Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Penjagakuil
Altar di tengah kuil memancarkan cahaya yang semakin terang, menutupi sosok yang baru saja muncul. Kael mengangkat pedangnya, tubuhnya tegang bersiap menghadapi apapun yang akan keluar dari cahaya itu. Gadis itu berdiri di belakangnya, nafasnya masih tersengal setelah menggunakan kekuatan segel.
Dari dalam cahaya, suara berat menggema. “Pembawa segel dan pelindungnya... akhirnya kalian tiba. Tapi, kalian belum layak melangkah lebih jauh.”
Ketika cahaya itu mereda, muncul sosok besar dengan tubuh berlapis zirah perak yang bersinar. Matanya menyala seperti bintang, dan di tangannya tergenggam tombak yang terlihat seperti terbuat dari kristal murni. Ia memandang mereka dengan sorot tajam, seperti menilai setiap gerakan mereka.
“Aku adalah Penjaga Kuil Lumina,” katanya lantang. “Tidak sembarang orang boleh melewati altar ini. Jika kalian ingin melangkah lebih jauh, buktikan diri kalian layak.”
Kael melangkah maju, meskipun tubuhnya terasa kecil di hadapan sosok raksasa itu. “Kami datang ke sini untuk mencari jawaban. Gadis ini membawa segel, dan dia perlu mengetahui kebenarannya.”
Penjaga itu menunduk sedikit, memandangi gadis itu. “Segel itu memang memilihmu, tetapi kekuatanmu belum cukup kuat untuk melindunginya. Kuil ini hanya membuka rahasianya pada mereka yang sanggup bertahan dari ujiannya. Kau harus membuktikan bahwa kau adalah pewaris segel yang sejati.”
Gadis itu menelan ludah, gugup. “Bagaimana... aku bisa membuktikan itu?”
Penjaga mengangkat tombaknya, menusuk tanah di hadapannya. Sebuah lingkaran cahaya muncul di sekeliling altar, meluas hingga mencakup Kael dan gadis itu.
“Ujian pertama adalah ujian keberanian. Kau akan menghadapi bayangan dari ketakutanmu sendiri. Jika kau gagal, kau akan terjebak di sini selamanya.”
Sebelum mereka bisa merespons, cahaya dari lingkaran itu berubah menjadi kegelapan pekat, menelan mereka berdua. Kael berusaha meraih gadis itu, tetapi ia tidak bisa melihat apapun, hanya suara langkahnya sendiri yang bergema.
###
Kael menemukan dirinya berdiri di tengah medan perang yang hancur. Di sekelilingnya, mayat para prajurit berserakan, darah mengalir di tanah. Namun yang membuatnya terdiam adalah sosok di tengah medan perang—Elarya, berdiri dengan luka parah di dadanya, memandangnya dengan tatapan penuh rasa sakit.
“Kael...” suara Elarya terdengar lemah. “Mengapa kau tidak melindungiku?”
Kael terhuyung ke belakang, hatinya terasa seperti dihancurkan. “Tidak... ini tidak nyata. Aku mencoba menyelamatkanmu. Aku...”
Tapi Elarya melangkah maju, tangannya terulur seolah-olah menuntut jawaban. “Kau gagal, Kael. Kau meninggalkan aku saat aku paling membutuhkanmu.”
“Tidak! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!” Kael berteriak, menggenggam pedangnya erat.
Elarya berubah, tubuhnya diliputi kegelapan, matanya berubah merah seperti makhluk yang mereka lawan sebelumnya. “Lalu, mengapa aku mati?”
###
Sementara itu, gadis itu berdiri di tengah hutan yang ia kenali sebagai tempat ia terbangun pertama kali setelah mendapatkan segel. Tapi kali ini, hutan itu dipenuhi suara-suara bisikan yang menakutkan.
“Kau bukan siapa-siapa,” bisik suara itu. “Segel itu memilihmu hanya karena tidak ada pilihan lain. Kau lemah, tak berguna.”
Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mengabaikan suara itu. “Tidak... aku bukan lemah...”
Bayangan besar muncul dari antara pepohonan, menyerupai makhluk kegelapan yang mereka lawan tadi malam. Namun kali ini, makhluk itu berbicara dengan suara yang mirip dengan Kael.
“Dia hanya melindungimu karena tanggung jawab. Dia tidak benar-benar percaya padamu. Kau hanyalah beban baginya.”
“Tidak! Kael mempercayai aku!” Gadis itu berteriak, meskipun suaranya gemetar.
“Tunjukkan pada kami,” suara itu menggema. “Tunjukkan bahwa kau pantas membawa segel itu.”
