Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Baik di Tengah Masalah
Meskipun telah selamat dari kobaran api di mansion, Dominic dan Ruby tetap mendapatkan serangan dari keluarga Larsen. Bahkan, Robin juga terluka parah akibat serangan itu.
Namun, di balik semua penyerangan yang terjadi, Ruby kini tahu bahwa ayah dan ibunya telah menjadi tawanan keluarga jahat itu. Mereka menggunakan orang tua Ruby untuk mengancam Dominic. Pria yang saat itu Dominic lihat di pesta, merupakan ayah Ruby yang palsu. Pria itu menggunakan topeng wajah ayahnya Ruby.
"Jika kita bergerak, mereka pasti akan melenyapkan ayah dan ibuku. Aku tidak mau hal itu terjadi, Dom," ucap Ruby, raut wajahnya terlihat sedih sekali.
Dominic tahu apa yang istrinya rasakan sekarang. Dia juga tidak akan gegabah mengambil keputusan yang bisa merugikan mereka semua, terutama Ruby, yang kedua orang tuanya berada di tangan keluarga Larsen.
"Tenanglah, aku pasti bisa mengatasinya," bisik Dominic, menenangkan Ruby.
Ruby menatap Dominic. "Aku yakin kau pasti bisa mengatasi semua ini."
Dominic hanya mengangguk. Dia meminta Ruby untuk duduk dengan tenang, dan dia akan ke kamar melihat kondisi Robin saat ini.
Dokter kepercayaan Dominic sedang menangani Robin. Pria itu terluka cukup parah dan butuh waktu lama untuk sembuh.
"Tuan, untuk sementara waktu aku tidak bisa membantumu," kata Robin dengan suara yang lirih.
"Tidak masalah, kau cukup fokus pada kesembuhanmu. Aku akan mengatasi semua ini," sahut Dominic.
...----------------...
Beberapa Minggu berlalu..
Selama ini, tidak ada penyerangan apapun. terlalu damai juga membuat Dominic merasa terancam. Dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh keluarganya.
Saat ini, Dominic berdiri di depan jendela ruang kerjanya, memandangi halaman luas mansionnya yang lain. Mansion itu kini dipenuhi penjaga bersenjata.
Kepalanya penuh dengan rencana dan skenario, namun tatapannya tetap kosong. Pikiran tentang bagaimana membebaskan orang tua Ruby dari cengkeraman keluarga Larsen terus menghantui. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan matang. Kesalahan kecil bisa membuat semuanya berantakan, termasuk nyawa Ruby dan keluarganya.
Ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan. Ruby adalah prioritas utamanya, terutama setelah kejadian beberapa malam lalu ketika mansion mereka terbakar habis dan terpaksa harus tinggal di mansion lain. Paul Larsen tidak akan berhenti sampai Dominic lenyap dari muka bumi. Namun, Dominic tidak akan membiarkan dirinya jatuh tanpa perlawanan.
Pintu ruang kerja diketuk pelan. "Masuk," kata Dominic tanpa menoleh.
Ruby melangkah masuk, wajahnya pucat, tetapi ada kilatan kegelisahan dalam tatapannya. Dominic langsung memperhatikan perubahan itu.
"Kau sakit lagi, Ruby?" tanyanya, nadanya tegas tetapi penuh perhatian tersembunyi.
Ruby mengangguk, duduk di sofa dengan gerakan lemah. "Setiap pagi aku merasa mual. Aku pikir hanya kelelahan, tapi… rasanya semakin buruk."
Dominic menatapnya dengan seksama. Kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya. Ia tidak pernah melihat Ruby selemah ini sebelumnya. Istrinya itu begitu kuat, namun sekarang malah tampak sangat lesu.
"Aku akan memanggil dokter sekarang," katanya tegas, mengambil ponselnya tanpa menunggu persetujuan Ruby.
"Dominic, aku baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat sebentar saja."
Namun Dominic mengabaikannya. Bagi pria itu, tidak ada yang lebih penting dari memastikan Ruby sehat dan aman. Setelah beberapa menit berbicara di telepon, ia menutup panggilannya dan mendekati Ruby, duduk di sampingnya.
"Aku tidak akan mengambil risiko," ujarnya, menatap Ruby dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu."
***
Satu jam kemudian, dokter datang dan memeriksa Ruby dengan teliti. Dominic berdiri di sudut ruangan, kedua lengannya terlipat di depan dada. Matanya terus mengawasi setiap gerakan dokter, memastikan bahwa pria itu melakukan pekerjaannya dengan benar.
