Renjana Senja Kala
Turn Back Crime
(Melawan kejahatan)
***
Surabaya, 02.39 WIB
Tama
Bruk!
Dari jarak sekitar dua meter, ia melempar kunci mobil ke atas meja makan sembarangan, meletakkan dompet beserta dua ponsel, lalu membuka tudung saji yang di dalamnya terdapat piring berisi ayam goreng serundeng, tahu, tempe goreng, semangkuk kecil sambal bajak, dan setoples kerupuk udang.
Tangannya terulur meraih sepotong tahu, melahapnya dalam satu suapan.Terasa hambar mungkin karena sudah dingin. Sembari mengunyah, matanya menangkap selembar kertas buku tulis yang tersimpan di bawah toples kerupuk. Bentukannya seperti kertas buku yang disobek terburu-buru, sebab bekas koyakan menimbulkan garis asimetris.
--
Sayur lodeh ada di kulkas.
ttd,
Yu Adah.
--
Pasti sayur lodeh kesukaannya berisi serutan buah pepaya muda, labu, udang, dengan kuah kental yang lebih menyerupai kari daripada sayur lodeh.
Tapi sekarang sudah terlalu larut. Ia sama sekali tak berminat menyantap hidangan berkuah santan. Ia lebih tertarik mengambil pinggan tahan panas di pantry, mengisi dengan tiga potong ayam goreng serundeng, dan memasukkannya ke microwave. Sambil menunggu, ia meraih remote televisi lantas menyalakannya.
"Indonesian national team beaten Thailand national team, with score 3-1, in the friendly match at the Gelora Bung Karno (GBK) Stadium, Jakarta, on ...."
Ia memperhatikan layar televisi, mengamati Satria Abimanyu, striker muda andalan Indonesia menyarangkan dua gol ke gawang Thailand.
Ting!
Sembari terus memperhatikan layar televisi, ia beranjak menuju pantry, mengeluarkan ayam yang baru dipanaskan, kemudian mengambil sepiring nasi dan segelas air putih. Namun begitu kembali ke meja makan, televisi tak lagi menayangkan berita kemenangan timnas U-19.
"Anda sedang menyaksikan Metropolitan Malam."
Ia mulai menyantap hidangan dini harinya dengan lahap.
"Konglomerat Jusuf Parawihardja akhirnya bersedia tampil di depan publik, untuk menanggapi berita panas yang bergulir sejak dua pekan terakhir."
"Beberapa sumber menyebutkan jika sang taipan memiliki hubungan asmara dengan Cundamanik Larasati. Penyanyi muda berbakat Indonesian Sweetheart."
"Saya berbicara di sini atas nama pribadi ...."
Sesosok pria muncul di layar televisi.
"Saya tidak memiliki hubungan dengan Cundamanik."
"Jangan membuat berita mengada-ada. Saya ini sudah hampir 60 tahun. Sementara artis muda itu ... berapa usianya sekarang?"
"Saya lebih pantas menjadi ayah ketimbang kekasih."
Namun layar televisi justru menayangkan kebersamaan pria paruh baya tersebut dengan sang artis di berbagai acara privat kalangan jetset. Ia melanjutkan makan sembari sedikit menyayangkan pengusaha sekaliber Jusuf Parawihardja tak bisa menghindari skandal. Kemungkinan paling masuk akal adalah anggota keluarga Parawihardja yang lain sudah muak dan membiarkan media mengendus.
Ia masih mengamati layar televisi yang mengupas tuntas latar belakang kehidupan sang Indonesian sweetheart ketika menyadari nasi dan ayam goreng di dalam piring telah licin tandas. Ia lantas meneguk segelas air putih kemudian merentangkan kedua tangan ke atas sembari menguap.
Raganya benar-benar penat.
Selama dua minggu terakhir, ia disibukkan upaya penyidikan pelbagai kasus. Mulai dari mafia tanah yang menyeret nama sejumlah oknum pejabat daerah. Kasus pembunuhan dan mutilasi mayat dalam koper di Kediri. Kasus bunuh diri satu keluarga crazy rich di Ngagel. Terakhir semalam, ia memimpin langsung penggerebekan dua pusat perjudian di Star Zone, Gubeng dan Club House, Menganti.
Ia kembali menguap malas sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 02.57 WIB. Masih cukup waktu mengistirahatkan tubuh barang sejenak sebelum waktu Subuh tiba.
Tanpa membereskan meja makan, ia beranjak ke kamar, melemparkan diri ke atas tempat tidur, mencoba melelapkan diri.
