NovelToon NovelToon
Fading Stitches

Fading Stitches

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Trauma masa lalu / Careerlit
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: AMDee

Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Waktu yang ditentukan di telepon tadi akhirnya tiba. Setelah sepuluh menit, Dokter Gita bergegas menuju lobi rumah sakit. Matanya menjelajah, mencari seseorang di antara puluhan orang yang mengantre untuk berobat. Di sana—di baris kursi keempat—duduk seorang pria dengan sweter hoodie biru muda, ia sedang menelepon. Ponsel di tangan Dokter Gita bergetar. Dokter Gita melambaikan tangan begitu pria itu menoleh ke arahnya.

Pria itu menurunkan masker hitamnya ke bawah dagu, ia membungkukkan badannya dan tanpa tersenyum atau berkata apa pun, pria itu langsung berjalan menghampirinya.

"Maaf, saya mengganggu waktu Anda." Nada bicara pria itu langsung membuat Dokter Gita mendongak. Kata "Anda"—yang diucapkan pria itu secara langsung terasa seperti kilatan petir baginya.

Kalau saja Dokter Gita saat itu sedang memegang gelas di tangannya, mungkin gelas itu akan langsung terjatuh dan pecah. Saking terkejutnya, wajah Dokter Gita yang tadinya ceria, kini berubah menjadi mendung yang sangat gelap.

Kecewa?

Tentu saja—padahal Dokter Gita sudah sangat senang dan berharap mereka bisa menggunakan waktu ini untuk berdamai. Apalagi saat mendengar pria jangkung berambut poni dengan wajah mirip mantan suaminya itu memintanya bertemu berdua seperti ini.

Tapi kenapa sekarang sikapnya berbeda? Pria ini masih saja bersikap dingin terhadapnya, padahal mereka sudah lama tidak mengobrol maupun bertemu.

"Jarang sekali kamu datang menemui ibu."

Saat ini, Dokter Gita memanggil dirinya "ibu" dengan harapan agar anak itu juga akan memanggilnya dengan panggilan yang sama. Namun—

"Saya tidak mau basa-basi, saya ke sini karena butuh bantuan Anda. Ini menyangkut keluarga saya."

Glek.

Dokter Gita menelan ludahnya. Ia menundukkan kepala, membiarkan ludahnya membasahi rongga di tenggorokannya yang kering.

"Baiklah. Katakan saja apa yang bisa ibu bantu?" Dokter Gita menatap wajah anak dari mantan suaminya itu tanpa berkedip.

Pria bertopi bucket itu mengembuskan napas sejenak lalu mengutarakan maksudnya. Dokter Gita hanya mengangguk dan menyetujui permintaan pria itu tanpa berkata apa-apa lagi.

...•••...

Suasana di Universitas Trapunto Djakarta terlihat sama seperti biasanya. Para mahasiswa masih memadati antrean Soto Babat Pak Muh. Di kafetaria, beberapa mahasiswa Tata Busana tahun kedua tengah berdiskusi tentang tugas-tugas mereka yang semakin banyak. Bahkan para mahasiswa baru pun sudah mulai berbaur dengan senior lainnya. Ada yang sibuk belajar di perpustakaan, berburu foto di lingkungan sekolah, dan ada pula yang asyik mengobrol di taman dekat posko pelayanan mahasiswa.

Saat jam istirahat, kampus merah muda itu tampak penuh dengan mahasiswa yang berhamburan ke tempat-tempat favorit mereka. Tidak ada yang berubah setelah kejadian di aula beberapa hari lalu. Uli dan teman-temannya pun sudah memulai pelajaran pertama mereka hari ini. Kembali produktif mengikuti kelas seperti biasanya.

"Sepi banget tanpa kehadiran Aline. Kenapa dia nggak masuk lagi, ya?" kata Uli dengan wajah sedikit ditekuk. Ia memeluk lutut sambil bersandar di bawah pohon. Matanya menatap ke arah kafetaria, tepatnya ke warung Soto Babat Pak Muh yang antreannya sangat panjang.

Elin dan James masih sibuk berfoto bersama. Setelah pose terakhir, James dan Elin duduk di samping Uli, membuka kotak makan siang mereka.

"Aku dengar Aline dirawat di rumah sakit." Ucap James.

Uli dan Eline menatap tak percaya.

"Kamu tahu dari mana kalau Aline dirawat?" tanya Elin.

