“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
“Jika, Amala menerima perjodohan ini, apakah Mamak bahagia?” tanyanya sambil menatap sayu sang ibu.
“Nak, duduklah sini!” pinta Mak Syam.
Amala menurut ia duduk di samping ibunya, langsung saja tangannya digenggam.
“Amala, kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Mamak mu ini sudah tua, bisa jadi tak akan lama lagi di panggil Yang Maha Kuasa. Sebelum waktu kematian itu datang, Mamak ingin sekali melihat mu telah bersuami. Memastikan dirimu hidup bahagia bersama keluarga kecil mu,” ungkapnya apa adanya.
Amala membawa punggung tangan sang ibu ke bibirnya, mengecup lembut kulit penuh urat menonjol itu. “Tak elok berkata seperti itu, Mak. Tidak ada yang mengetahui kapan pastinya ajal menjemput, bisa jadi Amala dulu yang berpulang. Jadi, tolong jangan membawa hal itu demi membuat Amala luluh.”
“Boleh Amala bertanya, Mak?” melihat sang ibu mengangguk ia lantas berkata lagi, “Bagaimana kalau pilihan Mamak ini tidak sesuai dengan yang terlihat di depan mata? Dia ternyata bukan pria baik. Apa yang akan Mamak lakukan?”
“Bila itu terjadi, Mamak sendiri yang mendatangi rumah mereka demi memutuskan tali pertunangan kalian,” ucap Mak Syam tanpa ragu.
“Amala pegang kata-kata, Mamak.”
\*\*\*
Empat hari kemudian, keluarga Hendi datang meminang Amala. Hendi sendiri tak ikut serta, hanya sang ibu beserta beberapa saudaranya yang datang.
Pada sore hari, rumah Mak Syam dipenuhi oleh tamu yang memang diundang sebagai saksi. Di antara pria berpeci itu ada sosok tegap yang duduk dengan bahu sedikit bungkuk. Ekspresi wajahnya begitu datar, rahang mengetat, tetapi sorot matanya penuh luka.
Agam Siddiq diundang oleh Mak Syam, untuk menjadi saksi pertunangan Amala dengan Hendi.
Bukan tanpa sebab Mak Syam mengundang Agam, ibunya Amala secara tak langsung ingin menegaskan kalau putrinya tidak pantas bersanding dengan pria paling kaya di desa mereka.
Mak Syam memiliki trauma tersendiri. Yasir yang hartanya tak seberapa saja, tega mencampakkan putri sulungnya. Dia takut kalau Amala akan diperlakukan yang sama oleh Agam beserta keluarganya.
“Tolong panggilkan calon wanitanya!” pinta Pak Kaum.
Amala yang sedari tadi duduk di amben dapur pun, mulai melangkah ke depan. Ia sendirian, tidak ada yang menemani. Kedua sahabatnya begitu kecewa atas keputusannya.
Amala duduk di samping ibunya dan beberapa tetangga mereka. Ketika dagunya terangkat, netranya langsung bersirobok dengan mata elang bang Agam.
Sekian detik tatapan intens itu terkunci, Agam yang tak tahan langsung memutuskan pandangan. Hatinya bagai di remas, untuk kedua kalinya ia menyaksikan sosok yang dicintai sedemikian rupa bertunangan dengan pria lain.
Rahang Amala mengetat, sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak menyuarakan penolakan nya.
‘Sabar Amala, kau bisa melalui semua ini. Tak akan lama lagi kebusukannya pasti terbongkar!’ Amala men sugesti dirinya sendiri. Dia meyakini kalau Hendi bukanlah pria baik, hanya menunggu waktu saja sampai belang nya ketahuan.
.
.
Sementara di rumah mewah Agam Siddiq.
Wahyuni duduk termenung di sofa ruang tamu, sedari tadi air matanya tak berhenti mengalir. Masih terbayang pertengkaran nya dengan Amala dan Dhien. Untuk pertama kalinya nya mereka berdebat sengit.
“Amala kau bukan boneka. Dirimu berhak menentukan pilihan, si Hendi itu seorang pemalas. Mantan istrinya saja dijadikan Sapi perah olehnya dan juga ibunya. Alasan dia meminang mu pasti karena kau pintar cari uang,” ia berusaha menyakinkan Amala untuk menolak pinangan Hendi.
Tapi, apa yang didapat? Sahabatnya itu tak mengindahkan peringatan nya.