Ia berpikir telah tertidur nyenyak. Namun anehnya masih bisa melihat lambaian kain berwarna biru di kejauhan. Ia memperhatikan dengan seksama kain cantik tersebut. Lalu terhenyak manakala angin mendaratkan di bahunya.
Ia meraih kain yang terasa begitu halus saat menyentuh telapak tangan. Keharuman lembut yang baru kali ini dijumpai, perlahan membuai seluruh kesadarannya.
Ia masih mengagumi keindahan kain berwarna biru dalam genggaman ketika bayangan seseorang muncul di kejauhan. Aura kecantikan yang memancar menarik minat kedua matanya untuk menyipit sempurna menajamkan penglihatan. Namun sekeras apapun berusaha, bayangan tersebut tak juga bisa dikenali.
Ia hampir beranjak ingin melihat dari jarak dekat. Ia benar-benar penasaran dengan bayangan tersebut. Siapakah dia? Tapi keburu seseorang melemparkan bunyi telepon padanya.
"You're all I need beside me girl
You're all I need to turn my world
You're all I want inside my heart
You're all I need when we're apart"
(White Lion, You're All I Need)
Matanya tetap terpejam dengan tangan terulur ke atas nakas berusaha meraih ponsel bermaksud mematikannya. Namun yang diinginkan tak kunjung tergapai.
Sialan!
Ia baru tertidur barang sejenak tapi seseorang telah berani mengganggu di pagi buta.
Ia masih meraba-raba keseluruhan permukaan nakas berusaha meraih ponsel. Namun lengkingan Mike Tramp terus mengejar.
"Damned!" makinya kesal begitu menyadari bunyi ponsel ternyata berasal dari ruang makan.
Ia berjalan terhuyung-huyung menuju ruang makan, bergegas meraih ponsel yang menggelepar-gelepar di atas meja.
Erik Calling
"Lapo (ada apa), Rik?" tanyanya dengan kepala melayang akibat masih mengantuk tapi terpaksa bangun.
***
Ia sempat mengganti polo shirt navy yang semalam dikenakan saat memimpin operasi penggerebekan dengan polo shirt warna gelap lain yang diambil dari tumpukan baju paling atas. Memastikan revolver berada di tempat semestinya. Bergegas memacu kendaraan menuju apartemen di bilangan Kedungdoro yang berjarak sekitar 7 Km dari tempat tinggalnya. Di mana menurut informasi Erik tadi, telah terjadi kasus pembunuhan.
Di tempat tujuan, ia mengarahkan kemudi menuju basement sebab halaman gedung telah dipenuhi sejumlah mobil dinas kepolisian, ambulance, dan minibus berlogo stasiun televisi swasta nasional.
"Sopo (siapa)?" tanyanya pada Erik yang menyambut di lobby.
"Salah satu tokoh yang kemarin masuk majalah Forbes," gegas Erik seraya menggelengkan kepala.
Ia tak berkomentar. Jujur saja, kepalanya masih sangat pening. Belum bisa digunakan untuk memikirkan hal rumit dan berat.
Namun sebelum memasuki lift, ia berteriak pada Teguh yang melintas.
"Guh, steril, Guh! Wartawane kongkon nyengkreh (wartawannya suruh pergi saja)!"
"Siap, Ndan!" Teguh mengangguk mengerti.
Namun sedetik kemudian ia berubah pikiran, "User ae (usir saja)! Wartawane user ae teko kene (wartawannya usir saja dari sini)!"
Teguh kembali mengangguk. Kali ini lebih mantap.
Begitu pintu lift tertutup, ia langsung bergumam tak habis pikir, "Dari mana wartawan tahu kalau korbannya orang penting? Garai mumet ae (membuat pusing saja)! Jangan sampai keluar di berita sebelum kita selesai investigasi!"
"Siap!" Erik mengangguk.
Dari lobby utama, mereka naik menuju lantai 52.
"Ini lantai tertinggi, unit paling eksklusif, private lift, akses sidik jari, nggak semua orang bisa masuk," terang Erik bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.
Matanya langsung disambut oleh hamparan ruangan luas yang kental dengan nuansa kemewahan. Menyerupai lobby hotel bintang lima berdesain modern minimalis. Namun ada satu aksen pembeda berupa police line bertuliskan 'do not enter'.
"Di lantai ini ada berapa unit?" tanyanya sambil berjalan melintasi marmer yang licin.
"Dua," jawab Erik sambil memeriksa ponsel. "Sigit sudah mendatangkan pengelola gedung. Tapi manajer buildingnya masih on the way."
Ia mengangguk, "Penghuni sebelah?"
