Tuhan menciptakan rasa cinta kepada setiap makhluknya. Jika cinta itu tak bersambut atau tak terbalaskan, apakah itu salah cintanya?
Akankah sebuah hubungan yang terlalu rumit untuk di jelaskan akan bisa bersatu? Atau....hanya mampu memiliki dalam diam?
Hidup dan di besarkan oleh keluarga yang sama, akankah mereka mengakhiri kisah cintanya dengan bahagia atau....menerima takdir bahwasanya mereka memang tak bisa bersatu!
Mak Othor receh datang lagi 👋👋👋👋
Rishaka dll siap menarik ulur emosi kalian lagi 🤭🤭🤭
Selamat membaca ✌️✌️✌️
Kalau ngga suka, skip aja ya ✌️ jangan kasih rate bintang 1
makasih 🥰🥰🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibu ditca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Shaka ikut bergabung sarapan bersama keluarga kakaknya.
"Lho...Ka? Mau ke mana? Katanya sakit, Miba belum sempet liat kamu ke atas dari tadi sibuk di dapur!", cerocos Riang.
"Ke kantor lah Miba, masa mau di rumah terus. Mana numpang lagi! Aku udah mendingan kok!", kata Shaka mendudukkan dirinya di samping Ica yang sedang menikmati sarapan.
"Udah sembuh sakit hatinya, om?", ledek Tata yang duduk berhadapan dengan Shaka. Shaka melotot tajam pada Tata sambil mencolok dua jarinya ke matanya lalu ke arah Tata.
"Uuuh...takut!!", kata Tata pura-pura bergidik ngeri.
Ica tak ikut nimbrung dalam obrolan antara om dan keponakan tersebut.
"Eum...Miba, Abi...rencananya Aka mau sewa apart atau kost aja deh. Yang deket sama kantor. Menurut Miba sama Abi gimana?", tanya Shaka.
Bukan hanya Riang yang menoleh ,tapi Syam dan dua anaknya pun menatap Shaka bersama-sama.
"Kost?", Riang membeo. Shaka mengangguk cepat.
"Iya, Miba." Shaka menatap Syam dan Ica bergantian.
"Shaka udah kelamaan nguasain kamar Ica. Ngga enak juga udah setua ini masih numpang, dari kecil lagi."
Syam menghela nafas beberapa saat.
"Abi sama sekali tidak keberatan kamu di sini, Ka!", ujar Syam.
"Aka tahu, Bi. Tapi ...sekarang Aka sudah dewasa."
"Kenapa harus kost? Kalau tidak tinggal di sini, kan bisa sama mama papa?!", ujar Riang.
Tata yang sedang mengunyah makanan itu pun mengangguk setuju. Dari pada kost, bukankah lebih baik di rumah orang tua.
"Miba, Aka udah biasa tinggal di apart selama di Jerman kok. Ngga usah khawatir!", kata Shaka.
Riang bangun dari bangkunya. Semua mata tertuju pada perempuan yang masih langsing meski memiliki dua putri yang sudah besar.
"Kamu mau samakan di sini dengan di Jerman? Kamu mau kehidupan kamu bebas?"
Shaka menggeleng.
"Maksud Aka bukan....?"
"Apa? Bukan apa? Kamu mau tinggal di apartemen biar bebas bertemu sama Cyara begitu?"
Shaka bangkit dari bangkunya.
"Astaghfirullah, ngga ada niat begitu Miba."
"Miba yakin, selama di luar sana kamu pasti sering kan di apart berduaan sama Cyara?". Entah Riang bertanya atau menebak.
Ica menunduk dan fokus dengan sarapannya. Tata dan Syam memilih diam mendengarkan percakapan Riang dan Shaka.
"Miba...Aka memang....aashhh!", Shaka meraup wajahnya sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
"Aka akuin iya, Miba. Kami memang sering bertemu di apart. Tapi Aka masih tahu batasan. Lagi pula ,sekarang Aka sama Cyara ngga ada hubungan apa pun!"
Riang menarik nafas lalu menghembuskannya dengan kasar. Ia menganggukkan kepalanya.
"Iya...iya! Mulai sekarang terserah kamu! Kamu sudah dewasa! Sudah bisa menentukan apa yang terbaik buat kamu sendiri! Miba sudah tidak akan pernah bertanya apa lagi ikut campur urusan kamu!"
Sreekkk!
Riang memundurkan bangkunya dan meninggalkan meja makan begitu saja. Mungkin ia marah. Tapi Riang bukanlah tipe pemarah yang tahan berlama-lama memendam emosinya.
Syam yang tahu betul seperti apa latar belakang mental sang istri memilih menyusulnya.
Tata dan Ica juga Shaka sama-sama membisu.
"Beresin meja nya Ta, kita berangkat naik taksi aja."
"Kak Ica anterin Tata dulu gitu?", tanya Tata. Ica mengangguk pelan. Keduanya pun membereskan piring-piring yang mereka pakai.