###
Di tengah kegelapan, suara Penjaga kembali menggema, mengingatkan mereka. “Ketakutan terbesar kalian adalah ujian pertama. Hanya dengan menghadapi dan mengalahkannya, kalian bisa melangkah lebih jauh.”
Kael, yang masih berhadapan dengan bayangan Elarya, menggenggam pedangnya erat. “Aku mungkin gagal menyelamatkanmu... tapi aku tidak akan gagal lagi.”
Ia mengayunkan pedangnya, menghancurkan bayangan Elarya yang berubah menjadi debu. “Aku akan melindungi segel ini, dan aku tidak akan membiarkan rasa bersalah menghentikanku!”
Di sisi lain, gadis itu berdiri tegak, cahaya dari tubuhnya mulai bersinar lagi. “Kael percaya padaku. Aku mungkin tidak tahu siapa aku sebenarnya, tapi aku akan menemukan jawabannya sendiri!”
Ia mengangkat tangannya, dan semburan cahaya melesat ke arah bayangan itu, menghancurkannya dalam sekejap.
###
Kegelapan menghilang, dan mereka kembali berdiri di depan Penjaga. Kael dan gadis itu terengah-engah, tetapi mata mereka penuh dengan tekad.
Penjaga itu mengangguk dengan puas. “Kalian telah melewati ujian keberanian. Tapi perjalanan kalian belum selesai. Ujian berikutnya adalah ujian pengorbanan. Siapkan hati kalian, karena ini akan jauh lebih sulit.”
Cahaya altar mulai menyala lagi, menandai dimulainya ujian berikutnya.
Penjaga Kuil mengangkat tombaknya tinggi-tinggi, dan cahaya dari altar semakin menyilaukan. Lingkaran cahaya baru muncul di tanah, kali ini dengan simbol-simbol kuno yang terus bergerak. Suara dari altar berubah menjadi nyanyian, mengisi udara dengan suasana yang berat dan penuh misteri.
"Ujian pengorbanan dimulai sekarang," kata Penjaga dengan nada dalam.
Kael mengencangkan pegangan pada pedangnya, matanya melirik gadis itu. Ia khawatir apa yang akan terjadi, tetapi ia tidak ingin menunjukkan keraguan. "Apa yang harus kami lakukan?" tanyanya, mencoba tetap tenang.
Penjaga menunjuk ke lingkaran cahaya yang baru terbentuk. "Salah satu dari kalian harus menyerahkan apa yang paling berharga dalam hidupnya untuk membuka jalan ini. Pilihan ada di tangan kalian."
Gadis itu menggigit bibirnya, merasa beban tanggung jawab bertambah berat. "Apa yang paling berharga dalam hidupku?" bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Kael melihatnya dengan pandangan tajam. "Kau tidak perlu melakukan ini. Aku yang akan mengambil ujian ini."
Namun Penjaga menggeleng. "Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang siap melepaskan sesuatu yang berharga untuk tujuan yang lebih besar."
Tiba-tiba, lingkaran itu mulai memancarkan cahaya, dan di dalamnya, muncul bayangan-bayangan dari masa lalu mereka. Di depan Kael, tampak sosok ayahnya—seorang prajurit besar yang telah mengorbankan hidupnya untuk melindungi keluarga dan desa mereka.
"Ayah..." Kael mendekat dengan langkah berat.
Di sisi lain, gadis itu melihat sesuatu yang lebih abstrak. Ia melihat kilasan-kilasan masa kecilnya, ketika ia tertawa di pelukan seseorang. Namun, wajah sosok itu samar—tidak jelas siapa dia.
"Apakah itu... ibuku?" gumamnya, mencoba menggapai bayangan itu.
Penjaga berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih tegas. "Kalian harus memilih: ingatan masa lalu yang membuat kalian tetap kuat, atau masa depan yang belum pasti. Apa yang kalian pilih untuk dikorbankan?"
Kael memejamkan mata, mengingat kembali janji-janji yang ia buat pada dirinya sendiri. "Aku sudah kehilangan begitu banyak. Tapi jika aku terus terjebak dalam masa lalu, aku tidak akan bisa melindungi apa yang ada di depan."
Ia menatap Penjaga. "Aku siap melepaskan kenangan tentang ayahku, jika itu yang diperlukan."
Penjaga mengangguk, lalu mengalihkan tatapan kepada gadis itu. "Dan kau?"
