Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: Dea dan Perasaannya
Mendekati jam 12, gue dan Mery turun dari rooftop. Kami berpisah di lorong. Mery kembali ke kantin dan gue keluar kantor. Di perjalanan pulang, menembus dinginnya angin malam ini, gue teringat perbincangan dengan Mery 10 menit sebelum memutuskan buat turun.
"Do. Lo mau nggak, jadi orang yang gue pikirin setiap saat?" tanya Mery sambil memegangi gagang kacamatanya.
"K-kenapa lo t-tanya itu?"
"Ya ... gue pengin tahu jawaban lo."
"B-boleh aja, sih kalau lo m-mau."
Sampailah gue di depan rumah. Tertempel sebuah kertas di jendela. Dituliskan di sana bahwa layanan air bersih gue sudah kembali karena sudah dibayar. Siapa yang bayarin!? Semua lampu ruangan sudah menyala waktu gue masuk. Dinding gosong dapur gue sudah kembali normal, dan aroma bunga mawar benar-benar mengisi seluruh ruangan.
Gue membuka pintu kamar, gak ada siapa-siapa ketika gue melihat kamar jadi rapi dan bersih. Apa semua ini kerjaan Dea, ya? Gue menaruh pedang dan berkas Dea di atas meja laptop lalu gue mandi. Di antara suara keran air, gue mendengar sayup suara kompor di dapur.
Berdirilah sosok cewek berbaju merah di depan kompor sambil memasak sesuatu. Dia menoleh ke arah gue yang baru selesai mandi.
"Kenapa malam banget, Do?"
"I-iya ... ada lembur dikit tadi."
Gue menengok, mencari tahu apa yang sedang dia masak.
"Kamu masak mie goreng?"
Dea mengangguk. Gue membantunya menyiapkan piring dan peralatan makan lainnya. Gue mencuri pandang di sela kesibukan itu. Walau dia ini bukan manusia, tapi apa iya dia jadi masalah bagi kantor gue? kalau dilihat gini, mana ada orang yang bisa tahu kalau dia ini bukan orang.
"Kenapa, Do?" tanya Dea.
"Enggak ... lapar aja."
Sekarang di depan kami telah terhidang dua piring mie goreng tengah malam bikinan jin. Agak aneh untuk dipikirin.
"Enak nggak, Do?"
"Enak banget!"
Dea tersenyum lalu berubah menjadi asap merah. Dia masuk ke kamar gue, dan kembali sambil membawa berkas itu.
"Kamu udah baca semua?"
"B-belum. Cuma baca dikit t-tadi."
Dea tersenyum lagi.
"Nanti kita baca, ya. Makan dulu."
Perasaan gue jadi gak enak. Tiga puluh menit sebelum jam dua pagi, gue dan Dea duduk berhadapan di atas kasur. Di depan kami, berkas bersampul merah itu masih tergeletak gitu aja.
"Kan udah aku bilang, kamu gak boleh ikut masuk ke kamar."
"Aku, kan gak ikut tidur. Lagian di luar dingin."
Dea meraih berkas itu, membuka halaman utamanya lalu melirik gue.
"Ratu Merah: Entitas Berbahaya yang Melegenda. Keren juga judulnya."
Gue menarik selimut perlahan. Takut.
"Jenis: Spirit humanoid. Kekuatan khusus: Tidak diketahui. Tingkat waspada: Berbahaya."
Dea menatap gue yang melirik ke arah pedang di meja.
"Do."
"I-iya ... kenapa, Dea?"
"Coba tatap mata aku, deh."
Gawat! Gue pasti mau dihipnotis, nih. Habis ini dia pasti bawa kabur kulkas gue!
"Mardo!"
Gue beranikan diri menatap dua bola matanya. Gak terjadi apa-apa, tapi gue merasakan sesuatu.
"Kamu merasa aku jahat nggak?"
"Enggak, sih."
"Di sini katanya aku jahat, lho. Berbahaya lagi. Dan ini udah ditulis lama banget. Kamu percaya yang mana?"
Ini dia jebakannya! Mati, nih gue.
"Emm ... enak, sih ... tapi kalau bisa jangan dimasak terlalu kering, ya."
"Mardo! Kok malah ngomongin mie goreng lagi, sih!?"
"I-iya ... aku gak tahu mana yang b-bisa aku percaya. Kamu dan kantor aku kerja sekarang sama-sama m-masih asing bagi aku."
Dea kembali membolak-balik halaman berkas itu.
"Update terbaru: membuat kontrak dengan pegawai baru untuk pertama kalinya. Yang ini benar."
Dea menutup berkas itu dan melemparnya ke lantai.
"Kamu mau lebih kenal sama aku, kan, Do?"
Dea berubah menjadi asap merah dan masuk ke tubuh gue! rasanya aneh banget! Mata gue terasa berat. Rasanya kayak ngantuk banget setelah berhari-hari gak bisa tidur, tapi ketika mata terpejam gue malah merasa sedih yang teramat sedih sehingga jadi gak bisa tidur juga! Dan ... banyak bayangan wajah orang-orang yang gak gue kenal setiap mata gue berkedip.
Dea keluar dari tubuh gue dan kembali ke bentuk manusianya. Gue langsung keringat dingin. Gue merasa habis mimpi buruk terus terbangun dengan cepat. Apa ... Dea merasakan hal ini sepanjang hidupnya? Sepanjang hari!?
"Sekarang kamu merasa apa?" tanya Dea.
"K-kamu ... kamu ... baik-baik aja, kan?"
