Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 5
Demi menghindari fitnah, Mia cepat-cepat menuruni tangga bambu. Tiba di bawah, seorang wanita yang tak kalah gendut dengan pria di atas, sudah menunggu di sana dengan tatapan sinis.
Mia menarik napas berat, benar saja apa yang dia pikirkan. Tatapan mata curiga wanita tersebut sudah suatu jawaban bahwa Mia telah di fitnah.
"Heh, janda gatal! Baru tinggal sehari di tempat ini sudah berani merayu suami saya" Wanita yang Mia kenal itu marah-marah.
"Ibu salah sangka" Mia berusaha menjelaskan, tetapi si wanita tetap menuduh Mia merayu suaminya.
Bluk.
Pria gemuk pun lompat dari tangga hingga tanah di depan kamar Mia pun bergetar. Istri pria itu berpaling dari Mia, lalu beralih menatap suaminya tajam. Tangannya dia lipat di dada dengan wajah menyeringai.
"Mamak" si pria menggaruk kepalanya yang tanpa rambut. Takut, yang dia rasakan, karena pria itu tergolong pria takut istri, tetapi ketika di depanya saja. Jika di belakang matanya jelalatan.
Kesempatan itu digunakan Mia mendekati si pria dengan wajah sinis.
"Pak, sekarang jelaskan kepada istri Anda! Apa tujuan Anda datang kesini? Jika tidak mau menjelaskan kepada istri Anda, lihat ini!" Mia meraup puing genteng yang akan dia lempar ke wajah pria itu dengan penuh ancaman, tidak ada rasa takut sama sekali.
Pria itu ngeri melihat dua wanita di depanya.
"Aku tidak bermaksud apa-apa kok Mak. Bapak tadi kan kebetulan lewat jalan ini, terus melihat Mbak nya ada di atas genteng. Bapak bermaksud membantu. Eh, Mbak nya malah menolak" Dalih si pria, lalu berjalan mendekati istrinya.
"Ayo Mak, kita pulang" si botak mengait lengan istrinya, tetapi di tepis.
"Ayo Pak, kita pulang" si wanita mengucap kata yang sama. Giginya gemerutuk , tangannya menarik telinga suaminya.
"Mak-Mak. Aduh, duh, duh" Si pria pun meringis, berjalan pontang panting dalam cengkraman istri.
"Astagfirullah..." Mia hanya bisa Istigfar memandangi mereka yang sudah meninggalkan rumahnya.
Mia membuang puing di tempat sampah, lalu mengangkat tangga mengembalikan kepada Putri.
"Terimakasih Mbak" Mia menyenderkan tangga di bawah pohon mangga, di mana dia meminjam.
"Sama-sama, Mia" Putri baru keluar nampak sedang membetulkan kancing daster paling atas.
"Barusan aku mendengar ribut-ribut, ada apa Mia?" Putri sebenarnya hendak melihat keluar, tetapi sedang menyusui si kecil.
"Nggak ada apa-apa Mbak Putri" Mia tidak mau bercerita, lalu bertanya hal yang lain. Darimana para tetangga tahu bahwa dirinya adalah seorang janda. Padahal dia hanya bercerita dengan Putri.
"Masa sih Mia, tadi pagi aku hanya cerita dengan Bu Yuli" jujur Putri. Dia menceritakan saat menjemur pakaian tadi pagi. Padahal hanya bicara seklumit tentang Mia kepada bu Yuli. Entah cerita dengan siapa lagi bu Yuli, nyatanya berita ini sudah menyebar.
"Nggak apa-apa Mbak, jangan di pikirkan, karena aku memang sudah janda bukan?" Mia tersenyum masam, lalu pamit ke dalam rumah masih banyak yang akan dia kerjakan.
Begitulah satu rahasia jika sudah sampai di telinga orang lain. Tentu saja sudah bukan merupakan rahasia lagi. Dari satu mulut ke mulut yang lain. "Jangan bilang-bilang sama orang ya, cukup kita yang tahu" pesan sumber berita, tetapi tidak semudah itu bagi kebanyakan orang untuk menutup aib seseorang. Pada akhirnya cerita lagi dengan orang lain seperti kasus Mia. Itulah salah satu berkembangnya isu di luar sana, hingga melebar.
Hari ini Mia gunakan untuk beres-beres, bahkan makan pun membeli. Karena semua perabot masih di rumah yang lama.
Keesokan harinya, Mia memutuskan ke rumah lama. Dia akan mengambil peralatan dapur lebih dulu sebelum jualan. Kali ini Mia hendak menyewa motor beroda tiga, karena hanya akan mengangkut yang ringan-ringan saja.
Mia berjalan meninggalkan rumah, walaupun siulan-siulan pria usil sepanjang gang membuat hatinya kesal. Tetapi, Mia memilih diam melanjutkan perjalanan menuju tempat penyewaan kendaraan yang tidak jauh dari rumah.
