"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu Banyak Kenangan
...Antari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Gue gak bisa ngelupain wajah Ellaine yang merah padam tadi. Bukan cuma mukanya yang merah, napasnya juga berantakan. Gue langsung keingat bagaimana wajahnya waktu gue cium dan sentuh dulu.
Gue lihat dia buru-buru naik tangga kayak lagi kabur dari sesuatu atau seseorang. Dan kayaknya bukan dari gue.
Rasa penasaran gue makin jadi pas Asta keluar dari lorong yang sama.
Mukanya sama merahnya.
Apaan, nih?
Asta sama sekali gak nengok ke gue, cuma lewat begitu saja. Kemejanya kusut di bagian dada, kayak abis dicengkram seseorang.
Mereka berdua lagi ngapain?
Tapi ada suara lain di kepala gue nyeletuk,
..."Emang lo masih peduli, Antari? Lo sendiri yang mutusin buat menjauh dari dia."...
Iya, sih. Tapi bukan berarti gue rela dia jadi milik orang lain. Apalagi... milik adik gue sendiri.
Gue udah melepaskan dia.
Terus kenapa gue masih ngerasa dia punya gue?
Karena gue emang egois.
Hari ini kerjaan gue juga kacau. Setelah berhari-hari di rumah sakit, pas balik ke kantor kerjaan numpuk. Rasanya gue cuma punya sisa tenaga buat pulang dan tidur doang.
Begitu masuk kamar, gue langsung ke kamar mandi buat mandi. Air panas ngalir, uapnya menggantung di udara, rambut basah gue nempel di wajah. Gue kepalkan tangan dan nekan dinding.
Ekspresi Ellaine waktu di kantor terus mengikuti gue tiap gue merem.
Dia gak pantas digituin. Dia udah baik banget sama Anan dan Asta. Gue ingat bagaimana dia nemenin mereka di mobil pas ke rumah sakit. Dia orang baik. Dan gue nyakitin dia tanpa alasan. Cuma karena gue gak bisa menjelaskan apa yang sebenernya terjadi.
Tapi kalau gue jelasin, memang ada gunanya?
Cuma bakal bikin dia makin bingung, kan?
Dan pada akhirnya, itu tetap gak bakal mengubah kenyataan kalau kita gak bisa lagi bersama.
Setidaknya, gak sekarang.
Gue usap muka, matiin air, terus keluar kamar mandi. Udah ganti baju, handuk masih gue selempangin di leher. Gue diam sebentar.
Jangan cari dia, Antari.
Tapi tangan gue malah melempar handuk ke kasur dan kaki gue otomatis melangkah keluar kamar.
Gue nemuin dia di dapur, lagi ngelap meja sampai kinclong. Pas dia melihat gue, mukanya langsung berubah. Dia buang lapnya ke wastafel dan muter buat pergi.
"Ellaine." Dia gak berhenti waktu lewat samping gue, mau kabur, jadi gue pegang tangannya dan muterin dia ke arah gue. "Gue ngomong sama lo."
Dia langsung melepaskan tangannya dari genggaman gue. "Dan gue lagi ngecuekin lo."
Nada marahnya bikin kepala gue panas. "Jadi lo mau gini terus? Pura-pura gue gak ada?"
Tanpa ragu, dia jawab, "Iya."
"Dewasa banget."
Mata dia berbinar, tapi bukan karena senang. Itu kemarahan. Ellaine mundur selangkah sambil nyilangkan tangan di dada. "Lo kepikiran buat bilang "dewasa" ini sebelum atau setelah lo bohong buat deketin gue?
"Gue gak bohong."
Dia mendesis. "Lo emang gak tau malu."
"Ellaine."
Gue gak tau kenapa tangan gue otomatis naik buat nyentuh mukanya, tapi dia langsung mundur.
"Jangan sentuh gue."
Gue turunin tangan gue. "Ellaine, gue…"
"Semuanya baik-baik aja?" Suara Asta dari belakang bikin gue kaget.
Gue bahkan gak sadar dia udah dekat. Ellaine langsung muter badan, siap pergi. "Iya, gue mau tidur."
