Follow ig 👉 @sifa.syafii
Fb 👉 Sifa Syafii
Seorang gadis berusia 18 tahun bernama Intan, dipaksa Bapaknya menikah dengan Ricko, laki-laki berusia 28 tahun, anak sahabatnya.
Awalnya Intan menolak karena ia masih sekolah dan belum tahu siapa calon suaminya, tapi ia tidak bisa menolak keinginan Bapaknya yang tidak bisa dibantah.
Begitu juga dengan Ricko. Awalnya ia menolak pernikahan itu karena ia sudah memiliki kekasih, dan ia juga tidak tahu siapa calon istrinya. Namun, ia tidak bisa menolak permintaan Papanya yang sudah sakit sangat parah.
Hinggga akhirnya Ricko dan Intan pun menikah. Penasaran dengan kisah mereka? Yuk langsung simak ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Keesokan harinya Intan diajak kedua orang tuanya memilih kebaya untuk persiapan pernikahannya besok. Intan hanya bisa pasrah. Bapaknya orang yang berwatak keras. Semua perintahnya tidak bisa dibantah. Kalaupun dibantah, ia akan mengatai Intan anak durhaka, tidak berbakti pada orang tua, dan akan mengusirnya dari rumah. Intan masih belum siap untuk hidup mandiri di usianya yang masih sekolah.
Setelah pulang ke rumah, Intan memandangi kebaya putih yang menggantung di sudut kamarnya itu. Ia tersenyum getir lalu bibirnya bergetar menangis dan memejamkan matanya.
"Sebentar lagi aku akan menikah. Aku nggak tahu hidupku akan bahagia atau lebih buruk dari sekarang. Aku nggak pernah membayangkan hidupku akan berakhir seperti ini. Dulu aku membayangkan ketika dewasa aku akan menikah dengan laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku. Tapi, sekarang semua hanyalah angan-angan semata. Adit, maafkan aku. Penantianmu selama ini sia-sia," gumam Intan pelan. Tidak lama kemudian Intan pun tertidur.
***
Keesokan harinya Bu Romlah mengetuk pintu kamar Intan, tapi tidak ada sahutan dari Intan. Bu Romlah pun membuka pintu kamar Intan yang memang tidak dikunci. Ia mendapati Intan sedang menangis di meja belajarnya. Bu Romlah pun mendekatinya.
"Sabar, Nak …," ucap Bu Romlah sambil mengelus rambut Intan penuh cinta. Intan pun memandang ibunya lalu memeluknya.
"Bu, Intan nggak mau menikah, Bu. Tolong Intan." Mohon Intan sambil menangis tersedu- sedu pada ibunya.
"Ibu tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Kamu tahu Pak Bambang, kan? Beliau orang yang baik. Anaknya juga pasti baik seperti papanya. Ayo cepat mandi dan pakai kebaya-mu," tukas Bu Romlah lalu keluar dari dalam kamar Intan.
Intan pun bergegas mandi dan memakai kebayanya sebelum bapaknya marah.
***
Intan dan kedua orang tuanya sudah sampai di ruangan Pak Bambang. Intan menghampiri Pak Bambang dan Bu Sofi, istri Pak Bambang lalu mencium punggung tangan mereka bergantian. Tukang rias sudah menunggu sejak beberapa menit yang lalu sebelum Intan datang. Setelah salim pada Pak Bambang dan Bu Sofi, Intan pun segera dirias sebelum akad nikah dilakukan.
Saat dirias, Intan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, tapi sayangnya air mata itu mengalir tanpa bisa dicegah. Tukang riasnya pun kewalahan menyeka air mata Intan.
"Dek, jangan menangis terus dong! Make up-nya nanti jadi luntur loh," ucap tukang riasnya.
"Maaf, Mbak," jawab Intan dengan tersengal-sengal menahan isak tangisnya.
Intan pun berusaha menenangkan perasaannya dan berusaha untuk lapang dada menerima pernikahan ini. Ia menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya lewat mulut dengan kasar.
Setelah dirias, Intan pun duduk bersama kedua orang tuanya di dalam ruangan Pak Bambang. Pak penghulu juga sudah datang saat Intan dirias tadi. Namun, calon mempelai pengantin pria-nya belum datang juga.
Sudah satu jam pak penghulu menunggu. Pak Bambang pun mulai gelisah. Ia mencoba menelepon Ricko, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Akhirnya ia menelepon Lia, sekretaris Ricko.
"Di mana Ricko?" tanya Pak Bambang pada Lia yang ada di seberang telepon.
"Sedang rapat bersama klien, Pak," jawab Lia.
"Cepat suruh dia ke rumah sakit sekarang juga! Kalau tidak, katakan padanya jangan pernah menemui-ku lagi!" seru Pak Bambang dengan napas berat.
"Tapi, Pak ...."
Belum sempat Lia melanjutkan kata-katanya, Pak Bambang sudah memutuskan sambungan teleponnya.
"Bagaimana, Pak? Ini jadi apa tidak akad nikahnya?" tanya pak penghulu.
"Tolong tunggu satu jam lagi ya, Pak," pinta Pak Bambang memohon. Pak penghulu pun menyetujuinya.
‘Semoga laki-laki itu tidak datang dan pernikahan ini batal,’ batin Intan berharap.