"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 | Ayo Kita Bolos!
“Jadi gimana?” Nara bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
“Entah.” Aku menjawab singkat, mencoba memotong percakapan.
Samar-samar, bunyi bel pergantian jam terdengar dari kejauhan, menyelamatkanku dari topik yang mulai membuatku tidak nyaman.
“Aku udah selesai ngerjain tugas,” kataku sambil menutup buku catatanku. “Yuk, balik ke kelas.”
Aku bangkit dari kursi dan bersiap untuk pergi, berharap obrolan ini selesai di sini. Tapi tentu saja, Nara bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.
“Tunggu, Aura!” Dia menarik lenganku, memaksaku berhenti. “Mumpung di sini, ayo kita bolos sekalian sampai jam istirahat.”
Aku menatapnya dengan mata terbelalak. Apa? Dia serius? Mengajakku bolos? Besar juga nyali anak ini.
“Bolos?” Aku mengulang kata itu dengan nada tidak percaya.
Nara hanya tersenyum penuh arti. Dia juga ikut berdiri, lalu tanpa ragu menggandeng tanganku. “Ayo ke kantin. Aku traktir makan mi ayam,” katanya dengan santai, seolah itu hal paling normal di dunia.
“Tapi... ta-tapi...” Aku tergagap, mencoba mencari alasan untuk menolak.
“Udah, ikut aja. Sekali-kali juga kita bolos. Nggak apa-apa, kok,” ucapnya sambil menarikku pelan.
Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku kesulitan untuk menolak. Mungkin karena dia terdengar begitu yakin, atau mungkin... karena aku memang ingin tahu seperti apa rasanya melanggar aturan untuk pertama kalinya.
Kami berjalan menyusuri lorong sekolah yang lengang. Sepi sekali, hampir tidak ada suara kecuali langkah kaki kami yang bergema di sepanjang dinding. Aku sesekali melirik ke arah jendela kelas, khawatir ada yang melihat kami.
“Jangan khawatir, Aura. Nggak ada yang akan tahu kok,” kata Nara, seolah bisa membaca pikiranku.
Tapi, siapa sangka. Aku bertemu Ryan dan gerombolan anak laki-laki, temannya, yang sedang menikmati waktu di kantin setelah habis pelajaran olahraga.
“Aura, kamu dari mana saja? Aku nyariin kamu dari tadi.” Ryan berjalan ke arahku, terlihat masih mengenakan pakaian olahraga yang basah kuyup karena keringat.
Aku terdiam sejenak. Rasanya aneh bertemu Ryan di sini, setelah tadi aku sempat bolos bersama Nara. Aku sempat merasa sedikit cemas, tapi aku mencoba menyembunyikan perasaan itu.
“Aku ada di taman tadi.” Jawabku singkat, mencoba terdengar biasa saja.
Aku memandang anak laki-laki sekelasku yang duduk bersama Ryan. Ada Edo yang biasa duduk di barisan depan. Mereka tampak santai, seolah tidak ada yang aneh dengan pertemuan ini. Tapi aku merasakan sedikit ketegangan dalam udara sekitar kami. Apalagi dengan Ryan yang tiba-tiba muncul.
“Kalian lagi apa di sini? Bukannya habis ini masih ada pelajaran, ya?” tanyaku, mencoba memecah kecanggungan.
Ryan masih mengenakan pakaian olahraga dengan keringat yang bercucuran, menunjukkan bahwa dia baru saja selesai berolahraga. Ryan tertawa kecil dan mengangkat bahunya.
“Kelas kita jamkos. Di kelas masih ada cewek-cewek yang ganti seragam olahraga. Jadi kita ngumpul di sini dulu,” ucapnya dengan nada santai.
“Oh,” jawabku singkat, meski aku masih merasa aneh.
Biasanya, mereka langsung ganti pakaian dan buru-buru kembali ke kelas setelah olahraga. Tapi kali ini, sepertinya semuanya terasa berbeda.
Aku melirik Nara di sampingku. Sejak bertemu Ryan, ekspresinya berubah drastis. Tadi, dia tampak ceria dan antusias, tetapi kini wajahnya cemberut.
