Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu. Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih.
Alexander Monoarfa jatuh cinta pada Rihana Fazira dan sempat kehilangan jejak gadis itu.
Rihana dibesarkan di panti asuhan oleh Bu Saras setelah mamanya meninggal. Karena itu dia takut menerima cinta dan perhatian Alexander yang anak konglomerat
Rihana sebenarnya adalah cucu dari keluarga Airlangga yang juga konglomerat.
Sesuatu yang buruk dulu terjadi pada orang tuanya yang ngga sengaja tidur bersama.
Terimakasih, ya sudah mampir♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takut ditolak
"Aku mencarimu setelah lulus kuliah. Tapi kalian sudah pindah," kata Alexander setelah menghabiskan nasi goreng kambing pesanan mereka dalam diam.
Rihana bingung harus menjawab apa. Mereka memang pindah. Dia menatap nasi gorengnya yang masih tersisa setengahnya. Rasanya sulit sekali untuk menelannya.
Padahal kalo makan sendiri di kost, pasti sudah habis sejak tadi.
"Kalian pindah kemana?" tanya Alexander sambil menatap Rihana lembut.
"Jogja."
"Oooh." Terdengar hembusan nafas kesal Alexander. Dia ngga kepikir mencari Khanza ke Jogja. Dia malah menyuruh pengawalnya mengubek ngubek kota kembang. Pantasan saja ngga pernah ketemu.
"Kenapa pindah?"
"Alasan ekonomi."
"Bukannya Tante Saras punya usaha konveksi? Usahanya juga ikut pindah?" Alexander cukup tau tentang panti asuhan mandiri itu. Pemiliknya memiliki usaha konveksi yang selalu mendistribusikan pakaian pakaian.yang mereka.kerjakan ke toko toko langganan mereka yang ngga maen maen. Jahitannya sangat bagus dan rapi. Alexander sering membelinya dulu.
"Toko ibu terbakar. Habis ngga ada sisa. Ganti rugi yang diberikan ngga cukup untuk membangun lagi usaha konveksi itu," jelas Rihana terus terang. Entah kenapa, dia hanya ingin membagikan sedikit bebannya pada Alexander.
"Karena itu kamu bekerja di sini?" tanya Alexander setelah keterkejutannya hilang akibat mendengar penjelasan Rihana.
"Ya. Aku mencoba melamar dan syukurnya diterima."
"Kamu sudah pernah ke Jakarta? Bu Saras setuju?" tanya Alexander bertubi tubi.
"Ibu ngga setuju. Tapi bagaimana lagi. Di sini gajinya cukup besar buat fresh graduate seperti aku," jelas Rihana pelan.
Kembali Alexander menghela nafas berar, seolah menyesalkan kenapa dia ngga ada saat Rihana sedang dalam kesusahan.
"Kamu pernah ke sini?" ulang Alexander pada pertanyaannya yang belum terjawab.
Sebenarnya Alexander ingin mengatakan kalo Rihana terlalu berani menginjakkan kaki di ibu kota seorang diri.
"Dulu aku pernah ke sini. Waktu umurku lima tahun. Memang udah lama sekali, sih," jujur Rihana dengan senyum pahit.
"Ya, sudah berlipat lipat perubahannya."
Keduanya kembali terdiam. Rihana kembali menyuapkan nasi gorengnya.
"Kamu betah kerja di sini? Teman kerja kamu baik baik?" tanya Alexander setekah melihat Rihana menelan nasi gorengnya.
"Mereka terlalu baik," jawab Rihana dengan senyum tipisnya.
"Syukurlah."
Sebenarnya Alexander ingin menawarkan agar Rihana pindah kerja ke perusahaannya saja.. Sebagai asisten pribadinya. Tapi Alexander merasa itu ngga etis. Jadi dia ngga mengatakannya.
Tapi dia lega karena akan lebih mudah memantau gadis itu. Jika Rihana dipecat, Alexander akan mengajaknya bergabung sebagai bekerja sebagai asisten pribadinya. Pasti saat itu Rihana ngga akan menolaknya. Karena sepertinya Rihana kini sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Dia pasti sangat membutuhkan biaya besar untuk membantu Tante Saras membiayai kebutuhan panti.
"Kalian buka open donasi?" tanya Alexander bercanda. Karena sudah pasti jawabannya engga. Karena dari dulu pun memang panti asuhan itu ngga pernah menerima sumbanga berupa uang. Hanya mengijinkan penyumbang untuk memberikan makanan maupun perlengkapan sekolah yang langsung diberikan kepada anak panti.
"Ya enggak lah," senyum tipis Rihana tersungging di bibirnya.
Alexander pun tertawa pelan karena tebakannya benar.
"Kamu betah kerja di perusahaan Om Dewan?"
Alis Rihana terangkat sebelah.
"Om Dewan?'
Kedengarannya akrab.
"Iya, Om Dewan sahabat papi."
"Ooh. Harus betahlah," jawab Rihana mulai menatap Alexander sambil berpikir.
Alexander balas menatapnya.
"Kenapa?" tanya Alexander dengan senyum penuh arti.
DEG
Jantung Rihana kembali berdetak keras.
