Berawal dari kesalahan yang Faiz Narendra lakukan di masa lalu, membuat hidup Keluarga Narendra terancam bahaya.
Berbagai teror, dan rentetan penyerangan dilakukan secara diam-diam, oleh pelaku misterius yang menaruh dendam kepadanya.
Namun bukan hanya pelaku misterius yang berusaha menghancurkan Keluarga Narendra.
Konflik perebutan pewaris keluarga, yang dilakukan oleh putra sulungnya, Devan Faiz Narendra, yang ingin menjadikan dia satu-satunya pewaris, meski ia harus membunuh Elvano Faiz Narendra, adik kandungnya sendiri.
Sedangkan Elvano yang mulai diam-diam menyelidiki siapa orang yang meneror keluarganya. Tidak sengaja dipertemukan, dengan gadis cantik bernama, Clarisa Zahra Amanda yang berasal dari keluarga sederhana, dan kurang kasih sayang dari ayahnya selama hidupnya.
Ayah Clarisa, Ferdi tidak pernah menyukai Clarisa sejak kecil, hanya karena Clarisa terlahir sebagai anak perempuan. Ferdi lebih menginginkan bayi laki-laki untuk meneruskan keturunannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laksamana_Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Clarissa bangun pagi dengan sesak di dada. Dia masih terasa sakit dan kecewa setelah kemarin bertengkar dan berdebat dengan ayahnya.
Clarisa menangis sepanjang malam, merenungkan segala hal yang terjadi. Dia berpikir mengapa ini semua harus terjadi kepadanya.
Dengan mata sembab dan wajah pucat, Clarissa bangun dari tempat tidur. Dia bergegas menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan air hangat. Setelah mandi, Clarissa mulai bersiap-siap untuk pergi ke kampus.
Kemudian bergegas turun dan bertemu dengan ayahnya yang sedang makan dan ibunya sedang mencuci piring.
"Bun, clarisa berangkat kuliah dulu ya" ucap Clarisa sembari mencium tangan bundanya.
"Enggak sarapan dulu nak?"tawar Wulan namun dibalas gelengan kepala clarissa
"Enggak bunda, nanti saja" tolak Clarisa
"Kamu yakin bunda lihat dari semalam kamu belum makan loh?" tanya Wulan merasa kuatir melihat Wulan yang dari kemarin malam belum makan sama sekali.
Wulan merasa kebingungan dan cemas melihat keadaan putrinya yang semakin murung dan tertutup.
Ia tidak ingin membiarkan Clarisa terlalu lama dalam keadaan seperti itu, tapi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan.
Sedangkan Clarisa sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi. Dengan hati yang masih terasa sakit akibat pertengkaran dengan ayahnya, ia merasa terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Ia terus menerus memutar ulang kata-kata kasar yang diucapkan ayahnya.
"Enggak bunda clarisa tidak nafsu makan"jawab clarissa membuat Wulan menghela nafas.
"Kalau gak mau makan ya udah, Alhamdulillah beras di rumah jadi awet" ucap Ferdi tersenyum sinis membuat Clarisa dan bundanya menoleh.
"Mas, kamu kok tega banget bilang begitu?" protes Wulan.
"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" cuek Ferdi membuat Wulan semakin kesal melihat sikap suaminya itu.
Bukan cuma Wulan, Clarisa juga tidak menyangka ayahnya tega mengatakan hal itu, yang seakan-akan tidak perlu Clarisa makan atau tidak.
"Sudah bunda, Clarisa berangkat dulu" pamit Clarisa.
"Iya nak hati-hati ya" ucap Wulan.
"Iya bunda" senyum Clarisa.
Setelah melihat Clarisa pergi, Wulan perlahan berjalan mendekati Ferdi, dan duduk di depan suaminya yang masih asik menyantap makanannya dengan santai.
"Mas, jujur aku merasa sangat sedih melihat bagaimana kamu memperlakukan Clarisa. Dia sungguh membutuhkan kasih sayangmu sebagai seorang ayah" ucap Wulan dengan suara lembut namun penuh penekanan berharap suaminya mengerti, jika sikapnya selama ini salah.
Ferdi mengangkat wajahnya dari piring makanannya dan menatap Wulan dengan tatapan dingin.
"Aku sudah muak dengan semua omelanmu tentang Clarisa." ucap Ferdi marah
"Aku tahu apa yang aku lakukan. Dia hanya anak-anak, tidak perlu perhatian lebih dari itu" lanjutnya menatap tajam, membuat Wulan menarik nafas dalam-dalam, menahan emosinya yang mulai meledak.
"Tapi, sayang, Clarisa adalah anak kita. Dia butuh perhatian, kasih sayang, dan dukungan dari kamu sebagai seorang ayah." ujar Wulan berusaha memberi pengertian.
"Kamu tidak boleh terus-terusan memperlakukannya seperti ini," lanjutnya.
Ferdi meletakkan sedok dan garpu di atas piringnya dengan kasar.
Prangg
"Aku sudah bosan mendengar omonganmu! Aku tidak akan mengubah sikapku terhadap Clarisa !!" bentak Ferdi
"Dia tidak butuh apapun dariku! Terlebih dia cuma seorang anak perempuan yang gak aku inginkan" emosi Ferdi menatap tajam Wulan.
Mendegar itu Wulan mulai menangis, merasakan nyeri yang merayap di hatinya.
"Mas, kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?" tanya Wulan
"Apa mas tidak menyadari betapa pentingnya peranmu sebagai seorang ayah bagi Clarisa?. Kamu tetap ayahnya dan dia anak kamu." ucap Wulan dengan suara mulai meninggi
"Dia butuh kamu mas, jangan biarkan dirimu terkungkung oleh ego dan kebencianmu terhadapnya, hanya karena Clarisa terlahir sebagai anak perempuan" lanjutnya sambil menangis
Ferdi yang sudah kehilangan selera makannya, memutuskan berdiri dari kursinya dengan kasar.
"Aku sudah muak dengan semua ini! Aku pergi!" teriak Ferdi sambil mengambil jaketnya dan keluar dari rumah tanpa menghabiskan makanannya.
Wulan hanya bisa terdiam melihat suaminya pergi dari rumah. Hatinya merasa sakit dengan keputusan suaminya, yang semakin menjauhkan diri dari Clarisa.
Dia mencoba memahami perasaan Ferdi yang sangat mendambakan anak laki-laki, namun hatinya terus meminta agar Ferdi memahami betapa pentingnya peran seorang ayah dalam kehidupan seorang anak, dan menerima Clarisa sebagai anak perempuannya.
gak bisa berkata kata banyak