Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Olahraga Bersama
Pagi itu, Netha terbangun lebih awal dari biasanya. Ia segera bersiap untuk olahraga pagi, mengenakan pakaian olahraga longgar, dan mengikat rambutnya ke belakang. Saat ia membuka pintu kamarnya, alangkah terkejutnya melihat El dan Al sudah berdiri di depan pintu, mengenakan pakaian olahraga mereka.
“Eh? Kalian mau kemana?” tanyanya bingung.
“Kami ikut kamu olahraga,” jawab Al dengan santai sambil menyilangkan tangan di dada.
“Ikut aku?” Netha mengernyitkan alis.
El hanya mengangguk singkat tanpa bicara, sedangkan Al tersenyum lebar. “Kamu nggak keberatan, kan? Lagipula, lari pagi kayak gini sudah biasa buat kita. Papa selalu ngajak kita olahraga di kompleks militer.”
Netha menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Ya sudah, kalau kalian mau ikut. Tapi jangan bikin masalah, ya.”
“Kamu pikir kita anak kecil?” balas Al dengan nada bercanda.
Di halaman rumah, Netha memulai dengan pemanasan. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, mencoba meregangkan otot-ototnya yang kaku. El dan Al mengikuti gerakan Netha tanpa banyak bicara. Namun, Al sesekali mengejek El dengan nada ringan.
“Hahaha, lihat El! Badannya kaku banget kayak kayu!” goda Al sambil tertawa kecil.
Netha terkekeh mendengar Al mengejek El, kembarannya. “Al, Fokus olahraganya.”
Setelah pemanasan selama 10 menit, mereka mulai berlari kecil di kompleks menuju taman. Netha berusaha menjaga napasnya agar tidak terlalu ngos-ngosan, sementara El dan Al tampak santai, seolah kegiatan ini biasa saja bagi mereka.
Netha dalam hati “Anak-anak ini kuat sekali. Lari pagi begini malah kelihatan seperti main-main buat mereka. Aku sendiri hampir habis napas.”
Di sepanjang jalan, mereka melihat banyak orang orang sudah beraktivitas. Ada ibu-ibu yang sedang menyiram bunga atau sedang berbelanja dengan tukang sayur.
Tak lupa Netha menyapa mereka, kadang juga mereka disapa oleh orang komplek.
“Pagi Netha, udah olahraga lagi? Kemaren sendirian, sekarang bawa anakmu juga” ujar salah satu ibu yang sedang membawa keranjang belanjaan.
Netha tersenyum dan melambaikan tangan. “Iya, Bu. kebetulan mereka juga ingin ikut, iya kan El, Al?”
“Iya Tante, kami ikut Mama olahraga pagi. Hehehehe” ucap Al dan diangguki oleh El.
Sementara itu, beberapa ibu lain menyapa si kembar. “Hai, El, Al! Pagi-pagi sudah ikut olahraga juga?”
“Iya, biar sehat" jawab Al.
Netha mendesah dalam hati “Ah, mereka semua kenal Netha dan si kembar? Yah mungkin karena Netha yang gemuk, dan mereka yang tampan. Pasti jadi bahan pembicaraan lagi. Padahal Netha asli jarang keluar rumah. Huft”
Setelah sampai di taman, mereka memutari taman beberapa kali sebelum akhirnya duduk di rerumputan. Netha langsung merebahkan tubuhnya, membiarkan dirinya menikmati angin pagi. Keringat sudah membasahi tubuhnya, dan napasnya terasa berat.
Netha dalam hati “Menurunkan berat badan ternyata sulit sekali. Baru beberapa hari olahraga sudah terasa begini. Kalau begini terus, mungkin aku harus cari cara lain. Mungkin ditambah mengkonsumsi obat penurun berat badan di apotek? Hah dulu dikehidupanku yang lama, Aku ini sexy dan bahenol. Hah, akan aku buat tubuh ini juga begitu. Karena sudah aku yang menempati, yah harus lah. Siapa tau nanti dapat suami baru.”
Netha membuka botol air minumnya, lalu meminumnya dengan pelan. Tak lupa Netha menawari keduanya.
Sementara itu, El dan Al duduk di sebelahnya, tampak lebih segar dibandingkan dirinya.
“Kamu capek?” tanya Al sambil melirik Netha.
“Ya jelaslah capek,” jawab Netha sambil mengelap keringat di dahinya. “Kalian berdua santai banget, kayak nggak ada apa-apa.”
“Kami sudah biasa olahraga,” ujar El dengan suara pelan. “Papa sering ngajak lari pagi kalau kami di kompleks militer.”
Netha mengangguk karena lupa, tadi malam mereka kan sudah bercerita. Netha memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, nanti kalian mau ikut aku ke mall lagi. Ada yang ingin aku beli?”