Tapi pas dia mau lewatin Asta, cowok itu malah nahan lengannya. "Kita harus ngomong. Ke kamar gue."
Darah gue langsung panas.
Jangan sentuh dia!
Tapi gue tahan mulut gue.
Ellaine kelihatan gak nyaman.
"Gue rasa ini bukan waktu yang tepat."
"Justru sekarang waktu yang pas. Ayo." Asta mulai narik dia.
"Asta, enggak… besok aja…"
Gue gak mikir lagi. Badan gue udah bergerak duluan, tangan gue langsung narik Ellaine dari pegangan Asta.
"Dia bilang enggak."
Asta muter badan, natap gue dengan sorot mata yang berbeda dari biasanya. Dulu, dia selalu jadi yang paling takut sama gue.
Tapi kali ini?
Kayaknya enggak.
Dengan suara serius, dia bilang, "Apa yang mau gue omongin sama dia, itu bukan urusan lo."
Sial.
Ini gak bener.
Gue bisa ngerasain kemarahan naik dari ujung kaki sampe kepala. Rahang gue mengencang, bahu gue tegang.
Ellaine melepaskan tangannya dari gue, tapi gue tetap tatap Asta dan ngomong, "Segala sesuatu yang menyangkut tentang dia, itu urusan gue."
Asta gak ragu. "Kenapa harus jadi urusan lo?"
"Karena dia punya hubungan sama gue."
Ellaine langsung melihat gue dengan ekspresi shock. Asta juga berubah, dari penuh perlawanan jadi bingung.
"Lo ngomong apaan, sih?"
Gue harusnya diam. Tapi enggak.
Senyum puas muncul di bibir gue pas gue bilang, "Dia itu punya gue, Asta."
Asta langsung lihat Ellaine. "Ellaine?"
Ellaine buru-buru geleng kepala. "Enggak. Gue bukan punya dia. Dia…"
"Itu bukan yang lo bilang pas lo mendesah di atas jari gue, Ellaine."
Mata Ellaine berubah jadi penuh kebencian. Kalau tadi dia benci gue, sekarang pasti bencinya dua kali lipat.
"Lo… sama dia?" Asta kelihatan shock. Ellaine maju selangkah ke arah dia, tapi gue langsung tarik tangannya lagi.
Dia langsung melepaskan diri dan teriak. "Berhenti nyentuh gue! Gue ini bukan barang, anj1ng! Gue BUKAN punya lo!"
Terus dia meraih tangan Asta. "Ayo, gue bakal jelasin semuanya."
Gue ngerasa dia milih Asta di depan mata gue. Jadi gue maju dan pisahin mereka, tangan gue mengepal.
"Kenapa lo harus kasih penjelasan ke dia, hah?!"
Asta langsung berdiri di antara gue dan Ellaine. "Cukup!"
Gue tetap menatap Ellaine dari balik bahu Asta.
"Ellaine."
Suara gue rendah.
Marah.
Ellaine menatap gue, tanpa ragu dia ngomong, "Gue sama Asta ciuman hari ini."
Apa?
Dunia gue langsung berhenti. Dada gue naik turun, amarah gue meledak sepuluh kali lipat. Tangan gue otomatis nyeret kerah baju Asta.
"Lo ngelakuin apa?!"
Asta pegang pergelangan tangan gue, berusaha lepasin diri. "Dia udah bilang sendiri, dia bukan punya lo."
"Jadi lo ngelanggar perjanjian?"
Gue ingatkan dia tentang perjanjian yang kita buat bertahun-tahun lalu, kita gak akan pernah merebut cewek yang kita suka satu sama lain.
Sekilas, Asta kelihatan merasa bersalah. "Gue gak tau kalau lo dan dia… gue enggak…"
"Omong kosong!"
Gue makin kencangkan genggaman di kerahnya.
Ellaine buru-buru nyamperin gue. "Antari, lepasin dia."
Tatapan gue tetap fokus ke Asta. "Lo sama Anan selalu tahu kalau gue suka sama dia."
Ellaine narik lengan gue. "Lepasin!"
Tapi gue gak bisa bayangin Ellaine yang nyium Asta , itu bikin kepala gue nyaris meledak.
