Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melakukan
Saat ini, Karina sedang bersiap untuk bertemu dengan Ratna, seorang wanita yang sama sekali tidak ia kenal.
Ratna tiba-tiba menelepon di tengah kepanikan Karina, saat ia sibuk mencari ayahnya yang menghilang tanpa jejak dan tak memberikan kabar apa pun.
"Siapa wanita ini? Apa hubungannya dengan Ayah? Dan kenapa dia menyekap Ayah?" batin Karina, hatinya dipenuhi rasa takut bercampur kebingungan.
Dengan perasaan cemas yang terus mengganjal, ia bergegas menuju tempat yang telah mereka sepakati, berharap mendapatkan jawaban, meski rasa takut terus mengintainya.
Karina akhirnya tiba di tempat yang telah disepakati, sebuah kafe kecil di pinggir kota. Suasananya sepi, hanya beberapa meja yang terisi, dan aroma kopi hangat bercampur udara dingin sore itu.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, matanya langsung mencari sosok wanita yang sesuai dengan deskripsi suara di telepon.
Setelah cukup lama mencari dan mengamati setiap sudut kafe, akhirnya Karina menemukan wanita yang ia duga adalah Ratna.
Wanita itu duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh dua pria bertubuh kekar yang mengenakan jas hitam, lengkap dengan atribut seorang bodyguard. Sementara itu, Ratna sendiri mengenakan pakaian mewah, dengan perhiasan mencolok yang menyiratkan statusnya. Tatapannya tenang, tetapi ada kilatan kelicikan di balik senyumnya yang tipis.
Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatasi rasa gugup yang menghantui dirinya. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, lalu bertanya dengan suara yang nyaris bergetar, "Apakah Anda Ratna?"
Wanita itu mengangkat alisnya, tersenyum samar, dan menjawab dengan tenang, "Ya, saya Ratna. Anda pasti Karina."
Tanpa disuruh, Karina menarik kursi di depannya dan duduk, meski tangannya gemetar.
"Apa yang Anda lakukan kepada Ayah saya? Kenapa Anda menyanderanya?" tanya Karina dengan nada tajam, meskipun suaranya terdengar bergetar menahan emosi.
Ratna hanya tersenyum tipis, lalu bersandar santai di kursinya. "Sederhana saja, Karina. Aku ingin kau menuruti satu permintaanku," katanya dengan nada suara dingin dan penuh perhitungan.
"Kau harus menikah dengan Revan."
Karina membelalakkan matanya, tercengang. "Apa? Revan?"
"Ya, Revan, anakku. Kau pasti sudah tahu siapa dia," jawab Ratna dengan senyum sinis.
"Apa maksud Anda? Kenapa saya harus menikah dengannya?" Karina mencoba menahan amarah dan kebingungannya.
Ratna menatapnya tajam, lalu berkata dengan tegas, "Karena ini adalah rencanaku. Kau hanya perlu melakukannya, tanpa banyak pertanyaan."
Ratna berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada dingin, "Aku menyandera ayahmu agar kau tidak punya pilihan selain menuruti keinginanku. Dengan begini, aku memegang kendali penuh atas hidupmu."
Karina menunduk sejenak, pikirannya berkecamuk. Tapi ia tahu, menolak bukanlah pilihan. "Baik," katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Saya bersedia melakukan keinginan Anda."
Di balik ucapannya, Karina sebenarnya bingung. Ia bahkan tidak yakin siapa Revan yang dimaksud Ratna. Apakah ini orang yang pernah membuatnya merasakan sesuatu? Atau orang asing yang sama sekali tak ia kenal?
Ratna tersenyum puas. "Bagus. Sekarang ikut denganku. Aku akan mempertemukanmu dengan Revan."
Wanita itu bangkit dari kursinya, diikuti oleh kedua bodyguard-nya. Ia berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di depan kafe.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Karina juga bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah ragu namun tanpa pilihan, ia mengikuti Ratna keluar dari kafe, menuju arah yang bisa mengubah hidupnya selamanya.
Walapun dirinya juga menginginkannya, kalau orang tersebut adalah Revan yang dirinya kenal.
Karina melangkah masuk ke dalam mobil mewah yang sudah menunggu di depan kafe. Interiornya terasa dingin, baik karena pendingin udara maupun atmosfer yang penuh ketegangan. Ratna duduk di sebelahnya, masih dengan ekspresi dingin dan penuh kendali. Dua bodyguard tadi duduk di kursi depan, memastikan semuanya terkendali.
Selama perjalanan, Karina hanya bisa menatap jendela, mencoba memahami situasi yang tak masuk akal ini. Pikiran-pikiran liar memenuhi kepalanya. Mengapa dirinya begitu penting bagi Ratna? Dan apa yang sebenarnya terjadi? Hingga dirinya bisa terlibat dalam masalahnya.
"Apa kau gugup?" tanya Ratna tiba-tiba, memecah keheningan.
Karina menoleh, sedikit terkejut. "Tidak. Saya hanya tidak mengerti apa yang sedang terjadi."
Ratna tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada mencibir, "Kau tidak perlu mengerti. Kau hanya perlu menurut. Lagipula, ini bukan hanya untukku, tapi juga untuk masa depanmu."
Karina menahan diri untuk tidak membalas ucapan itu. Baginya, masa depan apa pun yang dipaksakan tidak mungkin terasa seperti miliknya.