Dea tersenyum, berjalan keluar kamar, menutup pintunya lalu terdengar suara keran air di kamar mandi. Mumpung perasaan kayak tadi sudah gak ada, ketika ngantuk kayak gini gue bersyukur masih bisa tidur.
Bukan pagi banget ketika HP gue berdering. Sulay mengirimi gue sebuah alamat dan meminta gue ke sana nanti sore. Kalau dilihat dengan mata baru bangun tidur, itu adalah sebuah pemakaman. Apakah sudah waktunya gue bekerja sebagai mata-mata lagi? Gue semangat banget!
"Dea! Dea! Kamu di mana?"
Gue memanggilnya ke semua sudut. Gak ada jawaban. Mungkin aja dia lagi pergi. Di meja makan, gak ada sarapan seperti biasanya. Di kulkas juga hanya ada dua lembar roti tawar. Seperti biasanya. Yaudah, gue bikin kopi aja. Gue jadi semangat banget kalau mengingat soal pemakaman. Gue langsung teringat saat-saat kejeniusan otak gue berguna 100% sebelum Sulay datang.
Ketika sedang menggiling biji kopi, gue teringat sebuah adegan di mana gue berhadapan dengan bayangan cewek berbaju putih yang punya aroma pupup kambing. Waktu itu Sulay kelihatan aneh ketika habis mukul cewek itu. Masih banyak hal yang belum gue ketahui.
Dan satu lagi: Dea ini sebenarnya datang dari mana? Gue yakin kalau bayangan cewek yang Sulay pukul itu bukan Dea. Namun, kalau itu bukan Dea, kenapa gue nemu lukisannya di lantai? Di antara taburan bunga, botol air, dan tulisan-tulisan aneh di pendopo itu?
Setelah menghirup aroma kopi di pagi hari kayak gini, gue jadi semakin cerdas dalam berpikir. Entah kenapa, gue jadi pengin ngopi sambil duduk di luar rumah. Di depan pintu lebih tepatnya. Sambil ngopi, gue membaca kembali berkas Dea.
Kali ini, gue nggak membaca secara cepat kayak di kantor waktu itu. Waktu gue cukup panjang hingga sore hari, jadinya gue bisa membaca lebih teliti. Dimulai dari keadaan kertasnya, bisa dibilang ini adalah cetakan tua, tapi enggak setua itu juga. Bagian sampulnya yang berwarna merah punya kualitas kertas yang kayaknya lebih baru dari isinya. Dan ini mencurigakan.
Jari-jemari gue meraba sisi dari kertas itu. Gue yakin kalau berkas ini diperbarui manual secara berkala. Mulai dari kertas halaman depan yang tampak tua, lalu menjadi kertas baru di halaman terakhir. Artinya data ini berubah terus-terusan. Lalu, kalau dilihat secara cepat bolak-balik, berkas ini kayaknya nggak diketik oleh orang yang sama. Terlihat perbedaan besar kecil ukuran teksnya yang emang gak kerasa kalau dibaca biasa.
Dari pemilihan judul, ini sudah misterius dan menarik banget. Seakaan penulisnya lah yang memberi gelar "Ratu Merah" pada Dea. Sama halnya kayak berkas Alan dan Torgol yang sebelumnya gue baca, gue juga gak nemuin nama penulisnya di berkas Dea ini.
Sepuluh halaman pertama adalah soal awal kemunculannya. Yang bisa gue simpulkan adalah: dia dibawa oleh Pak Tsat yang pada saat itu masih punya jabatan setara si Bos entah dari mana untuk menantang si Bos berkelahi karena konflik mereka berdua.
Lima halaman berikutnya adalah soal kekuatannya yang misterius sehingga mampu mengalahkan si Bos, tapi malah membuat Pak Tsat memilih untuk keluar dari kantor. Sepuluh halaman setelahnya barulah dijelaskan soal bentuk. Dan ... sampai di sini gue mulai meragukan berkas ini. Karena apa? Karena gak ada satu pun ciri-ciri fisik sampai asap merahnya yang sama dengan Dea yang gue kenal sekarang!
Walau benar kalau dilihat dari keadaan kertasnya, ini adalah bagian yang sudah tua. Namun, apa iya dia bisa berubah sejauh itu? Sampai pada bagian halaman yang menjelaskan bahwa betapa berbahayanya dia, kopi gue habis. Dan itu artinya gue gak bisa mikir lagi.
Karena gak baik buat lambung gue kalau nambah segelas kopi lagi tanpa sarapan, jadinya gue memutuskan buat menutup berkas itu dan menaruhnya kembali ke kamar. Gue meraih pedang gue yang kini sudah kembali normal. Gak ada asap hitam yang keluar, gak ada gelombang api yang bikin sangar, dan gak ada asap merah Dea.
Gue membawanya keluar rumah bersama sebuah handuk. Gue membersihkannya perlahan. Entah kenapa gue merasa kalau pedang ini penting bagi gue. Gue kemudian memandangi sarung pedangnya yang diberi oleh Mery. Kalau gak ada benda ini, gue pasti kelihatan kayak tukang kayu karena bawa-bawa pedang panjang.
Ketika gue membersihkan sarung pedang berwarna hitam itu dengan handuk basah, perlahan gue melihat sebuah tulisan pudar di permukaannya. Gue membawanya ke bawah sinar matahari pagi, menggosoknya lebih keras sampai gue bisa melihat huruf-hurufnya. Gue membaca hati-hati tulisan kecil itu.
"Jangan percayai dia!”