Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa Bersalah
Sesampainya di rumah, Amar yang mengira Mahira akan marah padanya ternyata bersikap seperti biasa seakan tak pernah terjadi apa-apa. Mahira tetap menyambut kepulangan Amar dengan senyum manisnya, membawakan tas kerjanya serta menyiapkan makan malam yang ia masak sendiri.
"Ini tidak terlalu dingin kan?" tanya Mahira sambil memegang mangkuk sayur yang masih terasa hangat.
"Mahira..." tidak mempedulikan apa yang Mahira katakan, Amar menatap Mahira yang seakan menyembunyikan kesedihannya.
"E-kenapa, ini kurang panas yah, b-biar aku panaskan lagi." ujar Mahira mengambil mangkuk sayur itu. Namun langsung di hentikan oleh Amar.
"Mahira!"
Mendapati tangannya di genggam oleh Amar, Mahira langsung menarik tangannya dengan mata yang berkaca-kaca menahan rasa yang sebenarnya tengah di sembunyikan.
"Mahira aku minta maaf."
"Minta maaf kenapa, Kak Amar tidak melakukan kesalahan apapun. Aku yang salah. Sejak awal kak Amar sudah mengatakan jika kita tidak perlu melakukan tugas dan tanggungjawab sebagai suami istri. Tapi aku malah bersikap seperti istri yang sesungguhnya."
"Mahira... bukan begitu tapi..."
"Tidak papa Kak Amar, mulai besok aku tidak akan membawakan bekal lagi."
Mendengar kata demi kata yang Mahira katakan, entah mengapa hatinya terasa nyeri, ada perasaan bersalah dan juga kasihan meskipun Mahira berusaha keras menyembunyikan kesedihannya. Namun rasa takutnya memiliki rasa cinta di dalam hatinya, membuat Amar menepis keraguannya.
Karena masih tinggal di kamar yang terpisah dengan Amar, Mahira lebih memilih tidur bersama baby Emir daripada harus tidur sendiri. Karena tidur sendiri membuat Mahira kembali merasakan kesedihannya kehilangan Amir dan membandingkan dengan Amar suaminya sekarang. Meskipun tidak ada niatan untuk membandingkan antara kakak dan adik itu, tapi hati kecilnya merasakan perbandingan yang sangat jauh diantara keduanya. Dimana Amir sangat mencintainya dan memperlakukannya bak Ratu, Sementara Amar begitu dingin dan memperlakukannya sesuai mood nya.
"Mahira..."
Lamunan Mahira buyar ketika mendengar Amar memanggilnya.
"Apa kamu sudah tidur?"
Mengetahui Amar berada dibalik pintu, Mahira turun dari ranjang dan membukakan pintu untuknya.
Begitu pintu terbuka Amar terlihat gugup karena ditengah malam datang ke kamar Mahira padahal baby Emir tak terdengar menangis.
"A-eum... hari ini aku belum melihat Emir, aku hanya ingin melihatnya sebentar agar aku bisa tidur."
Mendengar alasan Amar, Mahira hanya mengangguk kecil dan mempersilahkan Amar masuk melihat baby Emir yang tengah tidur pulas di ranjangnya.
Amar duduk di tepi ranjang menatap lekat baby Emir yang dimatanya terlihat begitu mirip dengan Amir sang Adik.
Tak terasa sudah berapa lama Amar menatap baby Emir sampai saat ia menoleh kearah Mahira, Mahira sudah tertidur di sofa.
Melihat itu, perlahan Amar melangkah mendekati Mahira. Menatap wajah Mahira, ada rasa kasihan karena sudah memperlakukan Mahira jauh dari apa yang Adiknya lakukan selama ini.
Setelah menatapnya cukup lama, Amar bangkit, mengangkat tubuh Mahira dan memindahkan ke ranjang, di samping bayinya yang masih tertidur pulas.
Namun saat Amar mencoba melepaskan tangannya yang tertindih tubuh Mahira, di buat terkejut ketika tiba-tiba Mahira mengalungkan tangannya ke leher Amar
"Mas Amir..." lirih Mahira dengan mata yang masih terpejam.
Mendengar itu, Amar yang sebelumnya merasa kaget merasa lega karena ternyata Mahira masih tidur dan mungkin tengah memimpikan Amir.
Perlahan, Amar melepaskan tangan Mahira dari pundaknya tapi lagi-lagi Mahira kembali menariknya hingga tubuh Amar menimpanya. Dan karena itu juga Mahira yang merasa tubuhnya tertimpa benda berat membuka matanya.
Kedua netranya seketika membulat sempurna ketika Mahira melihat Amar diatasnya. Jarak yang sangat dekat hingga keduanya sama-sama terdiam saling memandang lekat untuk pertama kalinya.
Bersambung...