“Ryan! Dia masih jadi sainganku!” gumam Nara pelan, seakan tidak ingin Ryan mendengar.
Aku menoleh ke Nara dan melihat dia mengerutkan kening, jelas sekali dia tidak senang dengan kehadiran Ryan di sini. Aku bisa merasakan gelombang emosi yang tiba-tiba muncul dari Nara.
“Saingan?” tanyaku berbisik padanya, penasaran.
Nara mengangguk dengan ekspresi kesal yang semakin terlihat jelas. “Aku masih belum terima dia jadi peringkat pertama di ujian masuk sekolah ini.”
Nara semakin kesal, suaranya sedikit meninggi, meskipun dia berusaha menahannya. Aku sedikit terkejut mendengar itu. Nara, yang selalu menunjukkan sisi kuat dan mandiri, ternyata merasa terancam dengan prestasi Ryan.
Tapi sifatnya sangat tidak biasa. Dia yang mengajakku bolos di kantin sekarang, tiba-tiba bisa berubah seperti ini karena sebuah peringkat ujian. Aku menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan kerumitan yang ada di pikiranku. Ryan tampak tidak mendengar kata-katanya itu.
“Ayo duduk di sini, Aura,” ajak Ryan, sambil menyeringai dan menggeser kursinya sedikit. “Ajak juga teman cewekmu itu.”
Aku mengangguk dan duduk di hadapan Ryan, berusaha menghindari ketegangan yang baru saja muncul. Begitu pula, Nara. Dia menempel di sebelahku, mengikuti aku duduk, meskipun dengan ekspresi yang masih tampak cemberut.
“Ngomong-ngomong, kamu anak kelas sebelah, ya? Nggak takut dicariin Pak Wahyu kalau bolos pelajaran matematika?” Ryan melontarkan pertanyaan itu pada Nara dengan nada ringan, seolah dia tidak merasa ada yang aneh dengan keadaan ini.
“Bukan urusanmu!” jawab Nara ketus, membuat suasana jadi sedikit lebih tegang.
Aku bisa melihat Nara berusaha menahan amarahnya. Ryan tidak terganggu dengan jawaban Nara, malah tersenyum dan melanjutkan makan. Aku bisa melihat betapa dia menikmati suasana yang tidak terlalu serius ini, sepertinya dia tidak pernah terlalu memikirkan hal-hal kecil yang bisa jadi masalah bagi orang lain.
“Ryan, aku sudah selesai ngerjain tugas,” ucapku, mencoba memecah ketegangan antara mereka berdua.
Aku menyodorkan buku tulisku dan buku paket milik Ryan kembali, berharap ini bisa mengalihkan perhatian mereka dari saling menatap tajam.
“Oke! Nanti aku yang ngumpulin ke ruang guru,” kata Ryan, menerima buku tulisku dengan sikap santai, seakan tidak ada yang mengganggu jalannya percakapan.
Seketika, pegawai kantin datang mengantarkan pesanan Ryan dan teman-temannya. Makanan yang mereka pesan tampak sangat menggoda. Mi ayam dan bakso, membuat perutku sedikit keroncongan meskipun aku tadi sudah sarapan di rumah.
“Kamu nggak mau pesan makanan, Aura?” tanya Ryan padaku, menatapku dengan wajah penasaran.
“Nggak, aku bawa bekal. Nanti saja pas istirahat aku makannya,” jawabku, mencoba menghindari rasa malu kalau aku malah makan terlalu cepat atau banyak di depan mereka.
Tiba-tiba Nara nimbrung, “Aku nggak ditanyain, nih?”
“Gak,” jawab Ryan sambil menyeruput kuah baksonya dengan santai, seolah itu jawaban yang paling wajar.
Nara langsung mendecap, seolah kecewa. Melihat ekspresi Nara yang kesal dan Ryan yang cuek, aku tidak bisa menahan tawa kecil. Situasi yang semula sedikit canggung, kini terasa lebih ringan.
...»»——⍟——««...