru dipanen. Bisa dimasak sebentar," lanjut Mamak.

Tama menoleh ke arah Pak Setyo dengan wajah bingung. Tapi keburu Pak Setyo mengangguk, "Memang ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan."

Ucapan Pak Setyo benar-benar melegakan. Karena ia jadi bisa menghindar sementara waktu dari ruang tamu dan pria yang selalu menatapnya.

Tapi, baru juga menyimpan ikan Nila yang masih menggelepar ke dalam baskom, satu jenis suara yang coba dilupakannya tiba-tiba terdengar.

"Biar saya yang bersihkan."

Ia yang terlonjak kaget dan tak pernah mengira Tama akan menyusul ke belakang, hanya bisa berucap gugup, "Oh ... nggak usah ... nggak usah ...."

"Mana pisaunya?" Namun Tama sama sekali tak menghiraukan penolakannya.

"Tamu duduk di depan saja ...." Ujarnya bertambah gugup.

"Papa sepertinya ingin bicara berdua dengan Bu Cut," kilah Tama beralasan. "Daripada bengong ... mending ikut bersihin ikan. Mana pisaunya?"

Sambil mendesah tak percaya, ia terpaksa menoleh ke arah Tama, yang ternyata juga sedang memandanginya.

Ia kembali mendesah dengan hati mendongkol. Sementara otaknya benar-benar buntu. Tak bisa memikirkan alasan tepat yang paling masuk akal. Untuk menolak keberadaan Tama di sini, di belakang rumah, sekaligus menawarkan untuk ikut membantunya membersihkan ikan.

Dengan kening mengerut, ia terpaksa beranjak untuk mengambil sandal. Yang biasa dipakai Agam saat pulang ke rumah. Lalu mengangsurkannya ke arah Tama.

"Di sini kotor," ucapnya kaku. "Harus pakai san ...."

Namun belum juga berhasil menyelesaikan kalimat, Tama telah meraih sandal dari tangannya terlebih dahulu.

Tapi karena gerakan yang terlampau cepat, uluran tangan Tama justru menyentuh kulitnya.

Detik itu juga ia langsung melepaskan sandal.

Beruntung Tama masih bisa menangkapnya.

"Maaf!" gumamnya singkat dengan hati setengah berdebar setengah mendongkol. Kemudian buru-buru melangkah masuk ke dapur untuk mengambil pisau.

"Saya yang bersihkan ikan," ujar Tama saat menerima pisau darinya. "Kamu siapin yang lain."

Ia kembali mendesah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama. Karena telinganya menangkap itu sebagai perintah mutlak yang tak bisa ditawar.

Ia hampir melontarkan kalimat sanggahan. Tapi begitu melihat Tama meraih ikan pertama. Lalu membersihkan sisiknya. Memotong sirip dan ekornya. Kemudian membelah perut dan mengeluarkan seluruh isinya. Mulutnya langsung terkatup dengan sendirinya.

"Belum pernah lihat orang bersihin ikan?" Tama menoleh ke arahnya seraya mengu lum senyum.

Ia yang awalnya hampir tertawa demi melihat gaya luwes Tama saat membersihkan ikan. Mendadak mengerutkan dahi dan memasang wajah mengerut.

"Bertahun-tahun saya tinggal di asrama," ujar Tama sembari terus menatapnya. "Cuma bersihin ikan sih perkara kecil ...."

Detik itu juga, ia langsung memasang wajah masam dan bermusuhan.

"Siapa juga yang bertanya?" batinnya dengan hati yang kembali mendongkol.

"Bukankah memang sudah sewajarnya, jika seorang pria bisa membersihkan ikan? Tak harus hidup di asrama bertahun-tahun terlebih dahulu?"

"Justru aneh jika seseorang mengaku pria, tapi hal remeh seperti membersihkan ikan saja tak bisa," pikirnya campur aduk antara kesal dan malu.

Kesal, karena Tama ternyata tak tinggi hati seperti yang diperkiraannya. Tanpa canggung sedikitpun mau berjongkok membersihkan ikan di belakang rumah.