"Aku mendapat kabar itu dari informan terpercaya."

"Apa? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang?"

James menyeringai. Kali ini senyumnya tampak berbeda dari senyuman pertamanya saat ia memasuki kampus ini—bukan senyum paus dengan cabai yang tersangkut di tengah giginya—senyum James kini benar-benar menyerupai senyuman manis milik Avan Jogia (Setidaknya meskipun tingkat kemiripan antara wajah James dan aktor tersebut tidak sama, tapi postur tubuhnya, garis senyum, dan rambut gondrongnya yang diikat itu terlihat sama persis)

"Maaf. Habisnya kalian baru membahas Aline sekarang. Padahal sejak kemarin Senat sudah sibuk ngomongin Aline."

"Hah? Memangnya Aline kenapa?"

"Kalian nggak tahu?"

Uli dan Elin menggeleng bersamaan.

"Ah, gimana sih? Katanya kalian sahabat, tapi kenapa urusan begini saja kalian masih kalah sama senior."

"Apa sih?" Uli berkata sinis. "Enggak perlu membanding-bandingkan orang, ya! Kita ini orangnya positif, nggak kayak kamu tuh tukang gosip."

"Sadis. Seenaknya saja bilang aku tukang gosip. Berita ini valid, tahu."

"Berita apa maksud kamu?" Uli penasaran.

James terdiam sejenak. "Mhh, katanya Aline mencoba bunuh diri. Kalian sudah tahu?"

"Ha?! Nggak mungkin!" Suara Uli terlalu keras sampai-sampai orang-orang yang berkumpul di taman menoleh ke arah mereka.

"Maaf, maaf." Uli langsung menutup mulutnya.

James dan Elin melotot.

"Berita itu pasti nggak benar, kan? Kok bisa sih Aline berbuat sebodoh itu? Kenapa bisa, James?" Uli bertanya, kali ini setengah berbisik.

James menggeleng. Bahunya terangkat. "Aku juga tidak tahu menahu soal itu. Tapi menurut informanku... berita itu benar. Sekarang, Aline sekarang dirawat di RS Adiwira."

"Kalau berita yang kamu katakan itu benar, kita harus segera menjenguk Aline sekarang juga. Kasihan dia." Uli bersiap memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

"Ayo kenapa kalian diam saja?"

James dan Elin saling melemparkan pandangan.

"Hah? Kalian ini kenapa sih, kok pada sibuk makan semua?" Uli langsung meraih dan menutup wadah makanan mereka, lalu memindahkannya ke tepi pohon.

"Kamu yang kenapa? Kembalikan tempat makanan. Itu belum habis."

"Pilih makan atau teman?"

Elin mendengus. "Aku bukannya nggak mau pilih teman, tapi kita bisa menjenguk Aline nanti, kan?"

"Kapan? Aline sedang sakit, loh, El."

"Iya, aku tahu Aline sakit. Tapi kita juga masih ada kelas sosiologi hari ini. Nanti sore juga kita harus ikut kelas tambahan Bahasa Prancis. Memangnya kamu mau bolos kelas di hari pertama kita?"

"Hah, betul juga."

Uli menepuk dahinya.

"Ishh, dasar!" Elin kembali mengambil kotak bekalnya yang tadi digeser Uli. "Kita makan lagi yuk, James."

James mengangguk dan membuka kotak bekalnya. "Setelah kelas hari ini berakhir, kalian mau jenguk Aline?"

"Ya, tentu saja... dia kan teman kita." Uli menjawab sambil cemberut.

"Anu, apa kalian nggak malu punya teman seperti Aline?"

"Hah? Kenapa harus malu? Aline kan anaknya baik, sering bantu kita juga, kan? Memang apa masalahnya? Kenapa kamu nanya begitu?"

Uli menatap James yang terdiam cukup lama.

"Kenapa kamu kelihatan bingung begitu? Kenapa? Apa kamu tiba-tiba hilang ingatan? Kepalamu terbentur di mana, hah?" Uli menjelajahi wajah James dengan kedua tangannya. James menghela napas panjang dan memejamkan matanya, pasrah saat Uli meraba-raba wajah James yang sehalus pantat bayi.

"Hei, hei..., apaan sih Uli, enggak usah megang-megang James segala." gerutu Elin sambil melepaskan telapak tangan Uli dari kening James.

"Iya, ya, maaf." ketus Uli seraya menyeka tangannya dengan cairan pembersih.

