“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
“Udah malem. Yuk tidur,” ajak Kahfi singkat.
Syanas menoleh dengan ekspresinya datar. “Tidur di mana?”
Kahfi mengangkat alis, lalu menunjuk ke dalam kamar yang pintunya hanya ditutupi kain tipis. Sedikit terbuka, memperlihatkan bagian dalamnya yang sederhana.
Syanas langsung mengernyit. “Satu kamar doang?”
Kahfi mengangguk santai. “Iya, hanya ada satu.”
Syanas tidak langsung bertanya, ia merasa begitu kebelet ingin buang air, memaksanya mengalihkan perhatian dari kamar itu. “Kamar mandinya di mana?”
Kahfi menoleh tanpa banyak bicara, lalu berjalan ke belakang. Syanas menghela napas sebelum mengikuti langkah Kahfi, melewati dapur kecil yang hanya berisi tungku kayu bakar dan beberapa perabot sederhana. Seketika pikirannya dipenuhi tanya. Tempat ini beneran masih menggunakan tungku?
Namun, itu bukan masalah mendesak. Ada hal yang lebih darurat saat ini. “Terus kamar mandinya mana?” tanyanya.
Kahfi menunjuk ke sudut ruangan yang hanya ditutup kain seperti kamar mereka tadi.
Syanas terdiam. Matanya menatap lekat kain itu, lalu beralih ke Kahfi. “Masa di rumah ini yang ada pintunya cuma pintu masuk aja?”
Kahfi mengangkat bahu, seolah tak memahami kenapa istrinya begitu mempermasalahkan hal ini. “Dari pada banyak komentar, lebih baik masuk aja.”
Syanas ingin protes, ingin bertanya banyak hal soal rumah ini. Tapi sayangnya, ia sudah tidak bisa menahan lagi.
“Jangan ngintip!” serunya dengan waspada.
Kahfi hanya mendengus sebelum berbalik arah. “Aku banyak kerjaan lain dari pada buang-buang waktu ngintip,” ucapnya santai sebelum kembali ke arah kamar lagi.
Syanas mendengus, tapi tak lagi berdebat. Ia menarik napas panjang, menguatkan hati, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Namun, saat melangkah masuk, ia langsung menyesali keputusannya.
Kamar mandi itu hanya diterangi lampu bohlam redup menggantung lemas di sudut atas, menerangi lantai semen kasar yang terasa dingin di bawah kakinya. Ember besar di pojokan penuh air, sementara aroma kayu basah bercampur tanah menyeruak di udara.
“Oke, nggak usah lama-lama,” gumamnya.
Baru saja ia bersiap, tiba-tiba—
“Tokekkkk!”
Syanas mendadak kaku. Matanya bergerak perlahan ke atas, dan tepat di atas kepalanya, seekor tokek besar bertengger di atap bambu, menatap dengan mata melotot!
Jantung Syanas nyaris copot. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari keluar dengan kecepatan yang bahkan atlet pun akan iri.
Kahfi yang baru hendak melangkah ke kamar, dikejutkan oleh jeritan melengking dari arah belakang. Ia refleks ingin menoleh, tapi sebelum sempat—
DUBRAK!
Sesuatu menghantam keras dari arah belakangnya.
Dalam kepanikan luar biasa, Syanas menyeruduk Kahfi tanpa ampun. Tubuh Kahfi terdorong ke depan, tapi sebelum ia benar-benar jatuh, Syanas dengan refleks langsung melompat dan memeluk Kahfi!
“Aaa! Tokek! Ada tokek!!!”
Kahfi membeku. Seketika ia kini berdiri dengan seorang istri yang menempel erat di tubuhnya, tangan melingkar di leher, dan kaki menggantung. Syanas naik ke tubuh Kahfi seperti anak koala ketakutan.
“Sayang.”
“Apa???”
“Kamu kenapa naik ke aku kayak tas ransel?”
Syanas masih terengah-engah, tangannya semakin mengerat di leher Kahfi. “Ada tokek! Di atas kepalaku! Besar banget! Matanya serem! Jegerr tokeknya!”
Kahfi menahan tawa. “Jeger gimana?”
“Dia lihat aku! Tokeknya psikopat!”
Kahfi akhirnya tak bisa menahan diri dan tertawa. Syanas makin panik.
“Jangan ketawa! Aku ini serius! Itu tokek segede naga! Kalo dia gigit aku, wekk! Pindah alam!”
Kahfi mencoba menenangkan napasnya sambil tetap menahan beban ekstra di tubuhnya. “Nggak mungkin dia langsung gigit kamu.”
“Aku nggak peduli! Aku nggak mau masuk lagi ke sana!”