Sekaligus malu. Sebab mata mereka sempat saling bertautan. Yang berhasil membuat sekujur tubuhnya kembali meremang.

----- 

Ia sedang mengulek bumbu, ketika sudut matanya menangkap bayangan sosok Tama yang melangkah memasuki dapur. Sambil membawa baskom berisi ikan yang telah dibersihkan.

"Mau dimasak apa?"

Bahkan meskipun ia tahu Tama sudah berada di dapur. Namun pertanyaan yang terdengar oleh telinga masih membuatnya terlonjak kaget.

Ia menelan ludah dengan gugup. Sebelum akhirnya menjawab dengan nada suara kaku, "Sup dan pesmol."

Ikan Nila yang dibawa pulang Mamak hampir seberat tiga kilo lebih. Ukurannya yang sedang membuat jumlah ikan terlihat banyak.

Awalnya ia ingin memasak yang mudah dan cepat, yaitu pesmol ikan. Sama seperti yang pernah Agam bawa pulang ke rumah beberapa waktu lalu.

"Ini masakan kesukaan di rumah Anja," terang Agam, saat membawa pulang pesmol ikan Mas berukuran besar.

Tapi begitu teringat, jika sebelumnya Pak Setyo pernah mendapat serangan stroke. Mengonsumsi makanan dengan cara digoreng jelas sangat tak dianjurkan. Bahkan mungkin harus dihindari.

Jadi ia memutuskan untuk memasak dua macam menu. Pesmol dan sup ikan. Dua-duanya termasuk menu masakan yang mudah dan cepat dibuat.

Tama tak memberi komentar apapun.

Suasana dapur pun kembali hening. Hanya terdengar suara ulekan yang beradu di atas ceprek. Dan air di dalam panci yang hampir mendidih.

Jujur saja, ia merasa lebih senang dengan suasana seperti ini. Sepi dan hening. Tanpa harus menjawab pertanyaan dari Tama yang membuatnya gugup dan terselip lidah. Sebab merasa sangat kesulitan untuk berkata.

Sementara dari arah ruang tamu, terdengar suara celotehan Umay dan pekikan riang Sasa. Diiringi tawa renyah Pak Setyo dan juga Mamak. Entah sedang membicarakan apa. Pastinya lebih terasa menyenangkan jika dibandingkan dengan suasana dapur yang kaku dan mencekam.

Baginya.

Entah bagi Tama.

Karena pria yang duduk tepat di belakang punggungnya itu, kini diam seribu bahasa. Tak lagi bertanya-tanya ataupun sekedar memberi komentar tak penting padanya.

Dan ketika ia menyempatkan diri untuk mencuri-curi pandang melalui sudut mata, Tama terlihat tengah serius menatap layar telepon seluler.

Ia pun buru-buru menyelesaikan masakannya. Tentu agar orang-orang tak terlalu lama menunggu. Dan ia bisa terbebas dari Tama, yang sejak awal seolah sedang memenjarakannya. Tanpa ada celah baginya untuk menghindar.

***

Tama

Ia memandangi punggung Pocut yang sedang berkutat di depan kompor. Di mana dua buah tungku menyala secara bersamaan.

Tungku sebelah kanan berisi panci, yang sudah menguarkan aroma harum dan kesegaran sup yang hampir matang.

Sedangkan tungku sebelah kiri berisi wajan. Di mana Pocut terlihat sedang menumis bumbu.

Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Dapur yang tak terlalu luas bahkan cenderung berukuran kecil ini terlihat sangat sederhana di matanya. Tak ada kompor tanam listrik keluaran terbaru. Atau kitchen set berdesain elegan dengan merk tertentu. Atau kulkas setinggi badan orang dewasa. Bahkan peralatan memasak paling mutakhir yang mengandalkan tenaga listrik sebagai motor penggeraknya. Sama sekali tak ada.

Hanya terdapat satu kompor dua tungku, tersambung pada tabung gas kecil yang bentuknya khas seperti buah melon berwarna hijau. Dan seperangkat peralatan memasak sederhana bahkan cenderung tradisional.

Sudah, itu saja.

Sebuah keadaan penuh keterbatasan, yang tiba-tiba saja membuat dadanya berdesir.

