"Ayahmu masuk rumah sakit. Keadaannya genting kamu diminta untuk segera ke Jakarta"Eva membaca pesan masuk di ponselnya dengan kening berkerut.
Ting
Sebuah notifikasi tiket pesawat muncul di pesan selanjutnya, dalam waktu empat jam dari sekarang dia sudah harus di bandara.
Eva berusaha menghubungi nomor asing tersebut namun tidak diangkat. Dia juga berusaha menghubungi nomor ayahnya tapi nihil.
Setelah melakukan perjalanan hampir delapan jam, Eva mendapati ayahnya terbaring kaku diatas brankar rumah sakit ruang ICU dengan berbagai peralatan medis di sekujur tubuhnya.
"Ayah... Bangunlah, aku sudah datang menjenguk ayah..."Lirih Eva dengan bening kristal jatuh di pipinya, namun hanya keheningan yang menemani.
Seorang pria tinggi tegap dengan alis tebal dan wajah dingin yang ikut mengantar jenazah ayahnya berkata dengan suara dingin didepan pusara tepat disamping Eva.
"Kemasi barangmu kita pulang.."
"Kamu siapa?"Tanya Eva bingung
"Suamimu.."Jawabnya singkat lalu berbalik pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mitha Rhaycha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan Eva 2
Eva memasuki ruang makan dalam diam, tidurnya tidak terlalu nyenyak semalam, pria yang saat ini sudah berada di meja makan, menatapnya sekilas lalu meletakkan macbook di tangannya.
Yanti pelayan senior di rumah itu sudah meletakkan piring di depan Aksa dan Eva, menu pagi ini adalah nasi goreng yang menggugah nafsu makan Eva, dia yang tidak tidur dengan nyenyak semalam makan dengan lahap. Aksa menatap Eva sedikit heran, mengapa dia kelihatan begitu kelaparan?
"Apa kamu makan semalam?"Tanya Aksa tak mampu menahan rasa jijiknya melihat Eva yang makan dengan rakus "Kamu seperti tidak makan tiga hari tiga malam "Ketusnya.
Eva menatap pria itu dengan sinis "Nasi goreng aja perhitungan "Gumamnya kesal."Saya akan membayar biaya makan pagi ini" Eva tersinggung dengan ucapan Aksa.
Klang
Bunyi sendok yang diletakkan dengan keras memecah keheningan ruang makan, beberapa pelayan yang berada di dapur terkejut dengan suara keras itu.
"Tuan..."Yanti buru-buru masuk untuk melihat apa yang jatuh berniat untuk menggantinya jika sudah kotor. Tapi kembali mengurungkan niatnya setelah mendapat tatapan tajam dari Aksa. Dia mundur perlahan dan berbalik pergi begitu mendekati pintu.
Eva langsung meletakkan sendoknya begitu bunyi keras di piring Aksa terdengar. Moodnya untuk makan sudah hilang, Omanya selalu bilang untuk tidak memarahi orang saat makan, agar mereka bisa menikmati rejeki yang Tuhan beri dengan penuh rasa syukur.
Tapi mungkin Omanya Aksa tidak pernah mengajari tata Krama di meja makan.
Eva menunggu kalimat pedas apalagi yang mau Aksa ucapkan, tapi pria itu hanya menatapnya dengan begitu sinis seolah ingin menghabisinya saat ini juga. Dengan emosi yang tak bisa Aksa tutupi, dia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang makan.
Eva termangu, hatinya sakit tak terperi hubungan macam apa ini? Jika pria itu begitu membencinya lalu mengapa dia menahannya disini? Bukankah akan lebih baik jika Aksa melepaskannya? apakah sesulit itu untuk membiarkan dirinya pergi?
Mereka adalah dua orang asing yang bertemu karena ayahnya, seharusnya permintaan terakhir ayahnya tak harus menjadi belenggu mereka karena ayahnya telah tiada.
"Nyonya..."Yanti, menyapa khawatir.
Eva memalingkan wajahnya, menghalau rasa sakit dan air mata yang memaksa keluar. Dia tidak boleh terlihat lemah dihadapan mereka, baik dihadapan Aksa, maupun para pelayannya.
"Bersihkan saja, saya tidak apa-apa"Sela Eva dengan ekspresi datar.
