LF: License to Fight
Dia memang seorang pria biasa, dia juga hanyalah pria yang ingin bebas dari pekerjaan penting nya. Apapun segala hal yang dia lakukan adalah hal yang nyata. Tanpa tugas, tanpa izin, dia bisa menjadi apapun.
Sepenuhnya menceritakan seorang Samuel yang bernama asli Ah-Duken. Dia hanyalah Pria yang harus menangani berbagai kasus yang tidak masuk akal, jika kasus nya tidak masuk akal, maka pekerjaan nya semakin tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khara-Chikara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 Samuel/Ah-duken
Di bab ini sampai bab berikutnya akan mengisahkan siapa Samuel sebelum dia menjadi seseorang yang hampir di kenal dunia. Dan juga nama Samuel sebenarnya adalah Ah-duken karena dia sebelumnya memang lahir dari Amerika tetapi langsung tinggal di Korea karena itulah, mungkin orang tua nya memberinya nama sesuai di Korea saja, karena mereka berpikir bahwa Samuel bisa berbaur dengan mereka yang ada di Korea.
--
"Aku tidak yakin," kata seorang Direktur pemilik museum yang sedang mengamati bingkai lukisan yang sangat cantik dan bernilai tinggi.
"Aku mohon lihatlah terlebih dahulu, aku sudah berusaha sebisa mungkin," Ah-duken, pemilik lukisan itu mencoba meyakinkanya untuk menerima lukisannya tersebut di museum.
"Dengar Ah-duken, ini bukanlah lukisan seni, ini hanya gambar biasa yang tidak mahal harganya."
"Apa?! Memangnya apa yang kurang, aku sudah menghabiskan banyak modal untuk peralatan membuat lukisan yang aku buat, apa itu masih di sebut kurang? Apa yang kurang?!"
"Kau kurang menghayatinya, komponen disini masih terlalu kurang dan warnanya masih belum bisa di bilang cerah dan gelap. Aku tidak bisa meletakan nya di museum ku," Direktur itu menolak lukisan nya.
"Lukisan sebagus itu tertolak oleh museum, itu juga pengerjaan yang dia suruh. Lalu aku harus apa?" Ah-duken menatap.
"Hanya ada beberapa pilihan, aku akan memberimu waktu 4 hari lagi untuk mengulang lukisanmu atau tidak usah kerjakan ini dan jadilah penjual lukisan murahan saja."
"Apa...?! Waktu seminggu saja sudah paling kecil untuk membuat lukisan serumit ini, apa kau tidak pernah merasakan memikirkan waktu secepat 4 hari?!" Ah-duken mencoba protes.
"Aku yang memintamu melakukan ini, aku yang menawarimu melakukan ini, aku juga yang memberimu aturan untuk hal ini. Jika kau tidak setuju silahkan tidak usah mengerjakan tawaranku," kata Direktur sambil meninggalkanya pergi.
Hal itu membuat Ah-duken terdiam ragu, benar benar tidak pernah membayangkan hal seperti itu sebelumnya.
--
"Haiz..." seorang Ah-duken terduduk putus asa di sofa apartemen nya. Dalam keadaan gelap dan malam yang masuk lewat jendela yang masih terbuka. Lalu ia beranjak dan menutup jendela itu. "Cih, apa yang kurang... Aku akan mencoba nya lagi... Tapi, tak ada ide, apa yang harus aku buat..." ia berjalan mundar mandir hanya untuk berpikir. Karena dalam keadaan gelap, ia tak bisa melihat apa apa dan tak sengaja menyandung kotak cat warna hitam hingga tumpah di lantai. Ah-duken terdiam melihat bawah, ia sama sekali tak berwajah panik karena masih ada beban pikiran di kepalanya. "Haiz... Aku harus membersihkan nya."
Tak lama kemudian, Ah-duken berjalan keluar di malam yang dingin dan masuk ke bar meminum beberapa beer disana. "Cih, ini menyusahkan," ia terlihat kesal sambil meletakan gelas bir yang baru saja ia minum dengan cepat.
"Bagaimana bisa aku begitu sulit untuk mengerjakan cita cita ku sendiri..... Kupikir menjadi pelukis itu akan sangat menyenangkan, bayaran nya pun juga lebih dari seberapa.... Kenapa begitu sulit.....?!" ia tampak benar benar putus asa.
Lalu ada seseorang memegang bahunya dari belakang, ia menoleh dan rupanya seorang perempuan yang manis.
"Maine...!" itu namanya yang telah di sebut Ah-duken.