Dan untuk mengalihkan sederet pemikiran nyeleneh yang mulai mengganggu. Seperti, sebenarnya Pocut teramat pantas untuk bisa memiliki fasilitas dan perlengkapan memasak nomor wahid. Atau, apa jadinya jika ia memberi hadiah perlengkapan memasak paling mutakhir? Apakah akan diterima atau ditolak?

Tunggu sebentar.

Mengapa ia harus memberi hadiah pada Pocut? Ada momen apa di antara mereka berdua? Apa ada hal penting yang mengharuskannya memberi hadiah?

Namun yang paling mencengangkan adalah ... mengapa ia bisa berpikir sampai sejauh ini?

Ah, sialan! Kepalanya pasti sedang pusing karena kurang tidur. Hingga ia bisa memikirkan hal yang janggal sekaligus menggelikan seperti ini.

Sikap Pocut terhadapnya saja sedemikian dingin dan kaku. Apa jadinya jika ia nekat memberi hadiah. Respon spontan pastilah lari tunggang langgang. Ia sangat yakin akan hal ini.

Oke, Tama. Calm down please (tolong tenang).

Jangan tergesa-gesa.

Sembari terus memperhatikan punggung Pocut, yang kini sedang memasukkan ikan ke dalam wajan usai menumis bumbu. Membuat langit-langit dapur dipenuhi aroma keharuman masakan yang pastinya sangat lezat. Ia meraih ponsel di dalam saku. Berniat membalas pesan dari Kinan tentang keberhasilan Reka meraih gelar juara.

Tama : "That's my boy (itu anakku)."

Kemudian mengirimkannya ke nomor Kinan.

Sejurus kemudian ia kembali mengetik pesan yang lain.

Tama : "Congrats, buddy (selamat, nak)!

Tama : "Great achievement (pencapaian luar biasa)!"

Tama : "I'm proud of you (ayah bangga padamu)."

Lalu mengirimkannya ke nomor Reka.

Begitu terkirim, satu pesan baru telah masuk.

Kinan : "Absolutely (memang)."

Kinan : "He said : don't tell Dad (dia -Reka- berkata : jangan kabari ayah)."

Kinan : "And i lied (dan aku berbohong -pada Reka-)."

Ia mengembuskan napas panjang membaca pesan balasan dari Kinan.

Tama : "I know (aku tahu)."

Tama : " Thanks (terima kasih -atas informasimu-)."

Selang beberapa menit kemudian. Pocut telah mematikan kompor. Dan kini terlihat sedang memasukkan sup ikan ke dalam mangkuk. Namun Reka tak kunjung membalas pesannya.

Membuatnya memutuskan untuk segera memasang foto Reka yang sedang berdiri di atas podium juara, menjadi status di aplikasi pesan ponsel pintar miliknya.

My only pride (kebanggaanku).

Tulisnya sebagai keterangan status. Tepat di bawah foto Reka.

I'll do my best (akan kulakukan yang terbaik), batinnya dengan hati penat. Berusaha bersikap biasa, seolah tak sedang menunggu balasan dari Reka. Padahal hati kecil begitu mengharapkan.

***

Icad

Ia baru pulang dari rumah Kioda usai mengerjakan tugas kelompok. Ketika mendapati seorang tamu sedang mengobrol dengan Nenek di kursi depan. Sementara Umay dan Sasa yang juga duduk di ruang tamu, sesekali ikut menyahut sambil tertawa-tawa. Terlihat begitu akrab dan menyenangkan.

Tamu tersebut, yang ternyata adalah Akung Dekgam, mengusap kepalanya ketika ia mencium tangan.

"Sudah besar ya," kini Akung Dekgam bahkan menepuk bahunya.

"Cucu pertama saya juga sebesar ini ...." Terang Akung Dekgam ke arah Nenek.

Setelah berbasa-basi sebentar dan menjawab pertanyaan standar yang dilontarkan oleh Akung Dekgam seperti,

"Kelas berapa?"

"Sekolah di mana?"

"Ikut kegiatan apa saja?"

