Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesal dan Bete
Denis baru saja memasuki halaman rumah setelah pulang berolahraga, tubuhnya masih segar dan penuh semangat. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah mobil asing terparkir di depan rumah. Mobil itu cukup familiar, dan Denis segera menyadari bahwa itu milik seseorang yang tak asing baginya. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan, campuran antara penasaran dan cemas, ketika ia mendekati jendela ruang makan tempat Veltika biasanya berbicara dengan tamu.
Dari balik jendela yang sedikit terbuka, Denis dapat mendengar suara Veltika yang terdengar lebih bersemangat dari biasanya. Ia memperlambat langkahnya, berusaha untuk tidak menarik perhatian, dan perlahan mendekat, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di dalam. Suara Veltika terdengar jelas, ceria, dan penuh antusiasme, sesuatu yang jarang ia dengar belakangan ini.
Denis menyentuh pelan gagang pintu kaca yang menghubungkan ruang makan dengan taman belakang. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia dapat melihat Veltika tengah duduk dengan seorang pria tampan, yang mengenakan setelan jas hitam rapi. Denis mengamati pria itu, melihat bagaimana pria tersebut memandang Veltika dengan penuh perhatian, seolah-olah dunia mereka berdua hanyalah satu saat itu.
Veltika terlihat sangat nyaman, senyumannya begitu tulus, dan Denis bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba melingkupi dirinya. Pria itu tampaknya sangat mengagumi Veltika, dan Denis bisa merasakan gelombang kecemburuan yang mulai muncul dalam dirinya. Ia tak bisa menahan diri untuk memandangi momen itu lebih lama, meskipun ada perasaan tak nyaman yang menggerogoti hatinya.
Suasana itu terasa semakin jelas dalam benaknya: Veltika memang memiliki kehidupan di luar dirinya, kehidupan yang penuh dengan pertemuan-pertemuan seperti ini. Denis merasa sedikit tersingkir, terjaga oleh kenyataan bahwa ia bukan satu-satunya yang ada dalam kehidupan Veltika. Pria itu, Refal Samudera, adalah bagian dari dunia Veltika yang lebih luas, dunia yang ia coba masuki namun terasa begitu jauh.
"Denis?" suara Veltika tiba-tiba memecah lamunannya. Veltika menoleh ke arah pintu dan melihat sosok Denis yang berdiri di sana, dengan ekspresi wajah yang sulit ia baca. Suasana yang sebelumnya hangat seketika berubah, dan Denis merasa tubuhnya kaku.
"Maaf, aku tidak tahu kamu sedang ada tamu," ujar Denis, suaranya lebih dingin dari yang ia niatkan. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya.
Veltika, yang sedikit terkejut, mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba tercipta. "Oh, ini Refal, teman lama aku," jawabnya dengan sedikit gugup, meski senyumnya tetap terjaga. "Dia baru saja kembali dari luar negeri dan ingin bertemu untuk berbicara tentang beberapa hal."
Refal yang berada di sebelah Veltika bangkit dari kursinya, memperkenalkan diri dengan senyum ramah. "Denis, aku Refal. Senang bertemu denganmu."
Denis hanya mengangguk dingin, tak terlalu tertarik untuk berbasa-basi. Hatinya tiba-tiba merasa gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang mulai berubah, dan ia tak bisa mengabaikan perasaan itu.
Denis menghela napas, menahan rasa cemburu yang mendalam, namun berusaha untuk tetap tenang. Dengan satu gerakan pelan, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan tersebut dan berkata dengan suara datar, "Kalian lanjut saja, aku mau ke kamar dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah cepat menuju tangga, meninggalkan ruang makan yang sebelumnya penuh tawa dan kehangatan.
Veltika mengamati langkah Denis yang tergesa-gesa pergi ke kamar, dan meskipun ia tahu bahwa perasaan Denis terguncang, ada sedikit kepuasan yang tumbuh dalam dirinya. Veltika tersenyum tipis, merasakan semacam kemenangan kecil. "Skor kita satu sama," pikirnya, merasa seolah-olah untuk pertama kalinya ia bisa mengambil kendali atas situasi yang sudah lama membingungkan dirinya. Ia sadar bahwa Denis mungkin tidak sepenuhnya bisa dipahami atau dijangkau, tapi kali ini, dia yang merasa berada di atas angin.
Refal yang duduk di depannya, menanggapi situasi tersebut dengan cermat. Senyumnya tetap ada, meski sepertinya ia menangkap ketegangan yang mencuat. "Apa dia selalu begitu?" Refal bertanya dengan nada lebih rendah, berusaha memecah keheningan yang tiba-tiba menyelimuti ruang makan.
Veltika mengangguk pelan, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Ya, dia memang kadang begitu. Mungkin dia merasa terganggu dengan kehadiran orang lain di sini." Ia tidak tahu apa yang harus dirasakan. Seperti ada perasaan tak terucapkan yang terus melayang di antara dirinya dan Denis, perasaan yang semakin sulit untuk dipahami.
"Tapi kamu baik-baik saja?" Refal bertanya, masih dengan nada lembut, mencoba mencari tahu lebih jauh tentang perasaan Veltika.