Rasa itu muncul lagi. Padahal sudah hanpir enam tahun berlalu.
Uhuk uhuk uhuk
"Eh, minum Zira," kata Alexander panik sambil menyerahkan gelas minum miliknya pada Rihana.
Rihana menggelengkan kepalanya sambil mengambil minumannya sendiri.
Cukup lama juga batuknya terhenti.
Rasanya cukup perih kerongkongannya. Dadanya juga masih agak sakit. Selain itu Rihana juga malu hati.
Kenapa mesti batuk karena cuma ditatap Alex, sih.
"Zira, kalo gaji kamu kurang buat ngirim tante Saras, minta aja sama aku, ya," kata Alexander setelah melihat Rihana mulai tenang.
Rihana melebarkan senyumnya.
"Minta? Emang aku siapa kamu?' canda Rihana miris.
Alexander terdiam mendengarnya
"Eh, maksudnya, emm... kamu ngga usah repot repot. Gaji aku sudah gede, kok. Apalagi nanti kalo aku udah jadi karyawan tetap," jelas Rihana canggung. Takut Alexander salah memakna ucapannya yang bersayap.
Kalo Alexander menyukainya, pasti akan sangat menyenangkan. Tapi akan jadi masalah besar dan sangat memalukan jika Alexander tidak punya perasaan apa apa dengannya. Dan menganggapnya ngga tau diri.
"Kamu ditraining berapa bulan?" tanya Alexander setelah cukup lama terdiam.
"Tiga bulan."
Alexander kembali terdiam. Dia menatap Rihana yang sedang menyuapkan lagi nasi gorengnya, terlihat enggan.
Dia ingin mengatakan yang selama ini dia pendam. Tapi bingung bagaimana caranya.
Alexander juga takut ditolak, apalagi mereka baru bertemu lagi setelah sekian lama.
"Besok aku ada meeting di perusahaan Om Dewan."
Lagi lagi Om Dewan. Kelihatannya mereka sangat dekat, batinnya getir. Dia yang anaknya saja, ngga bisa seakrab itu menyebut nama papanya.
"Tadi juga. Dalam dua minggu ini aku akan sering ke sana," lanjut Alexander lagi dengan penuh makna tersirat.
"Oooh."
"Kamu kalo makan siang di kantin?"
"Iya."
Hening.
Alexander menghela nafas. Dia menatap wajah cantik di depannya yang seperti menanggung banyak beban.
"Aku mau pulang. Kamu tadi naek apa?" Rihana menyudahi makannya, kemudian menghabiskan jus jeruknya yang udah tinggal separuh.
"Herdin nunggu aku di dekat gang tempat kita bertemu."
"Ooh." Rihana ngga tau keberadaan Herdin.
"Kamu tinggal di sana?"
"Ya," jawab Rihana agak insecure. Sekarang jarak mereka semakin jauh.
"Ngontrak atau.....?"
"Aku kost."
"Ooh."
Kini keduanya sudah berjalan beriringan.
"Di sini aja," putus Rihana ketika Alexander mengikutinya masuk ke dalam gangnya.
"Ngga pa pa." Alexander terus berjalan.
Rihana membuang nafasnya dan berjalan di samping Alexander yang nampak sangat tenang.
"Ini kostku," kata Rihana sambil menghentikan langkahnya.
Alexander memperhatikan pagar yang cukup tinggi seakan melindungi bangunan berlantai dua itu.
Bibirnya berkedut saat membaca papan nama yang bertuliskan kost putri Bidadari.
Bidadarinya memang tinggal di sini
"Kamar kamu yang mana?" tanya Alexander setelah cukup lama mengamati kostnya.
"Itu yang paling ujung, lantai dua," sahut Rihana sambil menunjukkan letak kamarnya yang memang sangat kelihatan dari tempat mereka berada.
"Oooh." Kembali bibir Alexander mengulaskan senyum tipisnya.
"Kamu... langsung pulang, kan?" Agak ngga enak mengusir Alexander. Tapi kost nya ngga punya ruang tamu. Tamu laki laki juga di larang masuk. Itu peraturan dari ibu kost saat pertama Rihana menemui beliau.
"Iya, tentu. Aku pulang dulu," pamitnya kemudian melangkah pergi meninggalkan Rihana yang masih menatap punggungnya.
Langkahnya terasa ringan kini karena sudah tau dimana Zira-nya tinggal.
"Sorry, gue lama banget ya," ujar Alexander saat memasuki mobil.
"Gue juga baru sampai. Tadi gue pergi nyari makan," kekeh Herdin.
"Oh, syukurlah," kekeh Alexander sambil memakai seatbealtnya.
"Gimana? Diterima?" tanya Herdin ngga sabar mendengar cerita Alexander.
"Gue belum bilang."
"What? Padahal gue pikir lo ditolak," cemooh Herdin ngakak.
Alexander pun tergelak.
"Gue juga takut ditolak. Ini baru pertemuan pertama. Masa gue langsung nembak."
"Tapi kalian, kan, udah terlalu lama. Lo ngga takut hati Rihana berubah?"
Alexander terdiam. Tentu dia takut. Sangat takut malahan.