"Cita-citanya mau jadi apa?"

Ia pamit untuk mengganti baju dan mencari makanan di dapur. Sebab aroma harum masakan yang baru matang benar-benar menggoda perut kosongnya.

"Bantu Mama menyiapkan makan," begitu pesan Nenek sebelum ia beranjak.

Ia pun mengangguk. Kemudian beralih menuju ke kamar untuk mengganti kaos yang basah karena keringat. Sebab ia tadi pergi ke rumah Kioda dengan mengayuh sepeda. Cuaca terik dan jarak yang cukup jauh berhasil membuat tubuhnya bermandikan keringat.

Setelah berganti kaos yang baru, ia berniat untuk mencuci muka di kamar mandi. Sebelum nanti makan dan membantu Mama.

Tapi baru juga sampai di depan pintu dapur, langkahnya langsung terhenti.

"Sampai kapan kerja di kantor?" tanya pria yang berdiri tepat di belakang Mama. Tengah membantu mengambil beberapa buah piring dari dalam rak.

Pria itu?

"Akhir bulan," jawab Mama singkat.

Ia masih berdiri mematung di depan pintu.

"Cuma sampai akhir bulan?" Pria itu kini sedang membantu mengambil sendok.

Mama terlihat mengangguk.

"Kontraknya cuma sebulan?" Pria itu lagi-lagi bertanya.

Mama kembali mengangguk.

Entahlah. Tapi dari gerik yang terbaca oleh matanya, pria yang wajahnya pernah sekali dilihatnya tampil di layar televisi itu jelas sedang berusaha mendekati Mama. Dan ini berhasil memancing amarahnya.

Sebab ia tak pernah menyukai pria yang menyukai mama.

Siapapun orangnya.

Baginya, hanya ayah seorang yang boleh bersama dengan mama.

Tidak untuk orang lain.

Dan tidak ada tempat bagi siapapun.

Tapi ia masih terpaku. Tak berani melakukan apapun untuk menunjukkan rasa ketidaksukaannya.

Ia hanya bisa memperhatikan mama, yang kini tengah sibuk memasukkan lauk ke dalam piring saji. Mengambil dari wajan yang diangkat oleh pria tersebut.

"Belum selesai?" satu pertanyaan dari nenek membuatnya terkejut. Pun dengan mama dan pria tersebut. Yang langsung menoleh ke arah pintu.

Mama sempat melihat ke arahnya dengan tatapan khawatir. Sebelum akhirnya menjawab pertanyaan nenek,

"Sudah, Mak. Sebentar lagi kami ke depan."

 -------

Ia makan dengan wajah cemberut dan muka ditekuk. Padahal menunya adalah salah satu makanan kesukaannya. Persis seperti makanan yang pernah dibawa pulang Yah bit ke rumah beberapa waktu lalu.

Sementara Umay dan Sasa asyik berceloteh seolah tiada habisnya. Diiringi tawa para orang dewasa saat melihat tingkah konyol yang diperagakan oleh Umay. Atau celetukan lucu Sasa.

"Mau nambah?" tanya mama ke arahnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

Tapi ia menggeleng. Nafsu makannya telah menguap entah ke mana. Perutnya bahkan sudah terasa penuh dan kenyang dengan sendirinya.

"Kelas berapa?" tanya pria berkaos biru gelap itu, yang ia tahu pasti sedari tadi memandangi mama tanpa henti. Dan ini semakin membuat hatinya dipenuhi oleh rasa kesal.

Entahlah. Ia sendiri tak mengerti mengapa bisa merasa begitu kesal. Padahal pria tersebut tak berlaku kurang ajar atau terang-terangan bersikap genit pada mama. Seperti yang sering ditunjukkan oleh para tamu pria lainnya yang datang ke rumah.

Tapi hanya dengan memperhatikan bagaimana cara pria tersebut memandangi mama saja, sudah membuat hatinya dipenuhi oleh rasa kesal.

"Tujuh!" jawabnya singkat campur ketus.

"Anak Om juga kelas tujuh," sambung pria tersebut sembari menatapnya.

Tapi ia tak peduli.