Kahfi menoleh ke arah kamar mandi yang masih sepi. “Tokek itu cuma diem di sana, dia nggak bakal loncat ke kamu.”
Syanas memelotot. “Kamu nggak ngerti horornya Yang! Itu tokek kayak penunggu gaib di rumah ini deh!”
Kahfi akhirnya menyerah. “Yaudah,” ucapnya santai. “Kalau kamu mau pipis tapi nggak mau masuk ke kamar mandi, solusinya gampang.”
Syanas menegang. “Apa?”
Kahfi menyeringai kecil. “Pipis di luar aja.”
Syanas menatap Kahfi dengan ekspresi tak percaya. “Kamu pikir aku ini hewan apa?!”
Kahfi mengangkat bahu. “Ya kan solusi praktis.”
“Gila!!!”
Kahfi tersenyum. “Yaudah, yaudah, aku usir tuh tokek. Tapi turun dulu.”
Syanas mengeratkan genggamannya. “Nggak! Jangan alihkan perhatian aku! Aku nggak mau turun sebelum ada jaminan dia bener-bener pergi!”
Kahfi mendesah panjang. “Aku bisa ngasih jaminan, tapi takutnya nanti dia minta surat perjanjian bermaterai juga.”
“Kalau perlu iya!”
Kahfi menggeleng pelan. Dengan usaha ekstra, Kahfi mencoba menurunkan Syanas, tapi istrinya masih menempel erat seperti lintah.
“Sayang, ayo turun,” bujuk Kahfi.
“Nggak!” Syanas mencengkram lebih erat. “Kalau aku turun, nanti tokeknya balik terus nyerang!”
Kahfi hanya bisa pasrah. “Tokek itu nggak punya dendam pribadi sama kamu. Dia nggak akan balik buat balas dendam.”
“Kita nggak pernah tau isi hati seekor tokek Yang!”
Kahfi memijit pelipisnya. “Sayang, aku serius, aku nggak bisa nafas nih.”
Syanas semakin mengeratkan pegangannya. “Aku nggak turun sebelum ada bukti bahwa si tokek sudah angkat kaki dari rumah ini!”
Kahfi menarik napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak tertawa. “Oke, oke, aku kasih bukti. Tapi biar aku bisa gerak, kamu harus turun dulu.”
Syanas masih menatap Kahfi curiga. “Janji nggak ada pengkhianatan?”
Kahfi mengangguk. “Demi kelangsungan rumah tangga kita.”
Syanas akhirnya menghela napas dan perlahan-lahan melonggarkan pegangannya. Kahfi segera memanfaatkan kesempatan itu untuk menurunkan istrinya ke lantai.
Begitu kakinya menyentuh lantai, Syanas langsung berdiri di belakang Kahfi. “Awas kalau tokeknya masih ada!”
Kahfi hanya bisa menghela napas, menahan diri agar tidak menertawakan istrinya yang ketakutan gara-gara seekor tokek.
Kahfi berjalan santai ke arah kamar mandi, membuka kain penutupnya, lalu menatap ke atas. “Oh, ini dia.”
Syanas langsung merapat ke dinding. “Masih di situ dia?!”
Kahfi mengangguk. “Iya, kayaknya dia lagi mikirin hidup.”
“Jangan diajak filosofis, cepetan usir dia!”
Kahfi mendesah, mengambil sapu dari dekat dapur, lalu mengetukkan gagangnya ke atap bambu. “Tokek, keluar yok.”
Tokeknya diam.
Kahfi mengetuk sedikit lebih keras. “Woy, geser dikit bro.”
Tokeknya masih diam.
Syanas makin panik. “Jangan bikin dia marah!”
Baru saja Syanas selesai berbicara—
“Tokek!!!”
Tokeknya meluncur ke bawah!
Kahfi yang kaget nyaris jatuh, tapi berhasil mundur.
Syanas langsung menjerit, melompat ke udara. Ia berdiri di sudut ruangan, wajahnya ketakutan. Tokek itu melesat ke luar rumah, melalui celah lubang. “Dia nggak bakal balik lagi kan?!”
Kahfi keluar dari kamar mandi. “Nggak.”
Syanas masih curiga. “Tapi gimana kalau tengah malam dia masuk lagi buat gigit kita?”
Kahfi menatap Syanas malas. “Nggak akan. Entar aku tutup celah kecil ini biar dia nggak masuk lagi.”
“Tapi bisa aja—”
“Nggak ada tapi-tapian. Sekarang mending masuk dan pipis sebelum kamu malah ngompol di sini.”
Syanas hanya mendengus, lalu berjalan pelan terpaksa ke kamar.
Sementara itu Kahfi langsung menutup celah itu dengan plastik hitam untuk sementara waktu.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..