Dhien pun ikut menyuarakan ketidaksetujuan nya. “Mala, seumur hidup itu lama. Yakin kau mau bersuamikan laki-laki modal Burung itu?”
Amala mengangguk pasti, mengulas senyum palsu. “Aku tahu seumur hidup itu tidak lah sebentar. Namun, tidak ada yang mengetahui batas umur di dunia ini. Bisa saja esok atau lusa tiba waktunya berpulang. Selagi masih diberi kesempatan bernapas, aku hanya ingin menyenangkan hati Mamak.”
Amala pun menanggapi kalimat Wahyuni. “Terima kasih atas kekhawatiran mu, Yun. Tapi, aku percaya pada pilihan Mamak.”
Lain di mulut lain di hati. Amala berpura-pura menerima sepenuh hati, tetapi yang jelas ia akan mencari tahu sendiri apa sesungguhnya motif Hendi.
Namun, Amala tak menyadari kalau apa yang barusan dikatakannya kepada Dhien dan juga Wahyuni, berimbas pada persahabatan mereka.
“Yuni … Wahyuni!”
“Nyak ….” Wahyuni langsung berdiri lalu memeluk erat sang ibu yang menatapnya khawatir.
Nyak Zainab baru saja sampai. Begitu memasuki rumah anak bujangnya, ia langsung disambut oleh pemandangan menyayat hati. Salah satu putrinya duduk seorang diri sambil menangis.
Hiks hiks hiks.
“Ada apa, Nak? Mengapa kau menangis?” tanyanya lembut seraya menenangkan Wahyuni.
Tapi, Wahyuni masih belum mampu berucap. Hatinya begitu sakit kala terbayang abangnya menitikkan air mata sewaktu mau bertandang ke rumah Amala.
“Kakak, kau baik-baik saja ‘kan?” Meutia ikut mengusap punggung Wahyuni. Ia mengedarkan pandangannya, keningnya pun berkerut saat tak mendapati siapa pun.
Sedangkan Ikram, suaminya Meutia memilih diam dan duduk di sofa ruang tamu. Dia memang memiliki pribadi yang irit bicara tidak jauh berbeda dengan abang iparnya.
“Duduk dulu, Nak. Pelan-pelan ceritakan ke Nyak. Apa yang membuatmu sampai sesenggukan begini?” Nyak Zainab lebih dulu duduk, ia menarik lengan Wahyuni. Meutia duduk di sebelah kanan kakaknya.
Wahyuni menghapus kasar linangan air matanya, menarik napas panjang agar dapat mengontrol perasaannya yang tengah kacau.
“Kak, waktu kami lewat rumah Kak Amala, Meutia melihat banyak sepeda motor yang terparkir. Apa ada acara, Kak?” ia sudah penasaran sedari tadi, biasanya rumah seberang jalan itu selalu sepi.
“Acara pertunangan Amala dengan pria lain. Ba_ng Agam diundang menjadi saksinya … hiks hiks.” Tangis Wahyuni kembali pecah, ia menutup wajahnya.
“Astaghfirullah. Kau bercanda kan, Nak?” Nyak Zainab mengguncang bahu Wahyuni. Melihat sang anak menggeleng tanda kalau ia serius, Nyak Zainab jadi kalap. “Cepat ceritakan! Bagaimana mungkin Amala kembali bertunangan dengan laki-laki lain?!”
Sambil menangis dan kosa kata terbata-bata, Wahyuni menceritakan semuanya. Tidak ada yang ditutupi.
Nyak Zainab ikutan tergugu. Membayangkan sesakit apa hati anak sulungnya, pasti Agam kecewa sekali.
“Jahat sekali Mak Syam itu. Meutia sungguh tak menyukainya! Sudah tua, tapi tak pandai mawas diri. Ih …!” Meutia memekik geram, sampai Ikram harus turun tangan.
“Sayang, ingat kamu sedang mengandung. Jaga emosinya, ya.” Ikram mengelus lembut punggung dan perut buncit sang istri.
“Ayo kita kesana! Tak mengapa bila Syamsiah enggan berbesan denganku. Tapi, tidak juga harus sampai berbuat sedemikian parah! Amala sudah ku anggap seperti anakku sendiri. Tak akan kubiarkan dia menikah dengan laki-laki seperti Hendi.”
Nyak Zainab beranjak dari sofa, ia menarik tangan Wahyuni agar menemaninya ke rumah Amala.
“Meutia ikut. Nyak ….”
.
.
Bersambung.
karya ini luar biasa