Veltika menghela napas panjang, kemudian mengangguk. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat, meskipun dalam hati ada perasaan yang sulit ia ungkapkan.
Denis terbaring di kasurnya, matanya kosong menatap langit-langit kamar yang gelap. Kegelapan malam hanya ditembus oleh cahaya lampu redup dari luar. Perasaan kesal dan bingung bercampur aduk di dalam dirinya. Hari ini begitu berat baginya—setiap detiknya terasa semakin menekan, apalagi setelah melihat Veltika tertawa dengan lelaki itu, M. Refal Samudera. Tertawa dengan cara yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tertawa lepas, tanpa beban, seakan seluruh dunia hanya milik mereka berdua.
Rasa cemburu yang sudah ia coba sembunyikan begitu lama kini tak bisa lagi dibendung. Denis tahu dia harusnya tidak merasa seperti ini, bahwa hubungan mereka bukanlah hubungan yang jelas, bahwa Veltika berhak melakukan apapun yang dia inginkan. Namun, saat dia melihat Veltika bersikap begitu nyaman dengan lelaki lain, ada sesuatu yang menggerogoti hatinya. Sesuatu yang tidak bisa ia katakan, bahkan kepada dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata, berusaha mengendalikan perasaan yang semakin liar. Namun, bayangan Veltika dan Refal yang saling berbicara penuh semangat kembali muncul di pikirannya. Setiap kata yang keluar dari bibir Veltika tampaknya mengalir begitu alami. Refal—lelaki tampan itu—mendengarkannya dengan penuh perhatian, bahkan menatapnya dengan cara yang tidak pernah Denis lihat sebelumnya.
Denis menggigit bibir bawahnya, menahan rasa frustrasi yang semakin membesar. “Kenapa aku merasa seperti ini?” gumamnya pada diri sendiri. Ia tahu bahwa ia harus mundur dan memberi Veltika ruang untuk memilih, tapi ada sesuatu yang mengikatnya pada wanita itu, sesuatu yang tak bisa dia lepaskan begitu saja.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain menunggu, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti, ia merasa tak sanggup lagi hanya diam dan menyaksikan Veltika pergi semakin jauh.
Denis terdiam sejenak saat mendengar kabar dari kakeknya. Anjas Jatmiko, kakek yang sangat dihormatinya dan juga orang yang sangat berperan dalam hidupnya, mulai merasa bahwa saatnya telah tiba untuk mengenalkan seorang wanita kepada cucunya. Denis bisa merasakan dengan jelas betapa seriusnya kakeknya kali ini.
“Denis, kamu tahu kan, aku tidak akan selamanya ada di sini,” kata kakeknya beberapa waktu lalu, dengan nada yang lebih berat dari biasanya. “Sudah waktunya kamu membangun kehidupanmu sendiri, punya keluarga, punya pendamping yang bisa menemani. Aku ingin kamu menikah, cucuku. Waktu berlalu cepat, dan aku tidak ingin kamu menunggu terlalu lama.”
Denis menghela napas panjang. Kakek Anjas tidak pernah berhenti mencoba untuk memastikan bahwa cucunya tidak hanya sukses dalam kariernya, tetapi juga dalam kehidupan pribadi. Meski Denis tahu bahwa kakeknya hanya ingin yang terbaik untuknya, perasaan Denis sendiri tidak bisa dipaksakan. Bagaimana mungkin ia bisa melangkah ke dalam hubungan yang baru, ketika hatinya masih terbelenggu pada sosok yang lain?
Kakeknya memang tidak tahu banyak tentang hubungan rumit yang ia alami dengan Veltika, dan Denis pun tidak berniat untuk menceritakannya. Namun, ia bisa merasakan tekanan itu. Kakeknya sudah menyiapkan segalanya, bahkan wanita yang akan dikenalkan padanya. Wanita yang menurut kakeknya akan cocok untuknya, yang bisa mendampingi dan memberikan ketenangan.
Hari-hari setelah itu, Denis merasa cemas. Setiap kali kakeknya menyebut tentang calon wanita itu, Denis merasa semakin terjebak dalam dilema. Ia tahu dirinya harus siap untuk membuka hati, tapi bayangan Veltika selalu menghantui, membuatnya sulit untuk melihat wanita lain dengan cara yang sama.
Akhirnya, suatu hari, kakek Anjas mengundang Denis untuk makan malam, dan dengan senyum penuh harap, ia memperkenalkan wanita yang sudah dipilihkan untuk cucunya. Seorang wanita muda yang tampak penuh percaya diri, dengan senyum yang menawan dan penampilan yang elegan.
Namun, di balik keramaian makan malam itu, Denis tidak bisa mengalihkan pikirannya dari satu sosok yang sudah lama menguasai hatinya—Veltika. Wanita yang tak terduga, yang membawanya ke dalam dunia penuh kebingungannya. Ia tak bisa hanya menerima wanita yang dikenalkan oleh kakeknya dengan begitu saja, terlebih ketika perasaannya masih terikat pada masa lalu yang belum selesai.
Dengan canggung, Denis menyadari bahwa meskipun kakeknya bermaksud baik, hatinya tak semudah itu terbuka untuk orang lain.