Gadis itu menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Aku bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya... tapi kenangan kecil ini adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa punya tempat di dunia ini." Ia menggigit bibirnya, menahan rasa sakit di hatinya. "Tapi... jika aku harus mengorbankannya untuk menemukan kebenaran dan melindungi dunia ini... aku akan melakukannya."
Cahaya dari lingkaran menyala terang, menyelimuti mereka berdua. Mereka merasakan sakit yang dalam, seperti bagian dari hati mereka diambil dan hilang untuk selamanya.
###
Ketika cahaya mereda, mereka berdiri di tengah altar, napas mereka terengah-engah. Gadis itu merasakan sesuatu yang kosong di dalam dirinya, sementara Kael memejamkan mata, menahan rasa kehilangan yang tiba-tiba menghantamnya.
Penjaga mendekat, tombaknya bersinar dengan cahaya lembut. "Kalian telah lulus ujian pengorbanan. Sekarang, jalan menuju kebenaran terbuka untuk kalian."
Ia memukul tanah dengan tombaknya, dan altar itu terbelah menjadi dua, memperlihatkan tangga spiral yang menuju ke bawah. Energi kuno mengalir keluar dari celah itu, membuat udara di sekitarnya terasa semakin berat.
Kael menatap gadis itu, memberikan anggukan kecil. "Apapun yang ada di bawah sana, kita akan menghadapinya bersama."
Gadis itu mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa hancur. "Aku percaya padamu, Kael."
Dengan langkah hati-hati, mereka berdua mulai menuruni tangga, menuju ke tempat di mana kebenaran—dan mungkin ancaman yang lebih besar—menanti.
Tangga spiral yang mereka lalui tampaknya tak berujung, hanya diterangi oleh pancaran samar dari dinding-dinding yang terukir simbol-simbol kuno. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menguji ketahanan mereka.
"Kau merasakan ini juga?" tanya gadis itu, tangannya menggenggam erat lengan Kael.
Kael mengangguk, pandangannya tetap fokus ke depan. "Sepertinya ini bagian dari ujian. Tetaplah bersamaku, kita akan melewatinya."
Namun, baru beberapa langkah lagi, dinding di sekitar mereka tiba-tiba berubah menjadi cermin, memantulkan bayangan mereka dengan cara yang aneh. Kael berhenti, memperhatikan refleksinya yang tampak bergerak lebih lambat daripada dirinya sendiri.
"Tunggu... ada yang tidak beres," katanya pelan.
Gadis itu menoleh ke cermin di sebelahnya, dan tiba-tiba bayangannya tersenyum—senyum dingin yang tidak mencerminkan perasaannya. Ia terhuyung mundur, tubuhnya gemetar.
"Kael... itu bukan aku..."
Refleksi di cermin mulai keluar dari permukaannya, seperti makhluk yang lahir dari air. Wajahnya identik dengan gadis itu, tetapi auranya gelap, dengan mata merah menyala.
"Siapa kau?" gadis itu berteriak, tubuhnya memancarkan cahaya kecil, insting untuk melindungi dirinya mulai aktif.
Refleksi itu tersenyum lebih lebar. "Aku adalah kau yang sebenarnya, bagian dari dirimu yang kau coba lupakan. Kau pikir bisa membawa segel ini tanpa menerima siapa dirimu?"
Kael langsung menarik pedangnya, mengarahkan ujungnya ke makhluk itu. "Apa pun kau, mundur sekarang juga!"
Namun, sebelum ia bisa menyerang, cermin di sisi Kael juga berubah, dan dari sana muncul refleksi dirinya, tetapi dengan tatapan penuh kebencian dan kelelahan. Refleksi itu memandang Kael dengan sorot menghina.
"Lucu sekali. Kau berbicara tentang melindungi, tetapi apa yang sebenarnya sudah kau lakukan? Kau hanya memikul pedang ini karena rasa bersalah, bukan keberanian."
Kael menggertakkan giginya, menahan amarah. "Aku tahu apa yang kulakukan. Aku tidak butuh kau untuk menghakimiku!"
Refleksi itu tertawa. "Kau bisa menipu orang lain, tetapi tidak dirimu sendiri. Setiap kali kau mengangkat pedang itu, kau bertanya-tanya apakah kau cukup baik. Dan jawabannya selalu sama: tidak."
###
Dua makhluk bayangan itu menyerang bersamaan. Gadis itu melangkah mundur, cahaya di tangannya semakin terang, tetapi serangan bayangan itu cepat. Ia menangkis dengan segel cahayanya, tetapi setiap pukulan melemahkannya.
"Kael!" panggilnya, suaranya penuh panik.
