Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - Salah Sangka
"Kara, tadi aku dengar kamu manggil kak Nia teteh ... kenapa?" Ameera mulai memecah keheningan malam dengan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan.
"Orang Bandung biasanya manggil begitu, Ra ... teteh kalau sama yang lebih tua."
"Masa iya? Tapi kata Umi-nya mereka bukan asli Bandung. Cuma numpang hidup di Bandung," bisik Ameera lagi hingga membuat Lengkara menatapnya serius.
"Tapi tetap saja intinya Bandung, manggilnya boleh teteh ah Meera ribet deh." Kesabarannya seluas samudera, jadi memang agak sedikit tidak bisa diajak kompromi.
"Hahahaha terus kalau misal kak Zalina dipanggil teteh, kak Sean dipanggilnya apa?" Belum apa-apa Ameera sudah sakit perut membayangkan hal semacam ini.
"Akang kali, kang Sean gitu."
Benar saja, rahang Ameera bahkan sakit lantaran tertawa tanpa suara. Niat hati hanya ingin membuang rasa takut di kamar kecil tengah malam begini, keduanya justru lupa diri.
"Sudah buruan, Ra!! Aku takut gila."
Keduanya terpaksa ke kamar mandi belakang lantaran kamar yang mereka tempati tidak memiliki kamar mandi di dalamnya. Kebiasaan mereka yang kerap tidur larut tetap terbawa hingga ketika mereka menginap di kediaman kiyai Husain.
Suasana sunyi dan sepi sedikit menyeramkan, ditambah lagi lampu dapur yang kini mati semakin membuat keduanya kalut dalam ketakutan. Hingga, ketika melintasi tempat itu keduanya benar-benar dibuat terkejut kala menyadari sosok hitam yang hanya terlihat wajahnya saja kini berdiri di hadapan mereka.
"Baaa."
"Mama seta_!!"
"Shuuut!! Kalian berdua apa-apaan astaga!!"
Ameera yang telanjur terkejut sontak memukul dada Sean. Sama sekali tidak sengaja, tapi Sean yang berulah dengan mengarahkan cahaya ke wajahnya dari bawah membuat jantung Ameera hampir berpindah dari tempat seharusnya.
"Kak Sean otaknya dimana? Kita kaget loh, aku sampai gemeter begini," lirih Lengkara hampir menangis dengan tangan yang kini masih menggenggam jemari Ameera kuat-kuat.
"Ada, sudah sana balik ke kamar ... untung saja tidak kupukul, aku pikir maling tahu tidak?!" kesal sean sama murkanya lantaran memang kebisingan di kamar mandi membuat dia yang tengah menyiapkan air hangat untuk sang istri berpikir macam-macam.
"Marah terus, padahal waktu minjam motor suaranya selembut puding susu," sindir Ameera terang-terangan lantaran memang Sean kerap seenaknya dalam bersikap.
"Mulai diungkit-ungkit, sama saudara sendiri begitu."
"Heleh ... sudah awas, Kakak juga ngapain malam-malam begini di dapur, pasti buat ramuan ya?" tanya Ameera tampaknya masih memiliki tenaga untuk mencari perkara.
"Hahaha baru kepikiran, Akang Sean tumben banget ke dapur, masak telur ya?" tambah Lengkara yang membuat Sean semakin naik darah.
"Pakai madu sama susu, dijadiin satu terus anu."
Sean hanya diam, dia tidak mengeluarkan urat meski jujur saja ingin sekali dia melakukannya. Kedua adiknya tumbuh begitu dewasa dan mengetahui hal-hal yang tidak seharusnya.
"Kami balik kamar dulu ya, Kang Se_ aaarrggghh!! Sakit, Kak!!"
Sejak tadi Sean geram dengan keduanya. Jika sudah dibenturkan kepala yang sama-sama keras itu baru tahu rasa. Sean mendorong keduanya agar segera beralu dari tempat ini, bingung juga ajaran dari siapa adiknya bisa sesinting itu.
.
.
Jauh dari dugaan Ameera dan Lengkara, saat ini Sean tengah merawat istrinya yang mendadak panas. Berawal dari keluhan Zalina yang sakit kepala hingga berakhir dengan sadarnya Sean jika istrinya terasa panas.
Resiko membawa wanita rumahan jalan-jalan seharian penuh tampaknya memang begini. Terlebih lagi, mereka tiba di rumah sudah malam dengan udara yang cukup dingin menusuk kulit.
Sebenarnya bisa saja Sean membangunkan Mikhayla ataupun Bayu untuk menyelesaikan masalah ini. Hanya saja dia enggan dan merasa masih mampu mengatasi sendiri. Karena, dia tidak dapat mempercayai dokter-dokter yang ada di rumah ini, sungguh.
"Dingin, Mas," keluh Zalina usai Sean mengompresnya beberapa saat lalu.
Tubuhnya mendadak menggigil, tapi keningnya masih sedikit panas. Sean sudah memeluknya, tapi memang selimut setebal itu seakan tidak berpengaruh untuk Zalina.
"Masih?" tanya Sean kala dia mengeratkan pelukannya, Anggukan sang istri membuat Sean menghela napas pelan dan berpikir mungkin metode itu yang terbaik sebagai jalan tengah untuk saat ini.
Tanpa pikir panjang, Sean membuka pakaian Zalina hingga menyisakan pertahanan terakhir saja. Mata Zalina yang lelah sadar apa yang suaminya lakukan hingga wanita itu menggeleng cepat lantaran berpikir Sean hendak meminta haknya di saat begini.
"Jangan, Mas ... aku bisa mati."
Membayangkannya saja Zalina sudah lelah, apalagi jika benar-benar Sean lakukan. Pria itu menggeleng pelan, saat ini sama sekali tidak ada niatnya untuk mencari kesempatan di dalam kesempitan.
"Mau sembuh tidak?"
"Mau, tap_"
"Jangan membantah, aku hanya ingin menghangatkanmu," ucap Sean sebelum kemudian melepas pakaiannya.
Meski dia akan sedikit tersiksa lantaran menahan lapar, sudah tentu tidak dapat dia paksakan sekalipun benar-benar ingin merasakan hidangannya malam ini.
"Tumben tidak pakai doa, Mas," ucap Zalina pelan setelah beberapa saat mereka lalui berpelukan dengan keadaan hampir polos begini.
"Jangan menggodaku, Na ... imanku lebih tipis dari bayanganmu."
.
.
- To Be Continue -