"Dihandle Cahyo," jawab Erik. "Begitu selesai dengan Mas, saya sendiri yang turun tangan."
"Oke," gumamnya sambil memijat kening yang semakin berdenyut.
Ia melangkah tergesa melewati koridor eksklusif menuju pintu berwarna putih di sisi sebelah kiri yang terbuka lebar, TKP.
"Pak?" Sejumlah petugas mengangguk hormat begitu melihat kemunculannya.
Ia hanya mengangkat tangan kanan sebagai jawaban. Bergegas melangkah ke tengah ruangan di mana dua petugas yang mengenakan rompi bertuliskan Biddokkes (bidang kedokteran dan kesehatan) Polda dan Bid TI (bidang teknologi informasi) Polda di bagian punggung, tengah melakukan pemeriksaan sekaligus mengabadikan posisi terakhir korban.
Begitu selesai, dua petugas tersebut mengangguk ke arahnya lalu bergerak menyingkir. Memberi ruang padanya untuk melihat kondisi korban dengan lebih jelas dan leluasa.
Pria berusia sekitar 60 tahunan itu duduk di kursi, kepala dan dada terkulai ke atas meja, mulut dan hidung mengeluarkan buih berwarna putih.
"Perkiraan waktu kematian sekitar tiga sampai empat jam yang lalu," terang petugas forensik. "Indikasi utama terjadi henti napas mendadak akibat serangan jantung koroner."
"Dari pemeriksaan luar, tidak didapati tanda kekerasan dan bekas luka. Baik karena benda tajam, benda tumpul, maupun tangan kosong." Petugas forensik memungkasi laporan.
"Damned!" makinya begitu menyadari sang korban. Membuat Erik dan dua orang petugas berompi melihat ke arahnya dengan penuh tanda tanya.
Ia masih terpaku di tempat, belum bergerak sejengkalpun ketika ponsel dinas yang tersimpan di saku kembali melengkingkan suara Mike Tramp sebagai tanda panggilan masuk.
"You're all I need beside me girl
You're all I need to turn m ...."
(White Lion, You're All I Need)
Ia mengangkat panggilan.
"Are you there?"
Ia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan menuntut dari sang penelepon, Rajas.
"Yes." Lidahnya kelu.
"Is he, right?" tanya Rajas dengan suara tak sabar.
"So sorry ...." gumamnya sambil memandangi korban, yang tak lain dan tak bukan adalah paman Rajas, Jusuf Parawihardja.
***
Ia masih membicarakan kemungkinan yang terjadi dengan tim reskrim ketika para petugas mulai memasukkan tubuh kaku om Jusuf ke kantung jenazah, mengangkatnya keluar ruangan untuk dibawa ke Rumah Sakit agar divisum.
"Satu-satunya saksi mata," gumam Erik begitu ia menyudahi koordinasi dengan tim seraya menunjuk salah satu pintu yang berada di sisi sebelah kanan ruangan.
"Nggak ada tanda-tanda orang luar masuk," jelas Erik. "Ataupun orang di dalam yang keluar."
"Semua bersih dan sangat normal," lanjut Erik seraya menunjukkan kertas coretan hasil investigasi awal.
"Mereka pulang dari private party di sebuah hotel berbintang. Mampir ke salah satu bar di pusat perbelanjaan," imbuh Erik dengan telunjuk mengarah ke bawah. Sebab apartemen mewah ini berada satu tower dengan pusat perbelanjaan menengah ke atas. "Memakan semangkuk sup jamur dan segelas red wine."
Ia segera menemui saksi mata yang duduk di dalam kamar tidur utama dengan ekspresi wajah pucat pasi. Lelehan air mata gadis belia itu bahkan belum sepenuhnya mengering.
Cundamanik Larasati.
Penyanyi pendatang baru jebolan ajang pencarian bakat nomor wahid negeri ini yang digadang-gadang akan menjadi the next Gayatri, diva pop Indonesia.
Dunia benar-benar sempit. Dan (seringkali) gosip adalah fakta yang tertunda.
"Selamat malam, perkenalkan saya Tama," sapanya sambil mendudukkan diri di hadapan gadis yang dari penampilannya terlihat berusia sebaya dengan Anja, si adik bungsu.
Sejak awal, Cundamanik sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan. Remaja belia itu hanya menangis dan terus menangis, membuat Erik jatuh iba lantas menyediakan bahu untuk bersandar.
Ia memprotes kesigapan luar biasa Erik. Tapi menemui bantahan melalui isyarat, berdalih sebagai bagian dari tugas.
"Jangan khawatir, nanti ada petugas kami yang mendampingi," terang Erik seraya menepuk bahu Cundamanik yang bergetar hebat karena isakan.