"Abang ...." tegur Mama setengah berbisik. Mungkin demi melihat ekspresi wajah kesalnya yang tak bisa ditutupi.

"Iya ...." sambung Akung Dekgam. "Sebaya sama Reka. Cucu pertama Akung yang tinggal di Surabaya."

"Nanti kapan-kapan ketemu ya ... sama Reka di rumah Akung," lanjut Akung Dekgam ke arahnya.

Kali ini ia mengangguk dengan sopan. Ia hanya merasa kesal dengan pria berkaos biru gelap itu. Bukan kepada Akung Dekgam yang sikapnya terasa begitu mengayomi.

"Kemarin Tante Anja cerita ke Om ... kalau di sini ada yang jago gambar," ucap pria tersebut seraya mengerling ke arahnya.

Tapi ia langsung menundukkan kepala dalam-dalam dengan wajah cemberut.

"Itu adalah ... Abang!" seru Umay sambil menunjuk ke arahnya. "Abang yang jago gambar, Om."

"Iya ...." sahut Sasa. "Gambar Abang baguuus banget Om ...."

"Kemarin aku digambarin Little Ponny sama Abang. Baguuus banget. Aku suka," celoteh Sasa dengan gaya kenesnya.

"Om! Om mau digambarin sama Abang juga nggak Om?" tanya Sasa dengan nada sok tahu.

"Tante Anja juga suka kalau digambar sama Abang. Kata Tante ... jadi cantik. Hihihi ...." Sasa terkikik sendiri, padahal menurut semua orang tak ada yang lucu.

"Habis itu langsung dijawab sama Yah bit sama Abang barengan ... memang aslinya cantik," kali ini Sasa menirukan suara berat Yah bit. Sontak berhasil membuat semua orang tertawa.

"Boleh."

Jawaban yang diberikan oleh pria tersebut semakin membuatnya kesal hingga mendesis sebal.

"Om juga mau digambar kayak Tante Anja," sambung pria tersebut.

"Sekarang aja Om ...." Sasa melonjak-lonjak kegirangan. "Sekarang aja digambarnya!"

"Sasa ...." tegur mama ke arah Sasa. Sepertinya tahu jika ia sedang merasa begitu kesal.

"Abang baru pulang dari rumah teman. Masih cape," sambung Mama.

"Iya," sahut pria tersebut. "Kapan-kapan saja."

Dan ketika ia memutuskan untuk mendongak, karena leher mulai merasa pegal sebab sedari tadi terus menunduk. Bertepatan waktunya dengan pria berkaos biru gelap yang sedang tersenyum ke arahnya.

***

1
Naumi
anak tua ya saa 😂 🤣
Lugiana
eakkk...eaaakk /Facepalm//Facepalm/
Athalla✨
penjahat pencuri hati dan pikiran kak 🥰
Furia
Karya Luar Biasa 😍😍
Ri_viE
aku slalu melewati bab yg Reka dan sasa di culik itu 🥺🥺 ngga tega bgt. kenapa konfliknya sekeras itu.
Athalla✨
nah ini support system datang juga akhirnya
Athalla✨
kak Pocut serasa lagi diomongin gk sih 😅
Athalla✨
untung gk ada mas Sada,, udah di ceng²in yang ada nanti 🤣🤣
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭
Athalla✨
harus dong, biar nggak salah paham kedepannya kan repot jadinya
Athalla✨
cegil juga nih samara
Athalla✨
jadi penasaran sama cerita temen²nya mas Tama hmm
Athalla✨
jadi salah paham kan 🤦🏻‍♀️
Athalla✨
bukan lagi gosong malah
Athalla✨
nantangin ini namanya... cuz halalin dong mas 🤭
Athalla✨
panas dingin campur salting pastinya kak Pocut
Athalla✨
tuh kan mana mau mas Tama nolak, orang dapet rejeki nomplok wkwk
Athalla✨
udah jelas ini mah mas Tama mau lah tanpa paksaan 🤣
Athalla✨
udah dapat lampu hijau dari mamak
Athalla✨
feeling mamak emang kuat
Athalla✨
btw udah akrab aja nih mas sama umay 😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!