Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lila si Perusuh
Sepertinya hari-hari seterusnya para karyawan akan disuguhi pemandangan bucin boss mereka. Bahkan pernah, Aksa menggantikan Laras mengepel. Hanya untuk mendapatkan momen berduaan. Dan sekarang, siapa yang berani melempar tatapan sinis pada Laras? Mereka lebih memilih cari aman. Wanita yang dulu disepelekan, sekarang naik di level tertinggi. Mereka jadi sungkan dan hormat pada Laras, terlepas dari jabatannya yang paling rendah di kantor.
Sebenarnya, Aksa sudah meminta Laras untuk istirahat dari pekerjaannya. Dan menawari jadi asisten pribadinya saja. Tapi Laras menolak. Dia lebih suka pekerjaannya sekarang. Ralat, maksudnya, dia hanya ingin profesional. Dia sadar diri belum selesai kuliah. Apa kata orang, kalau dia tiba-tiba menjabat jadi aspri. Nama baik Aksa bakal jadi omongan.
Dan, sekarang, tanpa harus menunggu mama nginep dulu untuk membuat mereka dalam satu ranjang. Aksa yang meminta Laras pindah ke kamarnya. Laras sempat menolak, dan Aksa justru tidur disana. Padahal, ukuran ranjangnya tidak seluas yang dikamar Aksa. Akhirnya Laras mengalah.
"Sejak kapan suka sama gue?"
Timbul ide untuk mencari gara-gara sama Aksa. Padahal, posisinya mereka sedang tiduran sambil saling memeluk.
"Sejak ketemu kamu."
"Hilih! Mana ada. Dulu aja nolak-nolak tuh."
"Sekarang enggak. Maunya peluk kamu terus."
Laras mencibir. Selalu saja Aksa mengalihkan topik setiap kali dia bertanya sejak kapan perasaan pria itu muncul untuknya. Penasaran dong. Gak mungkin tiba-tiba Aksa suka sama dia. Orang dulu aja katanya antipati.
"Sa," panggilnya pelan. Aksa menaikkan alisnya. Netra keduanya bertatapan.
"Ntar kalau aku pergi, kamu masih suka aku kan?" tatapnya. "Maksudku, meski aku kembali ke jiwa Bunga, kam bakal tetep suka raga ini kan? Raganya Bunga?"
Tak ada sahutan. Aksa menatapnya tak suka.
"Haha. Ya jangan langsung pasang muka galak gitu gih, Sa."
"Gak ada pertanyaan lain, apa?" ketus Aksa.
"Gak ada. Karna cuma itu yang pengen aku pastikan. Karna aku tahu, jiwanya Bunga dan jiwaku punya sifat berbeda, yang keduanya bertolak belakang. Aku takut, kamu jadi balik gak suka lagi jika suatu saat jiwa Bunga-ku kembali."
Aksa menggeleng. Mengeratkan dekapannya. "Aku gak peduli, Ras. Mau kamu Bunga, atau Laras, aku tidak peduli. Yang aku tahu, aku mencintaimu. Sangat."
Laras tersenyum, memejamkan matanya. Menghirup dalam-dalam aroma maskulin sang pria.
Ya, semoga saja Aksa menepati janjinya. Karna pertanyaan itu masih mengganjal di kepalanya. Jika suatu saat nanti masanya habis, dan jiwa Bunga kembali, dia harap Aksa akan menepati janjinya. Meski entah kapan. Teka tekinya bahkan sampai sekarang belum terjawab.
.
.
Aksa mengantar Laras sampai ke ruangannya. Para karyawan yang ada disana langsung kabur, mencari tempat sembunyi masing-masing.
Aksa menarik tangan Laras, membuat mereka berhadapan.
"Nanti aku ada rapat siang. Kamu makan sendiri gak papa, kan?" ujarnya, menyelipkan helai rambut Laras ke telinga. Menatap lembut.
"Gak papa. Ada teman."
Dahi Aksa mengerut. "Siapa?"
"Indah ada, yang lain juga ada."
"Cewek kan?"
"Tenang aja. Aman."
"Asal kamu tahu, suamimu ini sangat pencemburu. Jadi, sebaiknya kamu tidak membuatnya terbakar cemburu," menyentuh pucuk hidung bangir Laras.
"Iya iya. Aku tahu."
Aksa tersenyum. Tatapan lekatnya tak teralih sedetik pun dari memandangi wajah sang istri.
"Udaaah ... Sana ke atas."
Aksa justru memeluknya. Meletakkan dagunya di pundak Laras.
"Aah, sebenarnya masih pengen begini. Rasanya gak mau pisah."
Laras terkekeh. Mengecup daun telinga Aksa.
"Gak usah lebay. Masih banyak waktu bertemu. Di rumah juga bisa, kan?"
"Tetap saja. Mau sebanyak apapun waktunya, gak akan cukup jika itu dihabiskan sama kamu."
"Haha Lebay."
"Aku serius. Lagian, kamu kenapa nolak jadi asisten pribadiku sih? Enak begitu. Jadi kita bisa kemana saja berduaan."
"Mana adaa. Yang ada malah merusak keprofesionalan kerja. Jadi bahan omongan orang-orang. Dikira aku nepotisme. Dapat jabatan penting karna status."
"Aku gak peduli. Selama bisa berduaan sama kamu."
