Aku sangka setelah kepulanganku dari tugas mengajar di Turki yang hampir 3 tahun lamanya akan berbuah manis, berhayal mendapat sambutan dari putraku yang kini sudah berusia 5 tahun. Namanya, Narendra Khalid Basalamah.
Namun apa yang terjadi, suamiku dengan teganya menciptakan surga kedua untuk wanita lain. Ya, Bagas Pangarep Basalamah orangnya. Dia pria yang sudah menikahiku 8 tahun lalu, mengucapkan janji sakral dihadapan ayahku, dan juga para saksi.
Masih seperti mimpi, yang kurasakan saat ini. Orang-orang disekitarku begitu tega menutupi semuanya dariku, disaat aku dengan bodohnya masih menganggap hubunganku baik-baik saja.
Bahkan, aku selalu meluangkan waktu sesibuk mungkin untuk bercengkrama dengan putraku. Aku tidak pernah melupakan tanggung jawabku sebagai sosok ibu ataupun istri untuk mereka. Namun yang kudapat hanyalah penghianatan.
Entah kuat atau tidak jika satu atap terbagi dua surga.
Perkenalkan namaku Aisyah Kartika, dan inilah kisahku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Aisyah masih tetap sama, memandangi saja ponselnya, tanpa ada niatan untuk mengangkatnya.
Nama 'Mas Bagas suamiku' masih terpampang jelas dalam layar ponsel Aisyah saat ini. Dia mendesah pelan, merutuki kesalahanya yang belum juga mengganti nama nomor tersebut.
Drett....
'Ara...mas mohon, angkatlah!! Ada yang ingin aku bicarakan!!'
'Tolong, aku hanya ingin mendengar suara kalian berdua!! Aku tadi sudah bermaksud ingin mengajak kalian makan siang, tapi ada sedikit problem. Ayolah, angkat Ara!! Aku rindu dengan Narendra!'
Aisyah menekuk wajah saat membaca pesan dari suaminya. Perasaan kasihan pun sudah hilang, jika hanya untuk memberi maaf pada ayah dari sang putra. Harapanya sudah dipatahkan oleh Bagas, bahkan bukan hanya patah, melainkan hancur lebur tak tersisa.
Drettt...drettt....
"Hallo Ara. Alhamdulillah, akhirnya kamu mau mengangkat telfonku!! Aku hanya mau bilang apa........" ucapan Bagas terpaksa menggantung diudara, setelah sang istri berhasil menyela ucapanya lebih dulu.
Aisyah berdecih, dan langsung melontarkan kata, "Maaf, aku tidak punya waktu banyak mas!! Jika kamu ingin berbicara dengan Narendra, biar aku sampaikan!! Aku tidak suka basa-basi!" tungkasnya dengan suara dingin.
Bagas yang berada disebrang, tampak duduk menunduk dengan lesu. Detik kemudian dia segera bangkit, melangkahkan kakinya menuju balkon kamar, menikmati hangatnya sapuan angin sore.
"Ara, maafkan aku!! Tolong ucapkan, aku harus berbuat apa, agar kamu kembali lagi denganku!! Aku sangat sepi sekali tanpa kalian," dalih Bagas yang merasa menyesal atas keputusanya waktu lalu.
Aisyah menghela nafas dalam. Rasanya benar-benar muak harus mendengar drama yang dibuat suaminya kembali. Meurutnya, Bagas hanya pandai menyiram, tanpa merawatnya. Apa yang dilontarkan, seolah hanya angin berlalu. Dia panda berkata, tanpa bertindak.
Tut....
Aisyah memutus panggilan sepihak. Tenaganya benar-benar terkuras, jika masih terus meladeni ucapan toxic dari suaminya.
Setelah mengganti nama yang tertera, Aisyah meletakan kembali ponselnya. Oksigen yang semula terkuras, kini perlahan mulai terisi kembali. Emosinya sudah mereda beberapa detik yang lalu. Senyum diwajahnya kembali terlukis, setelah dia menangkap tatapan sang putra, yang kini tengah tersenyum kepadanya.
Srek...srek...srek...
Suara rumput yang terinjak, sangat jelas terasa nyaring dalam pendengaran wanita cantik berjilbab lebar itu. Suaranya semakin mendekat, hingga dia memutuskan memalingkan wajah kesamping.
