Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Desa
Kami mulai berjalan menyusuri sungai. Gemericik sungai membuat suasana menjadi sedikit sendu. Ditambah desiran daun yang tertiup angin menambah kesan nan syahdu.
"Ngomong-ngomong disekitar bis kita tadi kok mayat-mayat zombienya udah gak ada ya pak?" Tanyaku.
"Sudah kubuang semuanya dijurang. Aku cuman gak pengen nyium bau-bau busuk mereka disekitarku." Jawab Pak Juari.
"Oh gitu ya pak? Pantesan." Jawabku sembari mengangguk.
"Hutan disini masih asri sekali. Seperti belum pernah disentuh oleh tangan-tangan manusia." Gumam Pak Juari.
"Bener. Sama udaranya pun seger banget." Sambung Vivi.
Memang benar, hutan ini masih sangat asri. Udaranya sangat sejuk. Suara-suara serangga yang bernyanyi semakin menambah keasrian hutan ini. Pohon-pohonnya pun tinggi menjulang. Daunnya yang rimbun semakin menambah atmosfer sejuk yang mendamaikan jiwa.
"Hiii suara burungnya creepy banget." Ucap Kak Willie.
"Itu adalah suara burung Kedasih atau yang biasa juga disebut burung Emprit Gantil. Suaranya yang khas mendayu-dayu membuat masyarakat Jawa mempercayai sebuah mitos kalo burung itu pembawa musibah atau malapetaka." Jawab Pak Juari.
"Manteb banget dah kita bisa denger mereka langsung. Biar tambah sial kita nantinya." Gerutu Kak Willie.
"Untung gw bukan orang Jawa." Sahut Mas Haris.
"Bacot lu." Ucap Kak Willie kesal.
"Nyenyenye."
"Btw kenapa tadi bapak gak nemuin burung sama sekali?" Tanya Vivi.
"Mungkin karena pepohonannya terlalu rimbun. Burung-burung itu jadi bisa bersembunyi dengan baik." Jawab Pak Juari.
"Ohh". Ucap Vivi.
Sang mentari mulai tergelincir kearah barat. Menandakan hari sudah mulai senja. Cahaya-cahayanya mencoba masuk keseluruh penjuru hutan. Semburat cahaya jingga yang indah seakan mengingatkan kami kepada rumah kami yang nyaman.
"Indah banget ya bang hutannya." Ucap Aini.
"Bener. Seharusnya jam segini kamu udah mandi." Jawabku sembari mengelus rambutnya yang pendek sebahu dan dihiasi bando imut berwarna merah muda itu.
"Iya hehe. Terus kita main bersama diteras." Sambung Aini lagi.
"Terus tiba-tiba aku datang dan menculik Andra untuk main dilapangan." Tiba-tiba Vivi menyahut percakapan kami.
"Ihh kok gitu. Tiba-tiba nyerobot aja Kak Vivi mah." Gerutu Aini. Kami pun tertawa kecil.
"Iya sih. Biasanya mah setiap sore kita selalu main layangan yakan? Gak bakalan pulang kalo udah mau adzan maghrib." Sambungku.
Perbincangan kecil ini sejenak bisa melupakan masalah besar yang sedang kami hadapi. Tak peduli sebesar apapun masalahnya, yang terpenting kalau kita tetap bersama kita bisa melewatinya.
"Eh liat. Ada desa!" Tiba-tiba Kak Willie berseru. Remang-remang dikejauhan nampak sebuah desa ditengah hutan yang lebat ini.
"Kita selamat coy!" Kak Willie langsung berlari kegirangan menuju desa itu. Diikuti oleh kami dibelakangnya.
"Gila. Larinya cepet banget." Seru Mas Haris.
Setelah beberapa saat, kami sampai di desa itu. Walaupun terpencil, desa ini cukup luas. Kami melihat ke sekeliling. Tengah-tengah desa ini terdapat sungai kecil sekitar 3-4 meter. Sungainya memanjang sampai keujung desa. Tanahnya yang menurun membuat rumah-rumah disini terlihat seperti perundak-undakan.
"Tak ada tanda-tanda kehidupan disini." Gumam Pak Bonadi.
"Pak! Buk! Permisi! Punten!" Teriak Kak Willie.
"Shutt jaga suaramu." Gertak Pak Juari.
"Merasa aneh hah?" Tanya Pak Bonadi. Pak Juari hanya diam saja dan masih sibuk mengamati sekeliling.