Setelah perjalanan sekitar 30 menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya klasik yang mewah. Pagar tinggi dengan ukiran elegan membingkai halaman yang luas, lengkap dengan taman bunga yang tertata rapi.
"Turunlah," perintah Ratna sambil membuka pintu mobilnya.
Karina mengikuti, mencoba menenangkan rasa gugupnya. Langkahnya terasa berat ketika mereka mendekati pintu utama.
Begitu mereka masuk, aroma ruangan yang dingin dan lantai marmer yang berkilauan menyambutnya.
Ratna membawa Karina ke sebuah kamar yang berada di lantai atas rumah besar itu. Pintu kayu berukir terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan luas dengan pencahayaan temaram. Di tengah ruangan terdapat sebuah ranjang besar dengan seprai putih bersih, dan di atasnya terbaring seorang pria.
Karina menghentikan langkahnya sejenak, matanya membulat saat mengenali siapa yang ada di sana. Seorang pria dengan wajah tampan namun tampak begitu lemah, tubuhnya terkulai tak berdaya. Wajahnya pucat, seperti orang yang baru saja melewati masa-masa sulit.
"Itu Revan," kata Ratna tanpa basa-basi, suaranya datar namun tajam. "Sekarang, kau tahu apa yang harus kau lakukan."
Karina menoleh ke arah Ratna, bingung dan gugup. "Apa maksud Anda?" tanyanya pelan, meski sebenarnya ia sudah mulai memahami arahan mengerikan itu.
Ratna mendekat, menatap Karina dengan pandangan dingin yang membuat bulu kuduknya meremang. "Aku ingin kau masuk dan tidur bersamanya. Buat seolah-olah kalian sudah melakukan sesuatu. Aku tidak peduli bagaimana caramu melakukannya. Yang penting, ketika dia bangun, dia percaya bahwa kalian telah melakukan sesuatu hubungan."
Karina berdiri terpaku di ambang pintu, menatap sosok Revan yang terbaring lemah di ranjang besar itu. Cahaya temaram dari lampu kamar memantulkan bayangan lembut di wajah pria tersebut. Karina menarik napas panjang, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Perlahan, ia melangkah mendekat, langkah kakinya nyaris tak terdengar di lantai marmer yang dingin. Ia duduk di tepi ranjang, membiarkan matanya mengamati wajah Revan. Wajah itu tampak tenang meskipun tubuhnya terlihat begitu lemah dan tak berdaya.
Dalam diam, Karina membiarkan pikirannya berkecamuk. Perasaan asing mulai menyelubungi hatinya, membuat dadanya terasa sesak namun hangat. Ada sesuatu tentang Revan yang menariknya, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Tanpa disadari, jemarinya perlahan bergerak, menyentuh lembut tangan Revan yang terkulai di atas seprai putih. Sentuhan itu membuatnya semakin yakin bahwa perasaannya kepada pria ini lebih dari sekadar keterpaksaan.
"Aku tahu ini salah," pikir Karina.
"Tapi… aku juga tahu, aku ingin melakukan ini. Bukan karena Ratna memaksaku, tapi karena aku ingin dekat dengannya."
Ia menghela napas panjang, menatap wajah Revan lebih lama. Keraguan kembali menghantui, membisikkan bahwa mungkin ini bukan hal yang baik untuknya. Namun, bersamaan dengan itu, ada suara lain yang membujuknya, mengatakan bahwa untuk pertama kalinya, ia ingin merasakan cinta.
"Biarkan saja," bisiknya pada dirinya sendiri.
"Yang terpenting, aku bahagia dengan Revan."
Karina memutuskan untuk mengikuti kata hatinya. Meski situasi ini dipenuhi intrik dan tekanan, ia memilih melihatnya sebagai kesempatan untuk merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya, cinta pertama.
Dengan perlahan, ia membungkuk sedikit, membisikkan sesuatu di dekat telinga Revan. "Aku di sini. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kita nanti, tapi aku ingin mencoba… untuk mencintaimu."
Hatinya bergetar, namun ia merasa sedikit lebih tenang. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya percaya bahwa kebahagiaan bisa ditemukan, bahkan dalam situasi yang begitu rumit.
Saat Karina membisikkan kata-kata itu, sebuah emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya mulai tumbuh di hatinya.
Ia tak tahu apakah ini cinta atau sekadar dorongan sesaat karena situasi yang memaksanya. Yang ia tahu, ia ingin melindungi Revan, apa pun yang terjadi.
Tangan Revan bergerak sedikit, sebuah gerakan halus yang hampir tidak terlihat. Karina terkejut, menatap wajah pria itu dengan cermat. Matanya masih terpejam, tetapi bibirnya tampak berusaha mengeluarkan suara.
“Revan?” panggil Karina pelan, berharap ada respons lebih jelas.
Namun, Revan tetap dalam kondisi lemah, napasnya terdengar berat namun stabil. Karina merasa hatinya semakin terikat pada pria ini, meski ia bahkan tidak benar-benar mengenalnya.
Tanpa basa-basi lagi ia melepaskan pakaiannya, satu persatu hingga menyisakan pakaian dalam.
Lalu berbaring di samping Revan, menyelimuti tubuhnya, dan memeluk Revan.