Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. Kedatangan Keluarga Mia
Wajah Dante langsung berubah. Ia menatap Amara dengan mata melebar, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.
"Apa? Amara, ini tidak masuk akal. Kenapa kau tiba-tiba mengatakan ini?"
Amara berusaha tegar, "Karena aku lelah. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku pikir, Mia lebih cocok untukmu. Dia bisa memberikan apa yang aku tidak bisa."
Dante marah. "Apa ini tentang, Mia lagi? Kau tahu aku tidak pernah mencintainya! Kau adalah istriku, Amara. Kenapa kau tidak pernah mempercayaiku?"
Amara memalingkan wajahnya, takut Dante melihat air mata yang hampir jatuh.
"Percaya atau tidak, ini keputusan terbaik. Aku sudah memikirkannya."
"Kau ingin aku bersama Mia? Benarkah itu yang kau inginkan?"
Amara mengangguk, meskipun hatinya menjerit.
"Ya," jawab Amara tegas.
Dante menggelengkan kepalanya, hatinya terasa seperti dihancurkan berkeping-keping.
"Kalau begitu, aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi ingat, Amara, kau yang menghancurkan ini, bukan aku."
Dante berbalik pergi, meninggalkan Amara berdiri sendiri di taman. Ketika ia sudah cukup jauh, Amara jatuh berlutut, menangis tersedu-sedu, menahan rasa sakit yang tak terungkapkan.
Di kejauhan, Nyonya Laurent memandang dari dalam mobilnya, tersenyum puas melihat rencana liciknya berjalan dengan sempurna.
---
keesokan harinya, Ruang keluarga besar Laurent dipenuhi dengan formalitas yang tegang. Orang tua Mia, Tuan dan Nyonya Hart, duduk dengan postur yang sempurna, menunjukkan status sosial mereka. Nyonya Laurent menyambut mereka dengan senyum dingin, sementara Dante duduk di sisi lain ruangan, terlihat tidak nyaman. Mia duduk di dekatnya, mencoba mencairkan suasana dengan senyuman kecil.
Amara, yang tidak sengaja melintas, berhenti di balik pintu. Ia tahu ia tidak seharusnya ada di sana, tetapi ia tidak bisa menahan dirinya untuk mendengarkan.
Tuan Hart memulai basa-basi, "Kami senang akhirnya bisa berbicara langsung, Nyonya Laurent. Sudah terlalu lama rencana ini tertunda."
Nyonya Laurent tersenyum dingin, "Tentu saja. Saya juga berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan apa yang telah kita bicarakan sebelumnya."
Dante melirik neneknya dengan alis berkerut.
Dante bertanya, "Apa sebenarnya yang kalian bicarakan? Apa yang tertunda?"
Nyonya Laurent menatap Dante dengan tajam, tetapi Tuan Hart yang menjawab.
"Dante, mungkin ini terdengar mengejutkan bagimu. Namun, keluargamu dan keluarga kami telah sepakat sejak lama bahwa kau akan menikah dengan Mia. Itu adalah janji untuk memperkuat hubungan bisnis kita."
Dante terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, tapi tanpa humor.
"Maaf, tapi apakah aku baru saja mendengar bahwa hidupku telah dijadikan alat tawar-menawar bisnis tanpa sepengetahuanku?” kata Dante.
Mia dengan lembut berkata, "Dante, ini bukan tentang itu. Ini tentang kita. Aku selalu menyayangimu, dan …"
"Mia, kau tahu aku tidak pernah mencintaimu. Aku menghormatimu sebagai teman, tetapi itu saja."
Amara, yang mendengar percakapan ini, merasa dadanya semakin sesak, ia tahu keluarga Mia sudah mulai bergerak. Tangannya menggenggam erat kusen pintu, mencoba menahan dirinya agar tidak masuk dan membuat situasi semakin rumit.
Ketegangan Meningkat
Nyonya Laurent berkata dengan nada tegas, "Dante, berhenti bersikap seperti anak kecil. Ini tentang masa depan keluarga kita. Jika kau tidak menikah dengan Mia, keluarga Hart akan menarik investasi mereka, dan kau tahu apa artinya itu."
Dante mendekat ke neneknya, "Jadi nenek lebih peduli pada uang daripada kebahagiaanku? Apakah itu semua artinya aku bagimu?"
"Dante, kami tidak ingin memaksamu. Tetapi kau harus memahami bahwa keputusan ini akan membawa manfaat besar bagi kedua keluarga," Tuan Hart menengahi
Dante berdiri, memandang seluruh ruangan dengan ekspresi marah.
"Aku tidak akan menikah dengan Mia. Aku sudah menikah, dan aku mencintai istriku," katanya tegas.
Kata-kata itu menusuk hati Amara yang mendengarnya dari balik pintu. Namun, ia tahu cinta Dante tidak akan cukup melawan ancaman yang menggantung di atas mereka.
"Amara tidak lebih dari pengganggu. Kau tahu dia tidak pantas untukmu, Dante," kata Nyonya Laurent dengan nada dingin
Dante hendak membalas, tetapi Mia menyentuh lengannya.
"Dante, mungkin kau harus berpikir ulang. Aku tidak akan memaksamu, tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku selalu ada untukmu." Katanya melembutkan nada bicaranya.
Amara tidak tahan lagi. Ia pergi dari tempat itu dengan air mata yang akhirnya mengalir bebas.
Malam Itu, Amara duduk di kamar nya yang terasa suram, memandang keluar jendela. Kata-kata Dante bahwa ia mencintainya terus terngiang di kepalanya, tetapi ancaman Nyonya Laurent dan keluarga Hart lebih nyata daripada perasaannya.