"Tempat ini pasti belum tersentuh modernisasi. Aku tak melihat jaringan kabel listrik pun disekitar sini." Pak Juari menjelaskan.
"Sebaiknya kita berpencar untuk mencari informasi, tapi jangan sampe masuk ke perumahan disini. Karena yang pertama untuk menjaga keselamatan kita, yang kedua kita masih belum tau apa yang ada di dalam rumah-rumah ini, dan yang ketiga itu sangat tidak sopan." Terang Pak Bonadi.
"Mungkin yang ketiga gak harus dikasih tau juga sih. Lagian kita juga udah paham kok." Ucap Vivi.
"Kita berpencar sampai bayang-bayang kita mencapi sekitar 2 meter, kemudian kita berkumpul di jembatan gantung itu." Sambung Pak Bonadi lagi sembari menunjuk ke sebuah jembatan gantung yang melintang diatas sungai kecil ini. Lokasinya memang agak tinggi dan tepat berada ditengah-tengah desa sehingga kita harus menaiki sebuah tangga yang berbentuk seperti perundak-undakan yang dibangun menggunakan bebatuan besar yang mungkin diambil dari dasar sungai. Serentak kami pun mengangguk paham. Kemudian kami pun berpencar.
Aku bersama Aini berada disebelah timur sungai karena aku tak mau adikku itu basah-basahan karena harus menyeberang sungai itu. Aku bersama Pak Juari dan juga Vivi, dan sisanya berada diseberang. Kami mulai mengecek desa ini dengan seksama. Kamipun tetap menuruti instruksi untuk tidak masuk atau membuka pintu dan jendela rumah-rumah tersebut.
"Naiknya hati-hati ya. Ini bukan tangga yang bahannya dari semen. Jadi agak licin dikit." Ucapku memberi arahan kepada Aini. Bebatuan yang dijadikan pijakan disini juga sedikit berlumut karena sudah dimakan oleh usia.
"Oke bang." Jawab Aini. Kaki-kakinya yang kecil membuatnya harus ekstra hati-hati dalam menaiki setiap tangga batu yang ukurannya cukup tinggi disetiap anak tangganya.
Aku tetap menggandeng tangannya. Aku tak mau kalo dia tiba-tiba terkena gigitan serangga atau bahkan mungkin ular berbisa. Karena selain aku gak mau dia sampe kenapa-napa, itu juga akan menjadi beban bagi yang lainnya. Tetapi kalo dilihat-lihat, dia merasa aman dan nyaman saat terus kugandeng tangannya. Aku juga merasa senang melihatnya.
"Bahkan barang-barang jadul bisa dengan mudah kita temukan disini. Seperti tampah, kendi, gelas jadul, rantang dan bahkan alat untuk memasak nasi yang berbahan anyaman bambu juga tertancap di depan rumah-rumah disini." Ucap Pak Juari.
"Bener. Seperti masuk ke dunia lama." Sambung Vivi.
"Dan juga kita bisa memanfaatkan benda-benda disini untuk bertahan hidup." Sambung Pak Juari lagi.
Kami memeriksa setiap sudut desa ini. Sampai pada akhirnya kami pun sampai ke jembatan gantung sebagai titik berkumpul kami.
"Rupanya mereka masih asyik melihat-lihat tempat disini ya?" Ucap Pak Juari sembari memandangi desa ini dari atas jembatan.
"Bener pak. Mereka ngeceknya lama banget padahal mah kalo cuman ngecek gak bakalan selama ini." Sahut Vivi.
Kami berdiri diatas jembatan sembari memandangi desa ini. Desa yang jadul dan hutan yang masih asri seakan ingin menutupi bahaya yang ada di dalamnya. Angin sepoi-sepoi berhembus manja membelai kulit kami. Jembatan tua bergoyang dan berderit bergesekan terkena hembusan angin.
"Hari sudah mulai malam. Sebaiknya kita cari rumah yang sesuai untuk kita beristirahat dan juga untuk melarikan diri apabila mereka datang lagi." Ucap Pak Juari.
"Mungkin kita bisa cari rumah yang paling tinggi pak. Jadi kaburnya mudah kalo mereka tiba-tiba muncul lagi." Kataku.
"Boleh juga." Jawab Pak Juari.
Setelah beberapa saat, rombongan Pak Bonadi pun sampai. Tetapi mereka memasang wajah pucat.
"Ada apa letnan? Sepertinya pasukanmu mengalami sebuah tekanan mental yang bersamaan?" Tanya Pak Juari.
"Sial. Seharusnya kita tidak berada disini." Jawab Pak Bonadi.