"Halo, Ah-duken, kenapa kau terlihat gelisah?" tanya Maine sambil duduk disampingnya. Ah-duken hanya diam menatap gelasnya.
"Oh, bagaimana dengan lukisanmu yang bagus itu?"
"Haiz... Aku gagal... Dia bilang aku kurang menghayati," balas Ah-duken.
"Apa...?! Kurang menghayati, lukisanmu bahkan sangat bagus, kenapa dia berani menolaknya?" Maine ikut kesal.
"Entahlah mungkin sudah takdirku."
"Sebaiknya kau cari museum lain," kata Maine.
"Tidak bisa, aku hanya ingin lukisanku di pajang di museumnya."
"Tapi, sudah jelaskan dia sudah menolak."
"Aku akan mencoba lagi, dia masih memberiku kesempatan mepet."
"Kesempatan mepet, Ah-duken... Itu mustahil untukmu," Maine menjadi khawatir. Tapi Ah-duken hanya diam, lalu Maine tersenyum kecil. "Baiklah, jika itu memang kemauanmu, aku akan mendukungmu... Kita adalah teman bukan?" Maine menepuk bahu Ah-duken.
"Yah, Maine teman SMA ku, dia dulu gadis yang mengejar banyak lelaki dan aku yang selalu mendukungnya... Hm... Gadis aneh, walaupun gadis aneh, dia sudah berusaha meninggalkan sikap buruk SMA nya, aku senang jika masih ada teman yang peduli pada ku seorang...." Ah-duken menjadi tersenyum sendiri.
"Hei, kenapa senyum senyum sendiri, kamu sedang melihat wajah ku?" Maine menatap. Hal itu membuat Ah-duken terkejut dan memalingkan wajah.
"A-aku tak bermaksud begitu..."
"Eeeh~ Kamu bo'ong, jelas banget senyum senyum tadi, kau benar benar lelaki yang polos," kata Maine.
Seketika Ah-duken yang mendengar itu menjadi terkejut dan langsung menoleh padanya. "Apa memang begitu? Apa aku memang terlihat sepolos itu?"
"Yeah, dasar kamu lelaki polos, hanya bisa memasang wajah polos dan begitu memaksa.... Kapan kamu bisa menerima semua hal yang akan terjadi jika kau terus bersikap begitu, dasar," Maine menatap meremehkan.
Hal itu membuat Ah-Duken agak tersinggung. "Sangat aneh sekali...."
Dijalan nya pulang, Ah-duken berhenti dan melihat sebuah papan televisi besar. Televisi besar itu menunjukan berita tentang pembunuhan seorang wanita yang ditemukan tewas membawa bekas tusukan di dada dan selangkangan nya. Ah-duken tak terlalu mempedulikan itu jadi dia hanya kembali berjalan.
"Haiz... Apa yang harus kulakukan?" Ah-duken masih memikirkan pekerjaanya sambil mengambil kunci apartemen dari sakunya. Namun hal tak terduga terjadi disaat ia membuka pintu apartemen nya, ada pencuri yang berada di dalam. Pencuri itu juga menoleh padanya dan berwajah panik.
"Hah, gawat... Mundur kau...!!" pencuri tersebut memegang sebuah pistol tembakan dan ditodongkan nya ke Ah-duken yang terkejut. Ah-Duken refleks mengangkat kedua tangan nya ke atas.
"Apa yang terjadi.... Kenapa ada hal yang sungguh tidak bisa di prediksi di sini, aku benar benar harus ketakutan gemetar sekarang, bagaimana tidak, ada pencuri yang masuk apartemen ku dan tak hanya itu, dia sekarang benar benar menodongkan senjata nya padaku..." pikir Ah-duken dengan sungguh berkeringat dingin.
"Masuk dan tutup pintu..." kata pencuri tersebut. Lalu Ah-duken masuk dan menutup pintunya.
"Berdiri di tembok..." pencuri itu menambah.
"Gawat... Apa yang salah sih dengan hidupku," Ah-duken terpaksa melakukan perkataanya. Dia masuk dan menutup pintu membuat keadaan kembali gelap.
Pencuri itu menutup wajahnya dengan masker kain agar Ah-duken tidak mengetahui wajah nya. "Dia tadi sudah melihat wajahku, terpaksa aku akan membunuhnya nanti," dia menyalakan lampu dan melihat banyak sekali lukisan yang di pajang maupun di bawah. Dia melihat pemesanan lukisan itu sangat banyak dan berharga tawaran mahal. "Hm... Jadi kau penjual lukisan ilegal," Kata pencuri itu.