"Ada perlu apa Mbak?" Tanya salah satu pria yang menjaga ruko untuk menyewakan pick up, motor, sepeda, bahkan becak pun ada.
"Saya mau menyewa motor roda tiga, Mase," Mia mengutarakan maksud kedatangannya. Setelah di setujui dan sepakat harga, Mia membuka dompet lalu membayarnya.
"Mia..." Sapa suara berat, menghentikan langkah Mia yang hendak mengikuti pria menuju motor yang akan dia sewa.
"Jaka, kamu disini?" Tanya Mia. Baru tinggal dua hari di sini sudah bertemu jaka dua kali.
"Iya" Jaka tersenyum senang karena tiba-tiba bertemu Mia di tempat penyewaan miliknya tanpa memberi tahu Mia.
"Ada perlu apa kamu? Tumben." Jaka sudah berada di depan Mia.
"Oh ini, lagi menyewa motor beroda tiga" Mia menjelaskan. Tetapi lagi-lagi dia risi dengan tatapan mata Jaka yang dia yakini mengaguminya.
"Aku ikut mengantar kamu, ya" Jaka bersemangat.
"Tidak usah" tolak Mia, dia tentu tidak mau menjadi gunjingan lagi. Dengan statusnya sekarang, Mia harus bisa membawa diri. Tetapi, Jaka sudah masuk ke dalam box lebih dulu. Mau tak mau, Mia pun mengikuti.
Gerobak pun bergerak karena pria di depan sana sudah menjalankan motor. Mia memilih duduk paling pinggir di dekat pintu menatap jalanan.
"Mia..." Panggil Jaka, tetapi Mia melamun.
"Mia... heee..." Jaka menyeret bokongnya mendekati Mia.
Mia yang memang sedang resah karena keberadaan Jaka, terkesiap ketika tanganya terasa ada yang menyolek.
"Ada apa?" ketus Mia lalu pindah duduk menjauh dari Jaka.
Hening di dalam box, Jaka tidak berani mengajak bicara Mia yang tengah gelisah. Motor pun berhenti, kerena Mia sudah tiba di rumahnya yang lama.
"Jak, aku turun dulu" ucap Mia, bersamaan dengan kakinya yang lompat ke jalanan.
Mia kurang tahu Jaka menjawab apa, karena dia terburu-buru mengetuk pintu rumah lama.
******************
"Mia... kalau perabot dapur kamu ambil semua, terus Mas Slamet masak pakai apa?" Tanya Ranti kesal. Wanita yang hanya mengenakan celana di atas lutut dan kaos ketat itu nampak murka.
"Siapa bilang saya ambil semua? Yang saya bawa hanya barang-barang yang saya beli pakai uang hasil kerja keras saya sendiri kok," jawab Mia. Tangannya menurunkan panci, langseng, penggorengan yang Mia gantung di paku yang dia tancapkan di tembok. Semua perabot pun besar, karena yang biasa Mia gunakan untuk menanak kue, menggoreng, dan juga alat untuk merebus jamu.
"Kamu keterlaluan Mia! Nanti saya adukan Mas Slamet!" Ancam Ranti dengan suara membentak.
"Adukan saja, siapa takut" Mia melempar tatapan sengit ke arah Ranti.
"Kamu harus tahu Ranti, kalau Mas Slamet mencari nafkah itu memang untuk istri. Tetapi, jika saya sebagai istri mencari uang, seharusnya hanya untuk diri saya sendiri" Mia bukan bermaksud mengungkit, tetapi sakit hati yang ditorehkan Slamet membuatnya menjadi wanita yang sedikit egois.
Selama ini Mia tidak pernah hitung-hitungan tentang penghasilan. Apa lagi sampai mengungkit masalah nafkah. Bagi Mia seberapapun nafkah yang diberikan Slamet kepadanya, dia tidak pernah mengeluh kurang. Walaupun memang jauh dari kata kurang, tetapi Mia memilih bekerja keras. Rupanya Slamet yang membuatnya menjadi seperti ini.
"Lihat Ranti, kompor ini tidak saya bawa, karena suami kamu yang membeli. Tetapi besok, saya akan kembali lagi ambil lemari, tempat tidur, dan juga kursi. Itu semua barang milik saya," Mia pun berlalu keluar sambil membawa sisa perabot yang sudah di angkat pegawai Jaka.
Prank. Prank. Prank.
Mia tidak menoleh lagi, walaupun mendengar benda pecah yang di lempar-lempar Ranti. Tiba di pinggir jalan, seorang pria yang dia kenal tengah menjalankan motornya ke arahnya.
...~Bersambung~...
peran Slamet sebagai suami apa?
kalau pengangguran gampang banget poligami