Rupanya sang kakak saat ini yang mendekat. Mahardika tersenyum hangat setelah keberadaanya, di notice oleh sang adik.
"Apa mas boleh duduk disitu??" tanya Mahar.
Aisyah mengangguk, kemudian menggeser tubuhnya kesamping agar sang kakak dapat duduk.
"Apa kamu sudah yakin, dengan keputusanmu?? Mas harap, tidak akan ada penyesalan, setelah kamu berpisah dengan suamimu!!" Mahar menoleh sekilas kearah sang adik, lalu menatap kedepan kembali.
Aisyah tersenyum kecut. Dia menunduk sekilas, lalu menatap lurus kedepan. Entah mengapa dadanya terasa sesak, jika harus mengingat rumah tangganya yang sudah hancur, akibat penghianatan.
"Aku tidak hanya yakin mas, tapi sudah teramat sakit, jika harus memepertahankan rumah tangga denganya!! Ibarat aku harus berjalan dibara api, bukanya menyiram dengan air, dia malah terus membuat api-api itu berkobar tambah hebat. Aku yang berjalan, dan aku sendiri yang harus memadamkanya!!" jawab Aisyah yang seketika matanya memanas.
Mahar mengangkat tangan, untuk mengusap pucuk kepala sang adik dengan lembut. Walaupun dia saat ini hanya terdiam dengan senyum sekilas, demi Tuhan jika hati pria itu lebih sakit, dari yang orang lain lihat. Jikapun dinegaranya tidak diterapkan hukuman, niscaya Bagas sudah remuk dan terkapar dirumah sakit akibat pembalasannya.
Sekuat-kuatnya Aisyah, jika kepalanya sudah diusap dengan lembut, maka tidak hanya hati yang berkata, melainkan air matanya juga ikut tumpah.
"Jangan terlalu diambil beban. Lakukan saja semua kegiatanmu dengan baik!! Mas akan mengurus semuanya. Yakinlah, semua akan baik-baik saja. Jangan lupa libatkan ALLAH dalam segala urusanmu!" yakin Mahar, agar sang adik fokus pada kehidupanya.
Suara lembut sang kakak, bagaikan angin segar yang baru saja menyibak pintu hatinya, yang beberapa waktu terasa kaku bak hilang kuncinya. Aisyah tersenyum lega, karena dia bersyukur masih memiliki pria penguat, selain ayahnya. Dua sosok laki-laki itu begitu bermakna dalam hidupnya sejak dulu, walaupun Aisyah tahu tidak ada ikatan darah antara mereka.
Pukul 7 malam.
Aisyah bangkit dari duduknya, setelah melakukan makan malam dengan keluarga besarnya.
Sepertinya Narendra sudah tidak betah dengan kantuknya, karena sejak makan malam tadi, dia tampak menguap terus. Mungkin, bocah kecil itu kelelahan beraktivitas seharian.
"Tidur nyenyak sayangnya, bunda!!" satu kecupan manis Aisyah berikan pada kening sang putra, sebelum dia memutuskan beranjak keluar.
Kriet.....
Pintu tertutup dengan pelan, agar tidak menimbulkan suara, yang membuat tidur putranya terganggu.
Aisyah beranjak menuju belakang, yang dimana terdapat ruangan khusus untuk asisten rumah tangganya berkumpul, setelah seharian bekerja.
Inem, Nana, dan mbok Siti kini tengah menikmati siaran televisi, hingga kedatangan nona mudanya tak tersadari oleh mereka.
"Ehgemm!!" Aisyah berdehem, dan sontak membuat ketiganya menoleh kebelakang, dengan tersenyum kuda.
"Eh...ada non Ara!" seru mbok Siti.
"Wah...asik nih nonton tv, hehe...!!" kekeh Aisyah pelan.
"Ada yang bisa saya bantu, non?!" ucap Inem, setelah bangkit dari duduknya.
"Mbak Inem bisa ikut saya sebentar ke balkon atas?? Karena ada yang ingin saya bicarakan!" pintanya pada sang pengasuh.
Inem mengangguk, lalu segera mengikuti langkah nonanya menuju lantai dua, untuk berada dibalkon.
"Apa mbak Inem tahu, siapa pria yang tadi pagi memberikan Narendra mainan??!" Aisyah menatap sang pengasuh, berharap dari jawabannya nanti terselip identitas pria misterius tadi pagi.