Setelah selesai, dokter berdiri dan tersenyum kecil. "Tuan Larsen, ada kabar baik."
Dominic menatap dokter itu dengan alis terangkat, menunggu penjelasan.
"Nyonya Ruby sedang mengandung. Usianya kira-kira empat minggu."
Waktu seolah berhenti. Ruby menatap dokter dengan mata membelalak, sedangkan Dominic berdiri kaku, pikirannya berhenti sejenak untuk memproses kabar tersebut.
"Aku… hamil?" Ruby akhirnya bersuara, hampir berbisik.
Dokter mengangguk sambil tersenyum. "Gejala mual di pagi hari adalah tanda awal yang umum. Aku akan memberikan resep vitamin untuk membantu mengurangi rasa mual dan menjaga kesehatan ibu dan bayi."
Dominic tidak mengatakan apa pun. Ia masih berdiri di tempatnya, menatap Ruby yang kini menunduk, memegangi perutnya dengan tangan gemetar. Perlahan, Dominic berjalan mendekat, lalu berlutut di hadapan istrinya.
"Ruby," katanya, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kita akan melindungi bayi ini. Aku akan melindungi kalian berdua."
Ruby mendongak, air mata mengalir di pipinya. Dominic mengulurkan tangan, menyentuh pipinya dengan lembut. Dalam keheningan, ada sesuatu yang berubah di antara mereka—sebuah kehangatan yang jarang terlihat dari pria itu.
"Tidak ada yang boleh tahu bahwa aku sedang hamil, Dom. Aku takut mereka menggunakan kesempatan ini untuk mencelakai kita," bisik Ruby.
Dominic mengangguk. Saat dokter yang memeriksa Ruby bersiap untuk pulang, Dominic meminta waktunya untuk membicarakan hal ini di ruangan lain. Dokter itu mengangguk dan segera mengikuti Dominic ke ruangan kerja pria itu.
***
Malamnya, Dominic kembali ke ruang kerjanya setelah memastikan Ruby beristirahat. Namun, kini ia tidak lagi sendirian dalam pikirannya. Ada Ruby, bayi mereka, dan keluarganya yang masih menjadi tawanan. Semua itu membuatnya lebih bertekad.
Ia memanggil beberapa orang kepercayaannya untuk menyusun rencana. "Paul Larsen mungkin mengira dia punya kendali penuh, tapi aku akan membuatnya menyesal," kata Dominic dengan dingin.
"Kita harus memotong akses mereka ke kekuatan utama," lanjutnya, menunjuk peta besar yang menunjukkan lokasi-lokasi penting milik keluarga Larsen. "Kita bebaskan orang tua Ruby terlebih dahulu. Tapi aku tidak akan bertindak gegabah. Mereka akan berpikir aku melemah, sementara aku menghancurkan mereka dari dalam."
Seorang pria bertanya, "Apa yang harus kita lakukan tentang keamanan di mansion ini?"
Dominic menatapnya tajam. "Lipat gandakan penjaga. Pastikan Ruby selalu dalam pengawasan. Dia adalah prioritas utamaku. Kalau dia sampai terluka…" Ia berhenti, tapi tatapannya cukup untuk membuat pria itu mengangguk takut-takut.
Dominic kembali duduk, memandangi peta di depannya. Di sela-sela tragedi yang sedang ia hadapi, bayi yang dikandung Ruby menjadi pengingat bahwa ada harapan di tengah kegelapan. Namun, harapan itu juga datang dengan tanggung jawab yang lebih besar. Dan Dominic tidak akan mundur.
"Paul Larsen tidak tahu dengan siapa dia berurusan," gumamnya pelan. "Sekarang, dia harus membayar semuanya. Aku tidak peduli meskipun dia ayahku. Dia bahkan ingin membunuhku!" gumam Dominic.
Setelah semua anak buahnya meninggalkan ruang kerjanya, Dominic kembali termenung. Dia memejamkan matanya, memikirkan semua masalah yang sedang dia hadapi.
"Aku tidak boleh lemah dan kalah. Tidak boleh ada Elisa lainnya yang tidak bisa aku selamatkan!"
...****************...
baru kali ni aku julid di lapak Cici /Grin//Grin/ maafkan aku yaa author kesayangan 😘