Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Suara Adzan
Tujuh bulan kemudian.
Perut Maya, semakin membuncit. Perkiraan dokter, dia akan melahirkan sekitar minggu depan. Usaha yang dibangunnya dari nol, berkembang dengan baik. Begitu, juga dengan kedainya di pesisir pantai. Katanya, tempat itu semakin ramai pengunjung, karena dikelola oleh seorang pengusaha kaya.
Selama tujuh bulan terakhir, ia menetap di apartemen milik Ansel. Pria itu, tidak membiarkannya pindah, dengan kondisinya yang hamil tua. Hubungan mereka, masih berstatus sama yaitu teman. Meski, sudah jelas perhatian Ansel, sudah melebihi dari seorang teman.
Selama bekerja, Maya tidak berinteraksi langsung dengan pengunjung rumah makannya. Ia hanya datang mengecek keadaan dan hal-hal yang perlu dibenahi. Memeriksa keuangan, dan bahan-bahan dapur serta barang-barang yang diperlukan.
Bangkit? Selama beberapa bulan ini, ia sudah mencoba lembaran baru. Meski, butuh waktu lama yang entah kapan, ia bisa melupakan segalanya. Hanya, satu permintaannya dalam hati, berharap sang buah hati tidak pernah menanyakan sang ayah. Meski, terdengar mustahil, tapi apa salahnya ia mengharapkan hal sekecil itu.
Sore ini, ia baru saja pulang dengan membawa bahan belanjaan. Dua minggu terakhir, Ansel terus menginap. Jadi, Maya paling tidak, harus menyiapkan makan malam, untuk si pemilik rumah.
Dengan bersusah payah, Maya mencoba menyiapkan bahan didapur. Perutnya yang sudah membesar, membuat gerakkannya terbatas. Ia hanya bisa perlahan dan sedikit demi sedikit, melakukan hal yang ia kerjakan.
Daging iga sudah di marinasi, potongan wortel, kentang, daun bawang dan seledri sudah siap. Maya hanya perlu merebus dagingnya sebentar, sebelum dimasak bersama potongan sayur.
Suara bel pintu terdengar. Maya bergumam, kenapa Ansel pulang secepat ini? Ia menatap jam dinding yang terpajang. Masih pukul empat sore, seharusnya Ansel pulang sekitar jam delapan malam.
Di depan pintu, wanita paruh baya dengan rambut di sanggul modern, menyipitkan mata. Ia memperhatikan Maya, dari kaki dan sorot matanya terhenti, diperut Maya yang membuncit.
Ia terperanjat dengan mata membulat dan kedua tangan menutup mulutnya.
"Ka-kau hamil?" Ibu Ansel memegang tenguk kepalanya yang berdenyut. Ia kehabisan kata-kata.
"Maaf, Tante. Anda siapa?" Maya bertanya dengan sopan, meski heran dengan sikap wanita ini.
"Dasar anak sialan! Pantas tidak pernah pulang, dia menyembunyikan mu disini!" Gurat kemarahan terpancar dari ibu Ansel, membuat Maya mematung. Bingung harus menjelaskan, sebab wanita didepannya sudah berteriak lebih dulu dan menerobos masuk.
"Maaf, Tante. Saya_"
"Berapa bulan?" potong Sherly tanpa basa basi.
"Sembilan, Tante. Tapi, _"
"Sembilan?" ulang Sherly, dengan bola mata yang sudah hampir keluar dari tempatnya. Shock dan kaget, ia menarik napas panjang dan berjalan ke dapur. Satu gelas air putih tandas.
"Tante, Anda salah_" Maya mencoba menjelaskan, namun kalimatnya sering dipotong dengan cepat. Yah, kecepatan mulut Sherly melebihi kecepatan rata-rata.
"Kau sudah mau melahirkan dan anak sialan itu, malah menyembunyikanmu. Kenapa tidak datang ke rumah dan minta dinikahi? Malah bersembunyi disini!"
"Tante, begini. Sebenarnya, _" Maya mendekat satu langkah.
"Hah, sudah. Aku tidak mau dengar. Sekarang ikut Mama kerumah. Kita bicarakan masalah pernikahan!" Sherly sudah menarik tangan Maya, untuk ikut.
"Hah! Tante, sebentar. Tunggu, tunggu!" Maya mencoba bertahan. "Anda salah paham. Saya _"
"Jangan membantah! Mama akan kasih pelajaran, anak kurang ajar itu!"
"Tapi, Tante. Saya bukan_"
Aaaaa.... Maya meringis kesakitan.
"Kamu kenapa?" Sherly panik. Ia memegang tubuh Maya, yang hampir jatuh terduduk.
"Sa-sakit, Tante," lirih Maya dengan memegang perutnya.