Inem mengernyit, ingatanya flashback kejadian sejak pagi tadi.
Teng...teng...
Teng...teng...
Setelah lonceng berbunyi, para anak-anak langsung saja berhambur keluar, untuk beristirahat dengan menikmati makan siang atau permainan ditaman kanak-kanak tersebut.
Setelah selesai makan, Narendra langsung saja bermain, dengan sang pengasuh masih berada disampingnya namun berjarak.
Tap...tap...tap.
Inem menoleh kesamping, setelah deru langkah kaki seseorang tampak berhenti tepat disamping posisinya, dengan sedikit berjarak.
"Permisi, apa anda pengasuh Narendra?" seru pria itu.
Inem memicing, sorot matanya menyirat kekhawatiran, karena pria itu menanyakan anak majikannya.
"Benar, siapa anda??" jawab Inem antisipasi.
Pria itu menarik sudut bibirnya, "Saya pamanya Narendra!! Anda tidak perlu khawatir, karena saya bukan orang jahat!" jawabnya, lalu menatap kearah Narendra yang sibuk bermain perosotan, "Saya hanya ingin memberikan bingkisan saja, terhadapnya!"
Pria itu lalu mendekat kearah putra Aisyah, hingga keberadaanya disadari oleh sang empu.
"Haii Narendra!!" sapa pria itu.
"Hai om ganteng!! Om tahu siapa namaku?" balas Rendra, setelah turun dari mainanya.
Pria berjas maroon itu tersenyum, "Sangat mudah sekali!! Kamu anak yang manis, seperti bundamu!" ucapnya, setelah mensejajarkan tubuhnya, sambil mengusap lembut lengan Narendra.
"Terimakasih om ganteng!!" jawab Narendra gemas.
"Oh ya, ini bingkisan buat Narendra!! Terimakasih sudah menjadi anak laki-laki yang kuat, selalu menjaga bunda Ara!!" lanjut pria itu.
Mata bocah gembul itu sontak berbinar, mendapatkan hadiah satu paperbag tanggung yang berisikan mainan semua.
"Wah, makasih om ganteng!! Horeee...!" girang Narendra, setelah mendapat hoki dari pria didepanya.
"Narendra harus belajar dengan pintar, agar kelak menjadi laki-laki hebat!!" seru pria itu sembari mengusap sayang surai hitam Narendra, "Kalau begitu, om pamit pulang dulu ya!! Lain waktu, om akan kesini lagi!" lanjutnya sambil bangkit dari posisinya.
"Oke om!! Hati-hati ya om! Daaa...." Narendra melambaikan tangan, kearah pria tersebut.
"Saya permisi!! Terimakasih atas waktunya!" pamit pria itu kembali, setelah berada dihadapan sang pengasuh.
Inem menceritakan secara detail, namun tetap tidak tahu siapa pria tampan yang menemui Narendra waktu pagi.
"Nah begitu ceritanya, non!! Dia tidak menyebutkan namanya, tapi kalau ciri-cirinya saya tahu," lanjut Inem. Dia berpikir keras mencoba mengingat-ingat bentuk wajah serta tubuh pria yang menemui putra majikannya.
"Apa pria itu memiliki lesung pipi, disalah satu pipinya mbak?!" kata Aisyah mencoba membantu ingatan sang pengasuh.
Inem sontak berbinar, "Nah, iya non betul. Saya lihat dari arah samping, memang ada lesung dipipi kanannya!!"
"Ya sudah mbak, kamu boleh kembali!! Terimakasih waktunya," pinta Aisyah dengab tersenyum.
"Sama-sama non. Kalau begitu, saya permisi!"
Selepas kepergian Inem, Aisyah masih terdiam diatas balkon dengan beberapa pertanyaan memenuhi ruang kepalanya.
Pengirim pesan Bambi Kecil, lesung pipi, seolah ingatan Aisyah langsung mengarah kesahabatnya yang telah pergi entah kemana, hingga beberapa tahun lamanya.
Aisyah menatap langit, mengharap ada keajaiban, atas apa yang sejak tadi dia pikirkan. Dinginya angin malam, seolah mampu membuat hatinya menghangat, jika mengingat bagaimana perhatiannya sang sahabat dulu, semasa mereka masih bersama-sama.