Shaka sendiri kembali terduduk di bangkunya. Ia menoleh pada Ica dan Tata yang berjalan menuju dapur.
Setelah selesai beberes, Tata dan Ica bersiap untuk berangkat.
"Berangkat sama aku aja. Aku antar kalian!", kata Shaka berjalan mendahului Tata dan Ica.
Kakak beradik itu saling berpandangan. Ica mengangguk pelan agar Tata setuju untuk mereka di antarkan.
Di dalam mobil hanya ada keheningan. Tata yang cerewet, Ica yang bawel pun cosplay menjadi gadis pendiam.
Shaka menyadari perubahan kedua keponakannya. Ia menyesal membahas hal itu sepagi ini hingga membuat mood mereka semua buruk.
Tata lebih dulu turun saat mobil Shaka lebih dulu tiba di halaman sekolah baru lanjut ke kantor Ica.
Tata mencium punggung tangan Shaka dan Ica bergantian lalu setelah itu ia masuk. Ternyata di ujung sana, Ikbal sudah menunggu Tata.
Shaka kebetulan melihat Ikbal yang sedang memperhatikan Tata.
"Itu, cowoknya Tata!", kata Shaka. Ica menoleh, menatap remaja seumuran adiknya yang menyambut kedatangan Tata. Tapi meski dari jauh, sepertinya Tata enggan menanggapi bocah itu. Terlihat dari Tata yang berjalan cepat dan menghindar.
"Oh....!", gumam Ica. Shaka melanjutkan lagi perjalanan mereka.
"Ca...?!"
"Heum?", Ica menoleh pada om kecilnya itu.
"Aku ngga nyangka kalau reaksi Miba akan seperti itu."
Ica berdehem sesaat lalu buka suara.
"Umi ngga bakal bisa marah lama-lama kok!", kata Ica. Dia sangat paham seperti apa umi nya.
"Mungkin kehidupan ku bebas di luar sana memang benar, Ca. Tapi jangan di pukuli rata kalau semua seperti itu. Aku sam...?!''
Belum selesai Shaka berbicara, Ica lebih dulu mengangkat tangannya.
"Ngga perlu jelasin kaya gitu ke aku, Ka. Aku paham!"
Shaka meremas setir nya lalu menoleh pada Ica. Kebetulan mereka juga sedang berhenti di simpang lima yang ramai dan kebagian lampu merah.
"Ckkkk ...kamu pasti juga mikir kan kalo aku ngikutin kehidupan di sana, free sex ,alkohol, hidup bebas....?!"
"Aku ngga ngomong kaya gitu!", Ica memotong ucapan Shaka lagi.
"Tapi aku tahu kalian pasti nuduh aku kaya gitu kan???", tanya Shaka.
Keheningan masih menyelimuti keduanya.
"Menurut ku! Yang Umi permasalahkan itu karena kamu mau di apart. Sedangkan kamu masih bisa tinggal di rumah Eyang. Cuma itu yang bisa ku tangkap dari reaksi umi yang kaya tadi."
Shaka memijat pelipisnya yang berdenyut. Tak ada yang salah memang tinggal di rumah kedua orang tuanya, tapi....
Tanpa terasa mobil mereka sudah tiba di depan gedung perusahaan Oma Helen.
"Makasih udah nganterin!", kata Ica yang baru akan membuka pintu.
"Setidaknya kalau aku tidak di rumah itu, bisa memudahkan mu melupakan perasaan mu yang salah untukku!", kata Shaka tanpa melihat Ica.
Ica terkejut mendengar ucapan Shaka, tapi setelah itu ia tetap membuka pintu mobilnya.
Sebelum menutup pintu mobil, Ica sempat berbicara.
"Tanpa kamu memperingatkannya pun, aku sudah belajar melakukannya. Ada atau tidak adanya kamu di rumah Abi!"
Brakkk!!
Ica sedikit keras menutup pintu mobil Shaka. Yang ada di dalam pun cukup terkejut. Tapi Shaka hanya mampu memandangi Ica yang menapaki lantai lobby.
Shaka meremas rambutnya dan mengajaknya kasar.
"Heran gue!!! Masalah sepele begini jadi melebar ke mana-mana!!!", monolog Shaka. Setelah itu, ia pun tancap gas menuju ke kantornya.
Sepanjang perjalanan ,Shaka tak henti-hentinya memikirkan kata-kata Riang juga Ica tadi.
Entah kenapa Shaka jadi merasa jika posisinya saat ini serba salah?? Apa pun yang di katakan, apa pun yang ia lakukan selalu salah.
Ponsel yang ada di saku kemejanya bergetar. Sebuah nama terpampang di layar itu.
"Cyara??", monolog Shaka. Tapi ia bimbang antara membiarkannya, atau mengangkat panggilannya.
💜💜💜💜💜💜
Terimakasih 🙏
klu bibah sm shaka rasay gmn ya shaka sdh bekas cyra kasian bibah dapat sisa🤣🤣🤣🤣😆😆😆😊
.,🤣🤣🤣🤣