Di saat yang sama, Dante mengetuk pintu kamarnya.
"Amara, aku tahu kau ada di sana. Buka pintunya,” pinta lelaki itu.
Amara menghapus air matanya, mencoba menyembunyikan emosinya sebelum membuka pintu.
"Ada apa, Dante?" tanya Amara dingin. Dante tak langsung menjawab, ia hanya menarik Amara ke dalam dekapannya. "Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita. Apa pun yang nenekku atau keluarga Hart coba lakukan, aku tidak peduli."
Amara menatapnya dengan ekspresi datar, meski hatinya berteriak ingin merespon pelukannya.
"Kau tidak mengerti, Dante. Ini bukan hanya tentang kita. Aku tidak bisa membiarkan keluargaku menderita karena ego kita,” kata Amara sembari melepaskan Dante dari tubuhnya.
Dante menggenggam tangan Amara, tapi ia menariknya kembali.
"Kenapa kau selalu melawan ku? Aku mencoba melindungimu, tapi kau terus menjauh!"
Amara menangis "Karena aku tidak punya pilihan, Dante! Kau tidak tahu apa yang mereka ancam akan lakukan pada keluargaku!"
Dante terdiam, melihat air mata Amara jatuh tanpa henti. Ia ingin memeluknya kembali, tetapi Amara memalingkan wajahnya.
"Tolong, Dante. Jika kau benar-benar mencintaiku, biarkan aku pergi."
Dante tidak menjawab, hanya berdiri di tempatnya dengan hati yang hancur.
"Membiarkanmu pergi? Baiklah, kalau begitu akan ku cari caranya" gumam Dante kemudian.
beberapa hari telah berlalu, hubungan antara Amara dan Dante kian rumit, hingga di sebuah acara makan malam resmi, Dante dengan sengaja mengusik Amara. malam itu, Amara berjalan menuju taman keluarga Laurent, tempat sebuah acara resmi itu sedang berlangsung. Gaun hitam yang sederhana membalut tubuhnya, sementara wajahnya tetap tenang meskipun hatinya penuh pergolakan. Dia tahu malam ini tidak akan mudah, apalagi dengan kehadiran Mia yang semakin mendominasi ruang-ruang yang seharusnya menjadi miliknya.
Dari kejauhan, ia melihat Dante dan Mia berbicara di dekat kolam renang yang diterangi lampu temaram. Mia mengenakan gaun merah menyala, tertawa dengan caranya yang memikat, tangannya dengan santai menyentuh lengan Dante. Adegan itu membuat dada Amara terasa sesak, tetapi ia menenangkan dirinya, menjaga ekspresi agar tetap dingin.
Dante, yang merasakan keberadaan Amara, melirik ke arahnya. Mata mereka bertemu sejenak, dan sebuah senyuman kecil muncul di wajah Dante. Namun, dia tidak mendekatinya, malah kembali fokus pada Mia, menambahkan senyuman ringan untuk wanita itu sambil menyodorkan segelas minuman seolah sengaja membuat Amara semakin tertekan.
Mia membalas dengan tertawa kecil. "Dante, kau selalu tahu cara membuat wanita merasa istimewa."
"Hanya untuk wanita yang layak, Mia,” katanya dengan sengaja.
Amara berpaling, melangkah menuju meja di sudut taman, berusaha menghindari mereka. Tetapi Dante tidak membiarkannya begitu saja. Dia dengan sengaja menggenggam tangan Mia, mengarahkannya ke meja yang sama.
Dante memulai percakapan, "Amara, kau sendirian? Tidak bosan?"
Amara tanpa menoleh menjawab, "Aku lebih menikmati kesendirian dibandingkan kebisingan."
Dante menarik kursi dan duduk bersama Mia di hadapan Amara. Mia tersenyum lebar, jelas menikmati perhatian yang diberikan Dante padanya.
"Amara, kau sepertinya lelah. Kau harus lebih banyak bersenang-senang seperti aku dan Dante,” kata Mia.
"Aku punya prioritas lain, Mia. Tidak semua orang punya waktu untuk hal-hal yang... tidak penting."
Mia mengangkat alisnya, tetapi tidak merespons. Dante, sementara itu, menatap Amara dengan tatapan penuh teka-teki.
"Kau tahu, Amara, Mia memberitahuku sesuatu yang menarik tadi. Tentang rencana ekspansi bisnisnya. Aku kagum dengan keberaniannya."
Amara berusaha tenang, "Kagum adalah hal yang murah, Dante. Tapi keberanian membutuhkan bukti nyata, bukan sekadar kata-kata."
Dante tersenyum kecil. Dia tahu Amara sedang berusaha menjaga kendali. Tapi dia tidak akan berhenti di situ.
Dante sengaja beralih pada mia, "Mia, kenapa kita tidak lanjutkan pembicaraan tadi di ruang baca? Kau bilang ada dokumen yang ingin kau tunjukkan."
"Tentu saja! Aku yakin kau akan menyukainya,” jawab Mia begitu antusias.
Mereka berdua pergi meninggalkan Amara. Ia tetap di tempatnya, menatap gelas minuman yang ada di hadapannya. Tangannya menggenggam gelas itu begitu erat hingga hampir pecah.
Malam itu, Amara pergi ke ruang musik untuk melampiaskan perasaannya. Biola menjadi pelariannya. Melodi sedih mengalun, memenuhi ruangan dengan rasa sakit yang tak terucapkan. Ia menutup matanya, membayangkan dirinya jauh dari keluarga Laurent, jauh dari Dante dan segala kebingungan yang ia bawa.
Namun, langkah kaki yang familiar mengganggu konsentrasinya.