"Apa? Kenapa waktunya tidak tepat?" Sherly mengambil ponselnya dalam tas. "Sabar, sayang. Mama telpon supir. Kita ke rumah sakit. Dasar anak sialan, istri sudah mau melahirkan malah ditinggal." Masih sempat memaki putranya.
"Sakit, Tante." Maya meringis, bahkan air matanya sudah jatuh.
"Sabar, sayang. Tante tahu! Kamu bisa jalan? Pelan-pelan saja."
Maya mengangguk dan berusaha bangkit, dengan salah satu tangan memegang perutnya. Ibu Ansel disisi kanan, memapah tubuhnya.
"May," Suara Ansel terdengar depan pintu dan menerobos masuk. Matanya membola.
"Anak kurang ajar!" si ibu sudah menyambutnya dengan kata-kata pedas. Untung sekarang, posisinya sedang membantu Maya, jika tidak. Ia mungkin akan melayangkan pukulan.
"Maya, kenapa Ma?" Ansel segera mengangkat tubuh Maya.
"Masih bertanya kamu? Hah! Dia mau melahirkan dan kamu tinggalkan dia sendirian."
"Ma, tolong ambil tas hitam, disudut kamar," pinta Ansel, mengabaikan omelan sang ibu.
"Oke, oke. Kamu duluan, Mama menyusul."
Sepanjang jalan, Maya meringis kesakitan dalam pelukan Ansel. Sherly yang duduk di kursi depan, posisinya malah ke arah kuri belakang.
"Pijat pinggangnya, Ansel," perintah Sherly. Sembari mengelus rambut Maya. "Tahan, sayang. Sebentar lagi. Aduh, cucu Mama. Sabarlah, kasihan ibumu!"
Ansel dan Maya, seolah tidak mendengar kalimat Sherly.
"Sakit, El." Maya mengeratkan pelukannya.
"Sabar, May." Entah mengapa, Ansel merasa terpukul dan tersiksa. Ia bahkan sudah menangis, tanpa ia sadari.
Maya langsung masuk dalam kamar bersalin. Kesehatan dan posisi bayi, harus diperiksa lebih dulu.
"Bagaimana dengan menantuku dokter?"
"Dia harus dioperasi. Salah satu bayinya, terlilit tali pusat."
"Lakukan!" perintah Ansel.
"Baik, dokter. Ini dokumennya, tolong ditandatangani."
Ansel dan sang ibu, duduk dengan perasaan cemas, didepan ruang operasi. Mereka membisu, bahkan sang ibu sama sekali tidak mempertanyakan, tentang gadis yang tinggal bersama dengan putranya. Kekhawatiran, akan keselamatan ibu dan bayi, mengalahkan rasa penasaran Sherly, tentang kehidupan Ansel dan gadis itu.
"Bayinya, sudah selamat. Silahkan, sang ayah untuk mengadzani!"
Perawat mempersilahkan Ansel masuk. Dan pria yang sudah dari awal menyebut dirinya ayah untuk anak-anak Maya. Tanpa ragu, melangkahkan kaki masuk.
Ibu Ansel, yang sudah terlanjur salah paham, juga ikut menemani sang putra. Bahagia bercampur haru, saat tangis dua bayi mewarnai ruangan.
Ansel tak langsung menemui dua bayi, yang masih menangis.
"Terima kasih, May. Terima kasih, karena sudah mau bertahan." Satu kecupan mendarat di kening Maya.
Haru, bahagia, sekaligus menyedihkan. Jika saja, kalimat itu keluar dari bibir Zamar. Maya akan menghamburkan pelukan. Namun, ia hanya mampu menganggukan kepala, dengan air mata yang menggenang.
Ansel mendekati dua bayi mungil. Menatap dengan linangan air mata.
"Ini ayah." Kata yang singkat dan padat dengan makna tegas. Mulai saat ini, hingga nanti, Ansel akan menjadi ayah mereka.
Suara adzan pun berkumandang, untuk dua bayi yang berbeda jenis kelamin.
Maya merasa sesak. Ia menangis dalam pelukan ibu Ansel. Suara Adzan yang begitu merdu, seakan mengoyak hatinya yang rapuh.
Dua bayi yang baru terlahir ke dunia, seharusnya mendengarkan suara adzan pertama kali, oleh ayahnya. Namun, Maya hanya bisa menahan lara dalam kalbu.
Sembilan bulan, ia berharap akan ada sedikit keajaiban. Namun, semua tinggal mimpi yang tertinggal dibelakang.
Sebuah villa, berdiri kokoh di pesisir pantai. Bangunan yang dibangun atas dasar cinta pada sang istri. Bangunan yang menjadi tanda, bahwa semua sudah selesai.
🍋Bersambung.
Penggambaran suasana slain tokoh2nya detil & aku suka bahasanya.
Tapi sayang kayaknya kurang promo deh dr NT.
Tetaplah semangat berkarya thor, yakinlah rezeki ga kemana..
Tengkyu n lap yu thor...
biar jd penyesalan