"Kalau kalian mau ke sana, aku nggak ikut, ya?"

"Kenapa? Padahal, waktu itu Aline yang bikin tim kita menang, bahkan kita sampai dapat piala dari orang Jepang itu... siapa namanya, aku lupa?"

"Luna Takahashi." jawab Elin.

"Ya, Luna."

Uli menggaruk kepalanya. Sebenarnya, dia sengaja pura-pura lupa, karena masih malu mengingat kejadian waktu itu.

Jadi, sewaktu datang ke acara seminar Luna di padepokan kampus, Uli sempat mengira bahwa Luna adalah wanita. Dan, saat tim empat dipanggil ke depan untuk menerima sebuah tropi penghargaan, Uli tidak sengaja mengucapkan terima kasih yang salah dengan mengatakan "Mbak Luna"—seketika para mahasiswa baru tak kuasa menahan tawa mereka.

Uli dibully habis-habisan. Banyak yang mengatakan kalau Uli masuk Jurusan Fashion hanya untuk terlihat keren saja. Uli sama sekali tidak punya ilmu-ilmu dasar. Bahkan, Uli tidak mengenal desainer-desainer di seluruh dunia. Apalagi yang ada di depan matanya adalah Luna Takahashi, si perancang busana ternama yang seluruh produk hasil rancangannya laris terjual di berbagai negara.

Di atas panggung, Uli benar-benar mendapat banyak ejekan. Ia ingin menangis karena merasa sangat terhina.

Namun untungnya, waktu itu untuk pertama kalinya Levi bersikap seperti seorang kakak yang berguna bagi Uli. Ia membela Uli. Mengatakan kalau Uli adalah adiknya yang sangat unik. Levi juga mengatakan kalau Uli adalah seorang calon fashion stylist di masa depan. Perkataan Levi kemarin sungguh menyentuh hati Uli. Terutama setelah Levi berani menghukum semua anak yang melakukan tindakan tercela seperti body shaming dan tindakan kekerasan fisik lain pada teman-temannya yang terlihat lemah.

Levi menegaskan agar para mahasiswa baru itu tidak lagi bersikap kekanak-kanakan di kampus ini. Namun, sikap Levi yang berubah menjadi lebih baik justru malah membuat Uli menjadi murung.

Uli menggaruk kepalanya.

James menghela napas. "Kalian tahu Aline punya gangguan kecemasan?"

Uli menggeleng.

Elin menarik napas panjang. “Sebenarnya aku sudah tahu sejak pertama kali bertemu Aline sebelum orientasi. Ingat nggak, Ul? Waktu itu Aline tiba-tiba lari ke gedung dua.”

“Ya, aku ingat. Tapi bagaimana kamu bisa tahu kalau Aline itu—“

“Aku tidak sengaja mendengar Aline berbicara dengan Kak Ode di kamar mandi.” Elin menyela.

Elin langsung menutup kotak bekalnya, sekarang ia sudah tidak berselera lagi. Wajahnya sedikit muram memikirkan Aline.

“Aku jadi tidak tega sama Aline. Memangnya kenapa kalau dia punya masa lalu yang buruk? Memangnya kenapa kalau dia sudah berusia lebih dari dua puluh tahun? Lagi pula, menempuh pendidikan tinggi kan tidak mengenal batasan usia? Kenapa Aline harus dipermalukan? Apa karena dia mengambil kelas kita, jadi semua orang berhak mengkritiknya?” Elin mengungkapkan pikirannya.

“Benar. Kenapa Aline harus menyerahkan mimpinya begitu saja? Padahal dari semua mahasiswa baru yang ada, hanya Aline yang sangat berbakat dan diakui oleh Luna. Ini juga sekolah tinggi kejuruan, seharusnya tidak ada larangan atau batasan usia di formulir kita." Uli menundukkan kepala, menatap rerumputan hijau yang telah bercampur dengan rumput kering kecokelatan.

"Ya, aku sependapat denganmu. Aline juga berhak punya teman-teman yang baik dan menyayanginya. Dia berhak sekolah di sini. Pokoknya, kita harus berbuat sesuatu untuk Aline." Kali ini, Elin yang paling antusias.

Uli mengangguk setuju.

"Hei, Selai. Kenapa kamu dari tadi diam terus? Pendapat kamu bagaimana?" Uli sibuk memperhatikan James yang kelihatannya gelisah sedari tadi.