Mau beli apa?” tanya Al sambil tersenyum.
“Yang penting kita beli peralatan belajar buat kalian,” jawab Netha. “Buku, pensil, dan lain-lain. Aku juga mau beli pakaian. Baju ku sudah sedikit longgar.”
Al tertawa kecil “Yah, kan sering berolahraga, tubuhmu yang besar sudah mulai menyusut.”
“Al!” tegur El sambil menyikut kembaran nya.
“Kenapa? Aku cuma jujur,” balas Al dengan santai.
Netha hanya terkekeh. “Iya, iya. Aku sadar diri.”
Setelah beristirahat selama 15 menit, mereka memutuskan untuk membeli makanan di warung yang ada di taman.
Sarapan Soto
Setelah beristirahat di taman, Netha mengajak El dan Al menuju warung soto di dekat area tersebut. Warung kecil itu cukup ramai, dan aroma soto yang gurih menggugah selera langsung menyeruak di udara.
“Ayo, kita makan di sini. Soto pagi-pagi enak untuk mengisi tenaga,” ujar Netha sambil berjalan ke meja yang kosong.
Mereka duduk bertiga, dan Netha segera memesan tiga mangkuk soto. Ketika pesanan datang, Netha dengan sengaja meminta porsi lebih kecil untuk dirinya.
El dan Al mulai mencicipi soto mereka dengan lahap. Kuah soto yang panas dan kaya rempah itu menghangatkan tubuh mereka. Namun, di tengah makan, keduanya mulai menyimpan komentar dalam hati masing-masing.
El dalam hati: “Rasanya biasa saja. Nggak ada yang istimewa. Masakan Netha jauh lebih enak daripada ini.”
Al dalam hati: “Ini cuma soto biasa. Masakan Netha, meski sederhana, lebih cocok di lidah. Entah kenapa, aku malah lebih suka makan di rumah sekarang.”
Meski demikian, mereka tetap melanjutkan makan dengan lahap, menyantap soto mereka hingga habis. El dan Al sesekali melirik Netha yang tampak asyik makan porsi kecilnya.
Sementara itu, Netha memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut. Ia menundukkan kepalanya sejenak, tenggelam dalam pikirannya.
Netha dalam hati: “Aku tahu, pemilik tubuh ini dulu nggak pernah peduli pada mereka. Aku... dia... hanya memikirkan dirinya sendiri, membiarkan mereka tumbuh tanpa kasih sayang yang cukup. Aku merasa bersalah. Seharusnya mereka pantas mendapatkan perhatian lebih dari seorang ibu. Anak-anak ini benar-benar punya energi yang besar. Aku harus memastikan mereka mendapatkan semua yang mereka butuhkan, termasuk pendidikan.”
Setelah mangkuk-mangkuk kosong terkumpul di meja, Netha tersenyum kecil. “Sudah kenyang?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Al sambil mengelap mulutnya dengan tisu.
El hanya mengangguk, tetap dengan ekspresi dinginnya yang khas.
“Ayo, kita pulang sekarang,” ujar Netha sambil berdiri. “Masih banyak yang harus kita lakukan di rumah.”
Ketiganya kemudian meninggalkan warung soto itu. Meski hanya sarapan sederhana, momen kebersamaan itu mulai menumbuhkan kehangatan di antara mereka, sesuatu yang perlahan-lahan memperbaiki hubungan yang dulu dingin dan jauh.
Setelah selesai makan, mereka pulang ke rumah, mandi, dan membersihkan rumah bersama-sama. Setelah semuanya rapi, Netha mengajak mereka ke mall untuk membeli kebutuhan belajar dan beberapa pakaian baru.
“Kita naik mobil aja,” kata Netha sambil mencari kunci mobilnya.
“Tentu saja,” ujar Al dengan nada bercanda. “Kalau naik motor, kita nggak bakal muat bertiga.”
Mereka tertawa kecil, lalu masuk ke dalam mobil. Netha duduk di belakang kemudi, sementara El dan Al duduk di kursi belakang, mengenakan sabuk pengaman mereka.
Perjalanan menuju mall berlangsung dalam keheningan sesaat, tetapi hati Netha dipenuhi dengan berbagai pikiran. “Aku harus memastikan mereka punya kehidupan yang lebih baik. Mulai dari pendidikan, sampai kebutuhan lainnya. Aku juga harus mulai memperbaiki diriku sendiri. Tunggu sampai papa mereka datang, aku bebas. Kau ingin pergi keluar negeri, yah buat usaha dulu kali ya. Habis itu Travelling kemana-mana, atau dibalik juga enak. Uang hasil perceraian kan buanyak banget.”
Dengan semangat baru, Netha melajukan mobilnya menuju tujuan mereka.
To be continued...