Yanti membersihkan meja dengan pelan dan sesekali menatap Eva yang berusaha menahan tangis, matanya memerah dan bibirnya mengerucut tapi dia diam saja.
"Pak Irawan adalah pria yang ramah dan sangat baik, saking baiknya sehingga kami semua sangat merasa kehilangan"Gumam Yanti memecah kesunyian, dia menatap Eva dengan tatapan sendu "Almarhum selalu membanggakan putrinya di hadapan kami disetiap kesempatan, membuatku selalu penasaran seperti apa putri kebanggaan Pak Irawan"
"Pasti bibi kecewakan karena putrinya tidak sebaik yang diceritakan?"Sela Eva sarkas.
Yanti menggeleng seraya tersenyum "Dia memang memiliki putri yang hebat "Eva mendongak menatap wajah Yanti namun senyum tulus pelayan itu menyentuh hatinya. Air mata yang ditahannya perlahan luruh.
Semakin Eva menghapus jejak air matanya semakin banyak yang keluar, senyum ceria ayahnya seakan terpampang dihadapannya.
"Nyonya...."Yanti mendekat lalu memeluk Eva layaknya Ibu "Menangis saja jika hati nyonya sesak"Bisiknya juga ikut meneteskan air mata. Irawan begitu baik padanya dan keluarganya, ayah Eva begitu berjasa bagi dirinya dan keluarganya karena selalu membantu mengatasi kesulitannya.
Melihat bagaimana sejak kemarin Eva sudah perang syaraf dengan Aksa membuat hatinya sedih. Eva sedang dalam masa berkabung tapi dia tidak sempat bersedih karena harus melayani Tuan Aksa yang dingin tak berperasaan.
"Nyonya... "Wina yang umurnya tidak terpaut jauh dengan Eva juga masuk dengan berlinang air mata "Bolehkah kami memeluk Nyonya juga?"Pintanya seraya mendekat.
Eva tersenyum disela tangisnya dan membiarkan Wina ikut memeluk. Yuni dan Sera yang berusia tiga puluhan ikut mendekat sambil menyeka air matanya.
"Kami mengenal Pak Irawan dengan baik, beliau adalah orang yang sangat baik.. Kami juga kehilangan sosok beliau yang baik hati dan merindukan dirinya" Mereka menangis sedih.
"Apa-apaan kalian? Mengapa berkerumun disini dan menangis seolah ada yang meninggal?"Danar menginterupsi dari pintu.
"Pak Danar apakah tidak sedih dengan kepergian Pak Irawan?"Wina menyela disela tangisnya. Mata Danar sedikit memerah, dia dan Irawan sudah seperti kakak beradik, bagaimana dia tidak kehilangan? Dia juga sedih, tapi apakah dia harus menangis?
Dia sudah berdiri disana selama beberapa saat, jadi kesedihan mereka juga menular padanya.
"Jangan membuat Nyonya larut dengan kesedihannya, kalian seharusnya menghibur nyonya, bukan membuatnya sedih.."Tegur Danar dengan suara parau. Dia menatap Eva lalu melanjutkan kalimatnya.
"Tuan Aksa meminta nyonya ke ruang kerjanya"Ucapnya lembut.
Eva melepaskan diri dari pelukan semua orang, lalu menghapus sisa air matanya.
"Izinkan saya ke kamar dulu"Pamitnya dan dijawab anggukan oleh yang lain.
Pelayan di rumah itu terdiri dari delapan orang. Empat orang perempuan dan empat laki-laki. Danar adalah supir pribadi keluarga, Hendra tukang kebun, serta Ikal dan Ihan yang bertugas sebagai security.Jika pelayan perlu belanja bahan dapur, maka Hendra lah yang menjadi supirnya.
"Nyonya sudah cukup tertekan sejak kemarin, hibur sajalah dia jangan mengajak nya menangis seperti tadi "Tegur Danar sebelum melangkah pergi.
Eva membasuh wajahnya yang sembap karena air mata, dia menatap dirinya di cermin menarik nafas berat untuk menghalau rasa sedihnya. Dia beralih pada kontrak Pernikahan yang dibacanya berulang-ulang semalam. Hanya perlu setahun waktu yang akan dia habiskan bersama Aksa, mari berdamai dengan keadaan.
Jika berpisah tidak memungkinkan maka di jalani saja. Karena itu Eva menambahkan satu poin saja dalam perjanjian itu.