Lalu Asta ngomong dengan nada datar, bikin gue makin panas. "Dia udah bilang kalau dia bukan punya lo. Itu bukan salah gue kalau lo terobsesi sama sesuatu yang gak pernah bisa lo capai."
Kata-katanya bikin darah gue mendidih. Tangan gue langsung meluncur, nonjok mukanya sekuat tenaga.
Suara retakan keras terdengar dari kuku-kuku jari pas tinju gue kena pipinya.
Ellaine teriak.
Asta limbung, hampir jatuh.
Ellaine buru-buru berdiri di antara kita. "Udah cukup!"
Dia tekan telapak tangannya ke dada gue, nyuruh gue mundur. "Berhenti! Pergi dari sini!"
Gue malah genggam pergelangan tangannya. "Gue gak bakal pergi kecuali lo ikut gue."
Dia ragu.
Gue tahu dia mau nolak, tapi juga tahu kalau dia nolak, situasi ini bakal makin kacau.
Asta jatuh duduk di sofa, megang pipinya yang mulai memar.
Tapi ekspresinya?
Gak ada tanda-tanda mau bales. Dia tahu dia salah. Dan itu alasan kenapa dia gak mukulin gue balik.
Gue tarik Ellaine naik ke lantai atas. "Gue balik bentar lagi, bisik Ellaine ke Asta sebelum kita masuk kamar gue."
Begitu pintu tertutup, dia langsung menyilangkan tangan di dada, jelas-jelas marah.
"Lo udah gila?! Nonjok saudara lo sendiri?!"
Gue gak peduli.
"Apa yang sebenernya terjadi antara lo sama dia?" Dia gak nyangka gue bakal langsung nanya itu. "Jelasin semuanya. Berapa kali lo ciuman? Apa dia nyentuh lo?"
Ellaine mendesis, ekspresi jijik jelas di wajahnya. "Lo gak punya hak buat nanya itu."
"Gue PUNYA hak!" Suara gue naik. "Gue punya hak karena beberapa minggu lalu lo biarin gue nyentuh lo! Tapi sekarang lo malah sama adik gue sendiri?!"
Dia balas teriak.
"Lo ngaca gak?!" Ellaine melotot, napasnya memburu. "Lo bohongin gue, Antari! Lo punya tunangan! Lo dateng ke hidup gue, bikin gue jatuh, terus lo ninggalin gue! Sekarang lo balik bikin drama ini?! Lo pikir lo siapa?!
Gue usap wajah gue, nyoba nahan diri. "Jauhin dia."
Ellaine ketawa, "Lo bahkan gak dengerin gue."
"Lakuin aja yang gue bilang. Lo gak tahu? Gue bisa ngelakuin apa pun, Ellaine."
Dia maju, deketin gue. "Denger baik-baik, Antari." Mata dia dingin, penuh benci. "Lo sama gue itu gak ada apa-apa. Gue bukan punya lo, bukan punya Asta, atau siapapun. Gue manusia, bukan barang! Hidup gue bukan urusan lo lagi. Jadi doain aja yang terbaik buat diri lo, urusin tunangan lo, dan jangan ganggu gue lagi."
Dia muter badan, jalan ke pintu. Sebelum dia sempat buka, gue ngomong, "Bukan dia, Ellaine!" Dia berhenti dengan punggung menghadap gue. " Jangan adik gue!" Gue ngomong di antara gigi yang rekat, "Jangan lakuin itu sama saudara gue sendiri."
Dia ngelirik gue dari balik bahunya. "Gue mau lo tahu, ini bukan sesuatu yang gue rencanain buat nyakitin lo."
"Selalu gitu alasannya."
Bahunya turun kayak lagi pasrah sama sesuatu. "Jangan salahin Asta, dia adik lo dan dia sayang sama lo." Dia berhenti, dengan hati-hati memilih kata-katanya. "Lo sama gue selalu berakhir, bahkan sebelum kita memulai, emang begitu jalannya. Berhenti maksain yang gak mungkin, Antari."