Ia hanya menyeringai melihat ketangkasan khusus yang diperlihatkan Erik dalam waktu singkat. Lalu meninggalkan kamar bermaksud menemui penghuni unit sebelah yang mungkin memiliki petunjuk berarti tentang peristiwa ini.
"Cahyo!" panggilnya begitu melihat Cahyo sedang berbincang dengan tim dari Biddokkes.
"Ya, Pak?" Cahyo berjalan menghampiri.
"Kamu katanya lagi ke unit sebelah, kenapa malah di sini?"
Cahyo terlihat gugup sebelum menjawab. "Sudah di handle sama bang Erik, Pak."
Ia mengernyit. "Lho? Erik lagi di dalam, kok."
"I-iya ...." Cahyo semakin gugup. "Maksud saya ...."
"Di mana mereka?" tanyanya cepat.
"Siapa, Pak?"
Ia memandang Cahyo kesal karena menanyakan hal bodoh. "Penghuni unit sebelah. Mereka di mana?"
"Di ... unit mereka, Pak. Sedang didampingi oleh Sigit. Atas perintah Bang Erik, kami ...."
"Saya mau ketemu sama mereka." Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas menuju pintu keluar.
"Pak Tama!" Cahyo menyusul di belakang. "Bang Erik bilang, Pak Tama jangan ketemu sama mereka dulu."
Ia bergeming. "Sejak kapan Erik bisa ngatur saya?"
"B-bukan begitu, Pak. Tapi ...."
Ia tetap melangkahkan kaki melewati pintu keluar, menyusuri koridor berlantai marmer yang licin, menuju pintu kedua di sisi sebelah kanan koridor.
"Pak Tama!"
Rupanya Cahyo masih mengejar. Tapi ia sudah keburu memasuki pintu bercat warna putih di mana Sigit dan Wahyu terlihat sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya berpenampilan familiar.
Ia hampir memberikan kata sapaan, namun urung sebab sudut matanya lebih dulu menangkap bayangan sesosok wanita yang muncul dari ruang dalam membawa nampan berisi tiga buah cangkir.
Wanita tersebut tertegun begitu menyadari kehadirannya di depan pintu.
Kejadian yang sama sekali tak terduga, dalam sekejap berhasil membuat pening yang masih mengganggu menjadi semakin menggusarkan.
Ia sempat mengira seseorang dengan sengaja memukulkan palu godam tepat di atas kepala secara bertubi-tubi, dengan tanpa ampun, mematikannya saat itu juga, menghancurkan harga diri hingga tak bersisa.
Remuk redam lalu binasa.
***
Keterangan :
Istilah 'Turn Back Crime' atau melawan kejahatan, muncul dalam sidang tahunan Interpol yang digelar April 2014, di Lyon, Prancis (sumber : liputan6.com).
Lyon adalah markas pusat Interpol. Peluncuran istilah itu dilakukan bertepatan dengan satu abad lahirnya lembaga yang beranggotakan 190 negara.
Turn Back Crime merupakan program Interpol tahun 2014. Jaringan kepolisian negara-negara sedunia ini, mengampanyekan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama melawan kejahatan terorganisir di sekeliling mereka.
Beberapa kasus kejahatan yang tertulis, dikutip dari berbagai sumber. Seperti : beritajatim.com, suarajatim.id, merdeka.com, dll.
Visum adalah laporan tertulis yang dikeluarkan oleh penyedia layanan kesehatan (ditandatangani oleh dokter yang berwenang) berdasarkan pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual, fisik, atau mental. Dalam laporan tersebut, terdapat rincian kondisi kesehatan fisik dan psikis korban yang diperiksa (sumber : hellosehat.com).
Visum dilakukan pada luar tubuh. Bisa dilakukan pada mereka yang hidup maupun meninggal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
LarasatiAtiqahGunawan
bp n rsk emang paling top. aq blum nemu cerita lain di nt yg bisa menandingi 2 novel k sephinasera ini. sambil baca2 yg lain, yg on going, tetep sambil nengok anja cakra n pocut tama. ntah sdh brp x bc bp n rsk. pdhl dah punya bukunya bp juga
2024-11-13
2
Ulil Baba
Kon ngaleh wartawane Kon minggat sek
2024-11-03
0
范妮·廉姆
Halo kak. salam kenal dari pocipan
yu, gc Cbm...
kami di sini akan belajar bersama mengenai teknis menulis yang baik dan benar. Jika kaka bersedia mohon Follow akun saya terlebih dahulu
saya akan undang setelah di Follow makasih
2024-08-30
0