James terlihat aneh. Padahal mereka sedang membahas Aline dan biasanya James selalu semangat kalau membahas soal pertemanan seperti ini. Apa lagi mereka ini bisa dibilang tim yang solid.

"Aku tidak masalah berteman dengan siapa saja. Tapi yang kita bahas adalah "penyakit" Aline. Ya, okelah. Kalian mungkin masih berpikir bahwa Aline baik-baik saja saat bersama kita. Tapi bagaimana jika, misalnya, karena dia ada di antara kita. Aline jadi punya pikiran untuk bunuh diri."

"Kamu bicara apa sih, Selai!"

"Tidak ada yang tahu isi hati seseorang, kan?"

"Bodoh! Belum tentu semua itu benar. Jangan bergosip!"

Tiba-tiba di belakang mereka sudah berdiri Vany dan Ode. Yang barusan menegur mereka adalah Ode.

"Lihat, tuh, Kak Ode saja nggak percaya kalau Aline—"

James langsung menutup mulut Uli. Elin mengernyitkan keningnya.

"Apa sih?" Uli mendorong tubuh mungil James.

"Mulut kamu tuh," James membersihkan bajunya yang terkena daun-daun kering akibat jatuh didorong Uli. "Kamu memang nggak bisa jaga rahasia, ya?" Sinis James.

"Rahasia apa yang kalian maksud?" tanya Ode.

Akhirnya, Ode dan Vany yang tadi hanya kebetulan lewat pun jadi ikutan mengobrol.

"Nggak ada apa-apa, Kak. Bukan hal yang penting."

James jadi gugup. Ia langsung berdiri dan mengajak Elin juga Uli untuk segera masuk kelas. "Maaf ya, kakak-kakak. Kita harus segera masuk soalnya ada kelas lagi siang ini. Ayo, El, Ul, cepat!"

James menarik tangan Elin dan Uli dengan kuat, memaksa mereka untuk berdiri dan mengikutinya. Mereka berlari menuju gedung dua.

Vany menggeleng. "Bukankah hari ini James bertingkah aneh?"

"Entahlah, tapi biarkan saja, deh. Ayo kita juga pergi." Ucap Ode sambil melipat jaket bulu kremnya dan memasukkannya ke tas. Jujur saja, tadi Ode sedikit terkejut karena ia tidak sengaja mendengar pernyataan Elin.

Kalau benar Elin mendengar semua pembicaraan kami saat itu, bukankah itu berarti Elin juga mengetahui rahasiaku?

Ode termenung.

"De, kamu duluan saja, ya. Aku mau beli makanan ringan dulu di kantin. Lapar, nih." Vany menyeringai.

"Oh, oke. Kalau gitu aku langsung ke ruangan Mrs. Laura."

"Oke. Sampai ketemu di kelas, ya."

Vany melambaikan tangan, mereka lalu berpisah di dekat taman air mancur.

1
Ian
kenapa tuh
Ian
Bukan peres kan??
Ian
Bikin geregetan
Ian
/Panic/
Ian
Ikut kemana??!!
Ian
Pikirannya terlalu kolot /Smug/
Ian
Tertusuk
Ian
sending a virtual hug to Aline
Ian
Jadi kepikiran buat nulis ginian juga
Aimee
Terima kasih ya, Kak Eurydice sudah baca dan kasih dukungan di karya ini. Semoga nggak bosan buat terus mengikuti kisahnya Aline. Salam hangat dari Aline. (´∩。• ᵕ •。∩`) (*^3^)/~♡
Aimee
Sayangnya author nggak bisa menggambar, kalau nyomot gambar punya orang nanti kena pelanggaran hak cipta, Kak. Bikin gambar pakai AI aja ada hak ciptanya hiks
Eurydice
suka kesel sama orang yg suka nganggap urusan orang lain tuh enteng
Aimee: Hehe, betul. Aku juga begitu sebenarnya... (╥﹏╥)
total 1 replies
Eurydice
coba ditukar posisinya
Eurydice
gk peka dih
Eurydice
mental alind yg harus diperhatikan/Scream/
Eurydice
🥺😭
Eurydice
hebat bener kebalikannya aline
Eurydice
😭
Eurydice
akhirnya tau kenapa diawal pesimisbgt
Eurydice
dulu aku jga daftar di FD cuma gak keterima
Aimee: Wah, serius, Kak?
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!