"Ambilah uang dan semuanya, lepaskan aku, aku juga tak akan mengadukanmu," kata Ah-duken.
"Diam... Lukisanmu ini sudah terjual sangat mahal, sepertinya kau punya tangan ajaib... Tapi yang aku lihat, kau tak memiliki izin apapun untuk menjual ini, aku bisa saja duluan mengadukanmu ke polisi."
"Situasi macam apa ini?" Ah-duken mencoba tetap tenang. Lalu pencuri itu mendadak kembali menodongkan pistol tembakan ke kepala belakang Ah-duken.
"Dia menodongkan senjatanya?! Di kepala ku!? Apa yang harus aku lakukan?!" ia panik, tapi ia terdiam ketika tak sengaja mengingat sesuatu, yakni soal perkataan milik Maine. Di situasi seperti ini, tentunya memang harus menunjukkan bahwa dia adalah lelaki sejati.
"Tunjukan dimana kau menyimpan uangmu," kata pencuri itu. Dia meminta Ah-duken menuntun nya sambil tersandra sendiri. Hingga pada akhirnya, Ah-Duken berjalan menunjukan brankasnya.
Tapi dia malah berjalan ke dapur. "Kenapa kau malah ke dapur?" pencuri itu menatap. Lalu Ah-duken menunjuk tembok samping membuat pencuri itu menoleh.
"Kesempatan," Ah-duken memanfaatkan kelengahan pencuri itu dengan berlari pergi.
"Hei... Jangan lari... Cih.." pencuri itu menembak peluru padanya. Ah-duken terkejut dan segera mengambil pisau cincang menangkis peluru itu sehingga berbalik mengenai dada pencuri itu.
"Ugh...Tidak mungkin... I-iblis?!" dia terkejut dan terjatuh tak sadarkan diri. Ah-duken terdiam dan menjatuhkan pisaunya. "Aku, membunuh seseorang..." dia benar benar gemetar tak percaya dengan apa yang dia lakukan.
Dia telah membunuh orang yang bahkan tidak di kenali. "Tapi tunggu... Kekutan apa itu tadi, apa hanya keberuntungan aku bisa menangkis pelurunya... Ah.. Tunggu, kenapa malah memikirkan itu, aku harus memikirkan hal ini, ada mayat di depan ku!!! Bagaimana ini?!" Ah-Duken panik dan perlahan mendekat mengecek napas pencuri itu. Mendadak dia menjadi terkejut karena pencuri itu sudah tak lagi bernapas atau bisa dikatakan mati. Memang benar itu adalah mayat.
"Ini... Tidak mungkin," dia menjadi melompat menjauh dengan rasa sedikit tak percaya. Darah mulai mengotori lantai dengan adanya banyak cipratan kecil di dinding dan meja dapur. Sedikit demi sedikit mengalir kemana mana. Jika di biarkan itu bisa merambat semakin banyak.
"Aku, aku harus menghubungi polisi," dia berdiri dan akan berjalan ke telepon rumah tapi ia tak sengaja menyenggol kuas cat dan mengenai darah yang ada di lantai. Ah-duken terdiam perlahan berhenti panik, ia berjalan mengambil kuas yang telah berlumur darah di bagian sikatnya tersebut.
Ah-duken masih diam dan melihat semua lukisan nya lalu mengingat kata kata terakhir sang Pencuri yakni iblis. "Dia mengatakan Iblis..." Ah-duken berpikir dan berjalan ke sebuah kanvas hitam polos yang berdiri dengan tongkat penyangga. Dengan kuas merah darah itu dia menjadi menelan ludah dan mulai melukis dengan darah.
"Entah kenapa, aku hanya terpikirkan sebuah ide," dia terus melukis dengan hanya warna darah saja, dan itu dari darah korban tadi.
8 jam berlalu, Ah-duken masih fokus menggambar hingga ia memberhentikan tangan nya tepat di angka jam 7 tepat. "S-sudah pagi?" ia menjatuhkan kuasnya di iringi melihat ke jendela yang masih terbuka karena semalaman tidak ia tutup. Matahari sudah muncul dan ia melihat lukisan nya sendiri. Seketika ia terkejut tak percaya karena lukisan nya benar benar bagus. Lukisan itu menggambarkan sesuatu yang keji dan begitu banyak darah, bahkan tak hanya warna darah, melainkan warna hitam. Hanya dua komponen warna itu saja yang bisa mengungkapkan bahwa gambar itu sangat menghayati.