Gue usap wajah gue, jalan sampai berdiri persis di belakangnya. "Gimana caranya gue berhenti, kalau yang dipertaruhin itu lo?"
Dia diam. Gue taruh tangan gue di bahunya, menundukan kepala sampai kening gue bersandar di belakang kepalanya. "Gue gak bisa, Ellaine."
Gue ngerasa dia gemetar sedikit. Dia coba melepas tangan gue dari bahunya, tapi pas tangannya nyentuh kuku-kuku jari gue yang berdarah, gue otomatis meringis. Gue bahkan gak sadar tangan gue udah kayak gitu.
Ellaine langsung balik badan, melihat gue, terus megang tangan gue yang luka dengan dua tangannya. "Lihat nih, lo ngapain sih?" Nada khawatir di matanya menggantikan ekspresi dingin barusan. "Duduk, gue ambil kotak P3K."
Gue nurut dan duduk di kasur. Ellaine balik dengan buru-buru, pintu dibiarkan terbuka, lalu dia duduk di samping gue.
Gue cuma diam, memperhatikan dia membersihkan luka gue pelan-pelan. Bukan pertama kali dia ngelakuin ini. Waktu kecil, gue sering banget berantem, dan dia selalu ada buat ngurusin luka-luka gue sambil marahin gue.
Dia merapatkan bibirnya, kebiasaannya kalau lagi serius.
Gue keingat hari itu…
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
"Antari! Antari!" Suara Anan yang panik bikin gue langsung siaga. Gue pause game yang lagi gue mainin, terus nengok ke dia. Matanya merah, air mata meluncur di pipinya.
"Kenapa?" Pikiran gue langsung muter, ngebayangin hal terburuk.
Anan nangis sesenggukan sampai cegukan. Gue pegang mukanya biar dia fokus. "Kenapa, Anan? Ngomong."
"Gue… dapet… nilai bagus, Antari!." Dia usap mukanya pakai punggung tangan. "Terus gue mau kasih lihat ini ke Mama." Mukanya langsung berair lagi. "Dia… ada cowok di sana… Dia sama cowok itu… bukan Papa."
Gue angkat alis. "Maksud lo apa?"
"Mama… dia ngelakuin sesuatu di kasurnya sama cowok yang bukan Papa."
Perut gue langsung dingin. Gue ngerti maksudnya. Tiba-tiba Mama buka pintu sambil megang sprei putih menutupi badannya yang gak pake baju.
"Anan! Sini, sekarang!" Suaranya keras, tapi gue bisa dengar ada rasa takut di sana. Matanya nyari-nyari ekspresi di muka gue, mungkin buat tahu apakah Anan udah bilang ke gue atau belum.
Dan tiba-tiba, kemarahan gue meledak.
Gue berdiri cepat dan geser Anan ke samping, terus jalan ke arah Mama. Dia kaget melihat gue yang langsung naik pitam dan mundur selangkah, tapi dia bukan target gue.
Gue jalan lewati dia, keluar ke lorong. "Mana dia?"
Mama geleng-geleng kepala. "Antari…" Dia coba pegang lengan gue, tapi gue tepis keras.
Gue buru-buru ke kamarnya, nendang pintunya sampai terbuka. Gue pengen ngehancurin semuanya. Mata gue langsung nangkap sosok laki-laki asing yang baru saja selesai masang kancing bajunya.
Gak butuh waktu lama buat gue ada di atas dia, mukulin mukanya berkali-kali. Kemarahan gue bikin otot-otot gue tegang. Walaupun gue masih remaja, gue lebih tinggi dari dia, dan amarah ini bikin gue ngerasa lebih kuat dari yang sebenernya.
Gue ngerasa luar biasa kuat, tanpa batas.
Nyokap masuk ke kamar, teriak nyuruh gue berhenti.
Gue ngerasain tangan-tangan berusaha narik gue, tapi gue gak bisa, gak mau, berhenti.
"Antari! Cukup!" Suara nyokap kedengeran jauh, seperti kenangan dia yang dulu sering ketawa bareng bokap, bilang kalau kita bakal selalu bareng, keluarga yang sempurna.
Pembohong.
Munafik.
Brengsek.