Alunan suara gitar yang Dava petik beberapa tahun lalu, kini berputar kembali dalam memory ingatannya saat ini. Aisyah memejamkan mata, menikmati setiap petikan gitar, seolah dia sedang bernostalgia kemasa merah abu-abu dulu.
Hangatnya angin malam, seolah mampu membawa suara sang sahabat, yang dulu pernah dia dengar saat membawakan lagu terkhusus untuknya.
'Bagaimana kabarmu, Dava?! Apa kamu benar telah kembali?? Atau kamu sudah melupakan aku!!' jerit Batin Aisyah yang tiba-tiba merindukan sosok seceria Dava.
Sementara ditempat lain, tepatnya di rumah mewah tepi balkon kamar, seorang pria tengah menikmati nyayian gitarnya, yang kini dia persembahkan untuk sang pujaan tercinta.
~Aku selalu bermimpi tentang, indah hari tua bersamamu~
~Tetap cantik rambut indahmu, meskipun nanti tak hitam lagi~
Djrenggg...
Dava menghentikan permainan gitar serta lagunya. Senyum hangat terlukis dibibirnya, setiap dia mengingat persembahan lagunya untuk sang sahabat dulu.
Dava menatap lukisan wanita cantik didepanya, karena setiap dia merindukan sosok Aisyah, dia selalu menyanyikan lagu tersebut dihadapan sketsa wajah sang sahabat.
"Bagas berhasil mengubah sikapmu menjadi wanita muslimah, namun tidak berhasil memberikan surga terindah untukmu, Ara!!" lirih Dava yang masih setia memeluk gitar tuanya.
Tanganya menggapai lukisan wajah Aisyah, mengusapnya dengan lembut, serta berkata, "Semoga suatu saat, entah kapannya, aku berharap doa-doa yang selalu aku langitkan, akan segera mendapat jawaban indah, diakhir penantianku!!"
Dia meletakan gitarnya diatas bangku, kemudian bangkit dari duduknya, untuk bersantai ditepi balkon, menikmati sapuan angin malam yang dengan bebas menerpa wajah tampanya.
"Sekarang, aku sudah memenuhi apa yang aku janjikan dulu kepadamu!! Andai waktu itu, aku lebih dulu mengungkapkan perasaanku, pasti sekarang rumah tangga kita dapat hidup bahagia!! Dan dapat kupastikan, jika diwajahmu selalu terlukis senyum bahagia, bukan penderitaan!!" lirih Dava penuh harap.
Tidak dapat dipungkiri, betapa setianya putra kedua tuan Basalamah itu. Saat dulu hingga kini, hatinya masih terpaut untuk satu nama, yang dia simpan rapat walaupun termakan waktu begitu lamanya.
** **
Desahan demi desahan saling bersahutan didalam kamar mewah, yang dimana kedua insan itu tengah memadu kasih, untuk menyalurkan hasrat keduanya masing-masing.
Drett...drett...
Bisma yang tengah memaju mundurkan badanya diatas tubuh Melati, sontak tatapanya memicing kearah ponsel kekasihnya, karena sejak tadi terus berdering.
Dia yang merasa geram, langsung saja menggapai ponsel tersebut, dan langsung menonaktifkan, agar tidak mengganggu aktifitas malam mereka.
Melati yang sudah lemas, hanya bisa menikmati hujaman demi hujaman yang Bisma berikan pada tubuhnya.
"Ahhh....!!" lenguhan panjang keluar dari mulut mereka, menandakan berakhirnya pencapaian hasrat diantar mereka berdua.
Pukul 10 malam.
Bagas sudah merasa geram, sejak tadi dia pulang hingga kini, sang istri kedua belum juga menampakan batang hidungnya.
"Malati benar-benar suda lepas kontrol!! Kemana dia pergi, hingga larut malam begini belum juga pulang?!" muak Bagas, yang merasa istrinya sudah kelewat batas.
Ceklek....
Tatapanya menajam kearah pintu, yang baru saja dimasuki oleh sang istri.
"Darimana saja kamu, Melati!!" suara Bagas menggelegar, dengan satu tanganya menggapai guci yang berada diatas nakas dekatnya.
Pyarrrr....
Bagas yang sudah naik pitam, langsung saja melempar guci ukuran sedang, tepat dihadapan posisi sang istri.