Kael, yang sibuk melawan refleksi dirinya, melirik ke arah gadis itu. Refleksinya menyerangnya dengan gerakan yang hampir identik, membuatnya sulit untuk membaca langkah selanjutnya.
"Kita harus kalahkan mereka bersamaan!" serunya.
Gadis itu mengangguk, meskipun tubuhnya sudah hampir menyerah. Cahaya dari segelnya mulai memudar, tetapi ia menggali kekuatan terakhirnya, mengingat semua yang telah mereka lalui. "Aku tidak akan menyerah sekarang!"
Kael memanfaatkan momen itu, melompat ke depan dan menebaskan pedangnya dengan seluruh kekuatannya. Refleksinya menangkis, tetapi gerakannya mulai melambat.
Di sisi lain, gadis itu mengarahkan tangannya ke makhluk bayangan, memfokuskan energi segelnya menjadi satu titik cahaya kecil. Ia berteriak saat ia melepaskan kekuatannya, cahaya itu melesat dan mengenai bayangan dengan tepat, membuatnya menghilang menjadi serpihan.
Kael mengambil kesempatan itu untuk menyerang refleksi dirinya dengan pukulan terakhir. Pedangnya menembus bayangan itu, dan makhluk itu lenyap dalam sekejap.
###
Ketika keduanya berdiri di tengah ruangan, napas mereka terengah-engah, cermin-cermin itu mulai memudar, memperlihatkan pintu besar dengan ukiran simbol yang bersinar.
"Itu... melelahkan," gadis itu berkata, nyaris jatuh ke lututnya.
Kael segera menghampirinya, membantunya berdiri. "Kita berhasil. Tapi ini baru permulaan."
Pintu besar itu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan yang dipenuhi cahaya putih. Di tengah ruangan, sebuah pedestal berdiri, dan di atasnya ada kristal yang bersinar terang—memancarkan aura yang sama dengan segel yang ada di tubuh gadis itu.
"Itu..." gadis itu melangkah maju, matanya terpaku pada kristal tersebut.
Namun sebelum mereka bisa mendekat, suara Penjaga kembali terdengar. "Kalian telah melawan ketakutan dan keraguan diri. Tapi untuk mengambil inti kekuatan ini, kalian harus bersatu sebagai satu jiwa. Jika tidak, kekuatan ini akan menghancurkan kalian."
Kael dan gadis itu saling berpandangan, menyadari bahwa perjalanan mereka belum selesai, dan tantangan terbesar mereka baru saja dimulai.
Pintu besar yang terbuka memperlihatkan ruangan yang memukau. Pilar-pilar tinggi melingkar di sekeliling ruangan, dan ukiran-ukiran cahaya terus bergerak, menciptakan pola-pola yang menenangkan namun membingungkan. Di tengah, kristal yang bersinar terang memancarkan kehangatan yang menenangkan, tetapi ada sesuatu yang aneh—energi yang terasa seperti memanggil dan mengusir pada saat yang bersamaan.
Kael dan gadis itu melangkah mendekat dengan hati-hati, setiap langkah terasa seperti menarik mereka lebih dalam ke dalam aura kristal tersebut.
"Bagaimana kita melakukannya?" bisik gadis itu, matanya terpaku pada cahaya di pedestal.
Kael menggenggam pedangnya lebih erat, perasaan cemas merayap di dalam dirinya. "Penjaga mengatakan kita harus bersatu... sebagai satu jiwa. Apa maksudnya?"
Gadis itu berpikir sejenak, ingatannya kembali ke semua momen selama perjalanan mereka—bagaimana segelnya selalu terhubung dengan Kael, bagaimana kekuatan itu melindungi mereka berdua saat mereka bekerja sama.
"Mungkin... kita harus benar-benar mempercayai satu sama lain," katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Kekuatan ini tidak hanya milikku, tetapi milik kita berdua."
Kael menatapnya, matanya menunjukkan kebingungan, tetapi juga keyakinan yang tumbuh. "Jika itu yang diperlukan, aku akan melakukannya. Aku percaya padamu."
Gadis itu mengulurkan tangannya, meminta Kael untuk meletakkan tangannya di atas miliknya. Dia ragu sejenak, tetapi kemudian mengikuti, merasakan kehangatan aneh yang mengalir dari telapak tangannya ke dalam tubuhnya.
###
Kristal di tengah ruangan mulai bergetar, cahayanya semakin terang. Lingkaran di lantai di bawah mereka menyala, dan energi mulai melilit tubuh mereka seperti pita cahaya.
"Apa ini?" Kael bertanya, sedikit panik ketika tubuhnya terasa ringan.