"Ish. Ngeyel. Dibilang enggak bisa ya enggak. Lagian, aku udah nyaman begini. Asyik tahu, kerja kayak gini tuh. Jadi sehat. Banyak gerak. Udah lah, sana. Ntar dicariin sekretarismu loh."
Aksa melonggarkan pelukannya, tapi tangannya masih melingkar. Melayangkan kecupan di bibir Laras, yang tentunya disambut dengan senang hati.
"Sana. Hush! Hush!"
Barulah Aksa melepaskan pelukannya. Manyun.
"Masak suaminya diusir. Memangnya aku kucing?"
"Iya. Kucing yang manis. Em ... Lucunya," Laras mengunyel-unyel pipi Aksa. Aksa mengulas senyum terkulum.
"Kerja yang giat suamiku. Istrimu suka jajan."
Tawa Aksa tergelak. "Ada-ada aja kamu."
"Loh, aku serius. Kerja yang rajin ya. Ntar duitnya buat jajan."
"Baik tuan putri. Suamimu kerja dulu ya. Nanti uangnya kita habiskan bareng-bareng."
Laras ngakak. Lucu sekali Aksa. Mengikuti dramanya.
Chup. Mengecup Aksa sekali lagi.
"Udah, sana."
Aksa tersenyum, membalas mengusap rambut Laras. Lantas melangkah berbalik. Menuju lift.
Di tempatnya, Laras memandanginya dengan senyum melekat. Sepertinya bukan cuma Bunga yang jatuh cinta pada pria itu. Melainkan dirinya.
Senyumnya memudar seiring helaan napas berat. Bolehkah, jika dia berharap untuk disini lebih lama lagi? Terlepas, entah dimana Bunga sekarang, tapi ... dia mulai nyaman dengan hidupnya. Terutama, karna Aksa.
.
Pekerjaan hari ini memang menyita waktu dan tenaga. Aksa bahkan tidak menyentuh ponselnya sama sekali. Untuk telpon bisnis dia arahkan kepada sekretarisnya. Menyerahkan pada Rikho untuk menghandelnya.
"Setelah ini apa jadwalku, Ko?" tanya pada sang sekretaris. Menyandarkan punggungnya di kursinya dan melonggarkan dasi dengan satu tangannya. Dia baru kembali dari meninjau lokasi proyek, yang lumayan jauh dari kantor.
"Meeting dengan Mr. Pardede, Pak. Setelah itu rapat dengan dewan direksi dan investor."
Aksa mengangguk. Memejamkan mata. Ah, rasanya dia rindu pada gadisnya. Sudah sejak berapa jam dia tidak ada komunikasi dengan kekasihnya itu. Tapi, lagi-lagi dia harus menahannya karna setelah ini ada jadwal tanpa jeda.
Rikho mengecek ponselnya.
"Beliau sudah tiba, pak. Sekarang di bandara," ujar Rikho, menginformasikan.
Aksa mengangguk. Memperbaiki penampilannya. Bagaimanapun juga, meski lelah, dia harus profesional. Penampilan penting untuk mendongkrak wibawa di depan relasi ataupun karyawan.
"Ayo, bersiap," ajaknya pada Rikho.
Pemuda itu mengangguk. Mengikuti intruksi atasan.
Aksa memang tidak nyaman dengan sekretaris lawan jenis. Apalagi, mantan sekretaris papanya sempat menunjukkan ketertarikan tak biasa padanya, Aksa merasa risih. Karna itu, dia mengalih tugaskan sekretaris papanya ke divisi lain. Dia merekrut sendiri karyawannya. Memasukkan kriteria harus laki-laki untuk spesifikasi khususnya. Tujuannya merekrut sekretaris pria, selain masalah keprofesionalan kinerja, juga untuk kenyamanan sekaligus keamanan. Dia tahu, sekretaris akan ikut kemanapun atasannya pergi. Dan dia rasa, akan lebih aman kalau dia merekrut pria. Tidak perlu khawatir keamanan, dan pastinya, perempuan lebih rentan mendapat tatapan tak mengenakkan dari relasinya, semisal kebetulan mendapat relasi yang kurang bermoral.
Aksa benar-benar tidak memegang ponselnya. Tidak mungkin dia menyentuh ponselnya saat sedang bersama klien. Pertemuannya dengan Mr Pardede berlanjut sampai makan siang. Membuat Aksa benar-benar tidak menyentuh ponselnya. Selesai meeting pertama, Mr Pardede berpamitan. Aksa mengantarnya sampai bandara. Mr Pardede adalah salah satu investor di perusahaan.
Sepulang dari bandara, dia lanjut meeting kedua. Melelahkan memang. Tapi ini kehidupan yang dipilihnya. Sekaligus tanggung jawab anak tunggal yang mewarisi usaha keluarga.
Jam menunjukkan pukul empat, begitu meetingnya selesai. Aksa bernapas lega. Senyum lebarnya terlihat sumringah, menyalami dewan direksi dan rekan kerja. Bahagia dan lega, karna akhirnya tugas menumpuknya hari ini telah selesai. Rasa rindunya yang menumpuk seharian ini sebentar lagi akan terealisasikan.
Senyumnya makin lebar saat satu persatu dari mereka berpamitan. Dia hendak melangkah pergi, tapi suara panggilan menghentikannya.
"Aksa, bicara sebentar?"
Om Reksa. Membuat langkahnya urung. Pria paruh baya itu menghampirinya.
"Kamu ada masalah dengan Lila?"