Kata-kata itu muter di kepala gue, sumpah serapah yang gak bakal gue ucapin ke nyokap, tapi dalam pikiran gue, semua itu bebas keluar.
Gue keluarkan uneg-uneg gue tiap kali tinju gue mendarat di wajah laki-laki itu. Mukanya penuh darah, kuku-kuku jari gue nyut-nyutan, panas, tapi gue gak bisa berhenti.
Gue gak mau berhenti.
Lalu, tangan yang hangat nyentuh pipi gue. Gue hampir saja mengabaikannya sampai gue dengar suaranya.
"Antari."
Gue berhenti.
Kepalan tangan gue masih di udara.
Gue nengok ke atas, dan di situ ada Ellaine, berlutut di depan gue. Rambut merahnya berantakan di sisi wajahnya. Dia nurunin tangannya dari pipi gue, terus genggam pergelangan tangan gue. Nafas gue masih berat, bahu gue naik-turun gak terkendali.
"Udah cukup."
Tapi menurut gue, belum.
Dia menyelipkan jari-jarinya di antara jari gue. "Udah, semuanya udah kelar. Ayo."
Gue geleng-geleng kepala, tapi dia cuma kasih senyum sedih. "Please."
Gue lepas tangannya, terus dengan enggan berdiri. Hampir saja gue mukul cowok itu lagi pas nyokap buru-buru lari ke arahnya, berlutut di samping dia yang cuma bisa ngeluarin suara kesakitan.
Gue keluar sebelum gue beneran jadi pembunuh, Ellaine jalan di belakang gue tanpa ngomong apa-apa.
Di lorong, mata gue langsung mengarah ke kamar gue, tempat gue ninggalin Anan. Ellaine kayak bisa baca pikiran gue. "Gue udah urus dia. Gue kasih teh biar tenang, buat ngalihin perhatiannya. Mending lo stabilin diri dulu sebelum lo ketemu dia. Dan juga… lo harus beresin luka-luka lo."
Gue gak ngerti luka mana yang dia maksud, sampai dia memperhatikan tangan gue. kuku-kuku jari gue berdarah parah. Aneh, baru sekarang gue sadar.
Tanpa ngomong apa-apa, gue tinggalin semua itu di belakang, turun ke bawah, Ellaine masih mengikuti di belakang. Dan walaupun gue gak pernah bilang secara langsung, gue bersyukur banget dia ada di sana hari itu.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
..... Gue bersyukur banget.
Ketika kesadaran gue balik, Ellaine lagi membalut tangan gue dengan hati-hati.
Bagaimana caranya gue bisa ngelupain lo, Ellaine?
Bagaimana?
Lo selalu ada di saat gue butuh seseorang. Kita punya terlalu banyak kenangan.
Gue ngerasa ada yang lihat, jadi gue angkat kepala dan lihat Asta berdiri di pintu. Dia pegang kantong es di pipinya. Sekarang, setelah amarah gue mulai reda, gue merasa bersalah udah mukul dia. Selama ini, gue gak pernah sekalipun nyakitin adik gue. Gue buka mulut buat ngomong sesuatu, tapi terus sadar dia gak melihat ke arah gue.
Dia memperhatikan Ellaine.
Dan ekspresinya...
Sakit hati?
Gue merangkai semua kepingan dalam kepala gue. Mungkin dia kesel karena Ellaine ada di sini, ngurusin gue, bukannya dia.
Asta menundukan kepala, terus pergi. Gue balik melihat Ellaine, dia lagi ngumpulin peralatan P3K yang dia pake buat beresin luka gue.
"Jangan banyak gerakin tangan lo. Ganti perbannya besok." Nada suaranya tegas waktu dia berdiri.
"Makasih."
Dia angguk, kasih senyum kecil yang tertutup, terus pergi.
"Selamat malam, Antari."
"Selamat malam, Ellaine."
Gue memperhatikan dia jalan keluar. Dan walaupun malam ini gue memperbolehkan dia keluar dari kamar gue, gue tahu… gue gak bakal bisa melepaskan dia dari hidup gue.
Bagaimana bisa, kalau semua itu tentang dia?
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