Gadis itu mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. "Aku tidak tahu... tapi ini terasa seperti—"
Sebuah suara bergema di ruangan itu, suara yang dalam dan penuh kewibawaan. "Dua jiwa yang bersatu dalam tujuan. Namun, apakah kalian siap menerima beban kebenaran?"
Kael menatap gadis itu, lalu ke arah sumber suara, meskipun tidak ada wujud yang bisa ia lihat. "Kami siap. Apa pun yang terjadi, kami tidak akan mundur."
Suara itu tertawa kecil, seperti menyukai keberanian mereka. "Kebenaran adalah beban yang tak bisa dihindari. Tapi kekuatan ini... bukan untuk mereka yang ragu. Tunjukkan kesatuan kalian, atau lenyaplah di bawah cahaya ini."
Kristal tiba-tiba memancarkan cahaya yang menyilaukan, membuat Kael dan gadis itu harus memejamkan mata. Ketika mereka membukanya kembali, mereka berada di dunia yang berbeda.
###
Tempat itu kosong, seperti padang luas yang tak berujung, hanya dihiasi langit berwarna abu-abu. Di depan mereka, berdiri sosok bayangan besar—entitas yang tampaknya lahir dari kegelapan, dengan mata merah yang menembus jiwa mereka.
"Kalian harus melawanku," kata sosok itu. "Hanya dengan mengalahkanku, kalian akan membuktikan bahwa kalian layak."
Kael segera mengangkat pedangnya, berdiri di depan gadis itu seperti perisai. "Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."
Namun, gadis itu menggeleng, menarik Kael ke samping. "Bukan seperti itu. Kita harus melakukannya bersama."
Sosok bayangan itu menyerang, gerakannya cepat seperti angin, tetapi Kael dan gadis itu bergerak serempak. Gadis itu mengaktifkan segelnya, memancarkan perisai cahaya yang melindungi mereka dari serangan pertama. Kael melompat maju, menebas bayangan itu dengan pedangnya, tetapi serangan itu hanya menembus udara kosong.
"Dia tidak bisa dilukai dengan cara biasa!" teriak gadis itu, berusaha menganalisis situasi.
Bayangan itu tertawa, suaranya menggema di seluruh tempat. "Hanya dengan menyelaraskan hati kalian, kekuatan ini akan muncul."
Kael dan gadis itu saling berpandangan, mencoba memahami kata-kata itu.
"Apa maksudnya?" tanya Kael.
"Selaras..." gumam gadis itu, berpikir keras. "Mungkin... kita harus menggabungkan kekuatan kita!"
Kael mengangguk cepat. "Baiklah, aku akan mengikuti petunjukmu."
Gadis itu memusatkan kekuatan segelnya, membentuk bola cahaya yang berdenyut seperti jantung. Kael menempatkan tangannya di atas bola cahaya itu, dan perlahan, pedangnya mulai menyala dengan aura yang sama.
Bayangan itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat dan lebih ganas. Namun, Kael dan gadis itu tetap berdiri bersama. Dengan satu gerakan, mereka mengarahkan bola cahaya itu ke arah bayangan tersebut, melepaskan serangan yang menyilaukan.
Bayangan itu berteriak saat cahaya menyelimuti tubuhnya, perlahan memudar hingga lenyap sepenuhnya.
###
Ketika mereka membuka mata, mereka kembali berada di ruangan dengan kristal di tengah. Cahaya dari kristal itu kini jauh lebih lembut, hampir seperti mengundang.
"Apakah kita berhasil?" tanya Kael, suaranya penuh kelelahan.
Gadis itu tersenyum kecil, matanya kembali menatap kristal. "Aku rasa... iya."
Mereka melangkah mendekat, dan gadis itu meraih kristal itu dengan tangan gemetar. Saat ia menyentuhnya, cahaya dari kristal itu mengalir ke tubuhnya, menyatu dengan segelnya. Energi itu begitu kuat sehingga tubuhnya hampir tak bisa menahannya, tetapi Kael segera memegangnya, menyalurkan sebagian kekuatan itu untuk menstabilkannya.
Ketika semuanya berakhir, mereka berdiri di tengah keheningan, dengan kristal yang kini kosong di tangan gadis itu.
"Aku rasa kita baru saja mengambil langkah besar menuju apa yang akan terjadi selanjutnya," kata gadis itu dengan nada penuh rasa takut dan harapan.
Kael tersenyum kecil, meskipun ia tahu tantangan mereka masih jauh dari selesai. "Apa pun itu, kita akan menghadapinya bersama."