Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tiga
Di dalam aula perusahaan yang mulai lengang, Raka berjalan cepat melewati kerumunan tamu yang tersisa, wajahnya tampak tegang dan penuh kekhawatiran. Semenjak ia menyadari Karin tidak terlihat lagi di pesta, hatinya menjadi tidak tenang. Tatapan matanya menyapu setiap sudut ruangan, berharap dapat menemukan sosok wanita yang ia cari.
“Kenapa dia tiba-tiba menghilang?” gumam Raka, menahan napas sejenak, mengabaikan para tamu yang masih bercengkerama. Ia yakin Karin mungkin berpikir bahwa dirinya mengabaikannya di pesta ini, padahal ia sudah berencana untuk mengajaknya pulang bersama.
Berulang kali ia mencoba menghubungi nomor Karin, namun tidak ada jawaban. Bahkan pesan yang ia kirim juga tak dibalas. Di sisi lain, Rio, sudah pulang bersama pengasuhnya, sementara Aeri,mendadak harus mengikuti sesi pemotretan tengah malam.
Dengan perasaan semakin tidak nyaman, Raka mengambil ponselnya lagi dan menghubungi Bibi Xia, berharap, setidaknya, Karin telah kembali ke vila.
"Halo, Bibi," sapanya cepat saat panggilannya tersambung. "Apakah Karin ada di rumah sekarang?"
Suara Bibi Xia terdengar tenang di seberang sana. "Belum, Tuan. Nona Karin tidak di rumah saat ini."
Raka terdiam sejenak, hatinya mencelos mendengar jawaban itu. "Kau yakin, bibi?" tanyanya, sedikit berharap bahwa Bibi Xia hanya melewatkan kehadiran Karin.
"Saya sudah memeriksanya di kamarnya, Tuan. Nona Karin tidak ada di sana. Dani juga mengatakan bahwa dia belum pulang."
Raka menghela napas panjang, lalu mengakhiri panggilan dengan perasaan yang semakin buruk. Untuk berjaga-jaga, ia menelpon Jino, namun Jino juga mengatakan bahwa ia tidak bersama Karin.
Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya. Naluri Raka mengatakan bahwa ada yang tidak beres. Dalam upayanya mencari petunjuk, Raka bertemu Jean, sahabat dekat Karin, dan bertanya apakah dia tahu di mana keberadaan Karin. Namun Jean hanya menggeleng, tampaknya juga tidak tahu apa-apa.
‘Karin, kau ada di mana sekarang?’ pikir Raka, merasa semakin gelisah. Ia berharap Karin baik-baik saja, meskipun hatinya penuh dengan firasat buruk.
Saat ini, aula sudah mulai sepi karena acara telah usai sekitar lima belas menit lalu. Para tamu undangan berangsur-angsur meninggalkan area perusahaan, menyisakan beberapa pekerja yang tengah membereskan kursi dan dekorasi. Raka menelan ludah, rasa cemas dalam dirinya semakin menguat. Ia bergegas menuju ruang keamanan perusahaan dengan langkah cepat.
Di dalam ruang kendali, para petugas keamanan tampak sibuk, ia mulai memeriksa rekaman CCTV dari seluruh area perusahaan, berharap bisa menemukan jejak Karin.
Setelah beberapa kali memutar ulang rekaman, Raka akhirnya menemukan gambar Karin yang tengah berjalan keluar dari taman, namun yang membuatnya terkejut adalah melihatnya bersama seorang pria—Wisnu.
Hati Raka mencelos. Sosok Wisnu dikenal sebagai seorang pengusaha muda yang sukses, namun dibalik prestasinya itu, ia juga terkenal dengan reputasinya yang buruk. Banyak wanita yang menjadi korban perlakuannya, dan ia meninggalkan mereka tanpa mau bertanggung jawab.
Raka tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan segera, ia keluar dari ruang keamanan, berlari menuju mobilnya yang terparkir di dekat pintu masuk perusahaan.
Dengan perasaan penuh kegelisahan, ia menghubungi asistennya yang diinstruksikannya untuk membantu mencari Karin secepat mungkin. Ia tahu bahwa Wisnu memiliki beberapa vila dan apartemen di sekitar kota, dan menemukan lokasi yang tepat dalam waktu singkat bukanlah hal mudah.
Ia juga mencoba melacak ponsel Karin, namun sekarang ponsel tersebut tiba-tiba tidak aktif. Padahal, beberapa menit lalu masih bisa dihubungi. Menggenggam kemudi dengan erat, Raka memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, berharap dapat menemukan Karin sebelum hal yang lebih buruk terjadi. Lampu jalanan kota yang mulai sepi berlalu dalam pandangannya, namun ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah Karin dan keselamatannya.
Di sisi lain.....
Karin mulai membuka matanya perlahan. Cahaya lampu yang remang-remang di ruangan itu membuatnya menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan pandangan yang kabur. Kepalanya masih terasa berat, dan tubuhnya terasa lemah. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.
Ruangan itu terasa asing baginya. Dinding-dinding putih di sekelilingnya dihiasi berbagai lukisan dan foto wanita yang hanya mengenakan pakaian dalam. Bahkan, ada sebuah lukisan besar yang memperlihatkan wanita tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Karin merasa dadanya sesak melihat gambar-gambar itu, perasaan tidak nyaman langsung menyelimutinya.
“Di mana aku?” bisiknya dengan suara parau, mencoba mengingat apa yang terjadi. Perlahan, bayangan-bayangan samar mulai terlintas di benaknya—Wisnu yang duduk bersamanya di taman, kemudian kepalanya mendadak terasa pusing. Setelah itu, semuanya gelap.
Karin segera bangkit dari tempat tidur saat mendengar suara air mengalir dari arah kamar mandi. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari cara untuk keluar dari ruangan ini. Dengan panik, ia berlari ke arah pintu dan mencoba memutarnya, namun pintu itu terkunci rapat. Karin semakin panik, mengguncang-guncangkan kenop pintu dengan sekuat tenaga, berharap pintu itu terbuka.
Namun, usahanya sia-sia. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tapi ketakutan sudah mengambil alih seluruh tubuhnya.
Ceklek.
Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuatnya menoleh. Di sana, berdiri Wisnu dengan hanya mengenakan celana pendek, rambutnya basah, air menetes di sepanjang wajah dan tubuhnya yang berotot. Tatapan matanya penuh percaya diri, seolah-olah ia menikmati setiap detik melihat Karin yang kebingungan.
“Sudah bangun, Sayang?” katanya sambil melangkah mendekat, senyum tipis tersungging di bibirnya.
Karin mundur selangkah, tubuhnya gemetar. “Apa yang kau lakukan? Mengapa aku ada di sini?” suaranya terdengar lemah, namun berusaha tegar.
Wisnu tertawa pelan, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. “Tenang saja, aku hanya ingin bersenang-senang denganmu,” jawabnya dengan nada santai, seolah tak ada yang salah.
Tanpa berpikir panjang, Karin meraih benda terdekat, sebuah vas kecil di meja samping, dan mengarahkannya ke Wisnu. “Jangan mendekat! Aku akan melempar ini kalau kau mendekat!”
Wisnu hanya tersenyum, tatapannya semakin tajam. “Beraninya kau mengancamku, Karin?” katanya dengan suara rendah, namun penuh intimidasi.
Karin menggenggam vas itu erat-erat, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Dirinya merasa terperangkap, tanpa jalan keluar. Namun, dalam hatinya, ia terus berdoa agar Raka datang dan menyelamatkannya.