Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 18
Trio mulai linglung, malam itu ingatannya kembali pada gadis belia yang pernah ia cintai meski sesaat. Jujur walau ada niat jahat pada Devani, perempuan itu telah berhasil menaklukkan hati dan pikirannya, tapi bagaimana mungkin ia bisa menjamah gadis itu yang menurutnya sangat jauh di atas kemampuan dirinya untuk memiliki. Devani sangat kaya dan anak tunggal, sedangkan dia hanya terlahir di keluarga miskin dengan memiliki banyak saudara yang tidak jelas arah hidupnya. Keluarga Devani cukup bersih dan terhormat, sedangkan keluarganya sudah sering keluar masuk penjara dengan kasus kejahatan yang tidak sama. Malu rasanya jika Trio harus kembali menemui Devani apa pun alasannya. Devani juga akan melanjutkannya tkan pendidikan yang cukup tinggi dan ternama sedangkan dirinya hanya lulusan SMA bahkan kuliahnya di drop out karena kenakalan dan ketidak mampuan dalam membayar semester.
Pagi itu masih terlalu buta untuk pandangan yang jelas. Trio keluar dari rumah menuju teras dengan segelas teh hangat yang ia buat sendiri, Trio memang sering terlalu pagi bersiap untuk pergi bekerja, ia bekerja tanpa libur, kalau pun sakit masih ia paksa. Tekatnya sangat kuat, ia masih punya mimpi melanjutkan pendidikan dan kelak ingin membangun usaha. Beberapa kali teh hangat di seruput. Sebatang rokok sudah habis di cuaca yang cukup dingin. Kebetulan tempat tinggal Trio dekat dengan pegunungan sehingga saat pagi cuaca akan sulit dikendalikan. Ia menggunakan mantel tipis, itu mungkin tidak seutuhnya melihat melindungi dari hypotermia, namun karena sudah biasa, Trio bisa menahannya.
Jam 07:10 Trio berangkat dengan motor matic jadul yang dijadikan kendaraan andalan menuju rumah Agung untuk masuk bersama.
"Aku hari ini ambil cuti Yo, kamu duluan aja." Agung memutus perkataan tanpa jawaban dari Trio. Ia langsung berbelok meninggalkan halaman rumah sahabatnya dan lanjut meneruskan perjalanan ke cafe. Dalam perjalanannya, Trio menikmati setiap waktu yang dilewati, bayangannya seakan selalu mengajak pada skala besar di masa lampau, berandai-andai bak anak kehilangan ibu.
"Andai dulu aku tidak menuruti perintah ibu, andai dulu aku baik dalam melanjutkan kuliah, pasti sekarang aku tidak akan merana dan menggantung semua mimpi tanpa arah dan tujuan. Aku benci hidupku." tak terasa, setetes air mata membasahi pipi yang jatuh dari kornea matanya, Trio sebetulnya sangat lemah, ia hanya dikuatkan oleh kehendaknya, Trio menutup segala luka sendirian.
*****
Aku mungkin mulai melupakan Trio yang jauh di sana, hariku juga sudah sangat berwarna, berbeda dari sebelumnya yang penuh drama ringan karena ingatan tentang Trio. Biar begitu aku masih berharap dipertemukan dengan Trio sekali lagi meski mungkin itu adalah pertemuan terakhir kami. Banyak yang ingin kuceritakan padanya. Ia harus tahu bagaimana kelanjutan kisah hidupku ku tanpa keberadaannya. Aku telah membuktikan bahwa aku bisa lebih baik seperti sebelum mengenalnya, aku juga tidak akan menyalahkan dia sepenuhnya, semua memang salahku, iya. Salah karena mempercayai kata-kata berbahaya yang dibakuti untaian manis, menipu membuat bunga-bunga cinta datang karena indahnya sebuah kepalsuan. Aku tersenyum tipis, tidak bisa kupungkiri, aku sering tersipu saat mengingat susunan kalimat yang sering ia lontarkan.
"De, tugas yang kemarin sudah selesai." kali ini Renata datang untuk mengganggu fokus berpikirku. Renata adalah anak petinggi negara yang kebetulan satu jurusan denganku, percayalah ia masuk ke kampus ini bukan karena ia seorang anak petinggi, tapi kemampuan berpikirnya yang cukup baik. Dia cerdas, jago dalam berbahasa inggris dan ilmu menghitung dan juga rumus. Tapi dia tidak tertarik untuk mengambil pelajaran sains atau jurusan kedokteran, ia masuk dalam jurusan bisnis sepertiku. Cita-citanya bukan ingin menjadi tenaga medis, tapi menjadi wanita karir yang mandiri.
"Sudah dong," sahutku sambil bercanda, berusaha menetralkan suasana.
"Wah keren. Aku percaya sama kamu." tumpahnya terlihat senang.
"Punyamu bagaimana?" aku menanyakan balik.
"Sudah, lah. Jangan ragukan kemampuanku, ha ha ha." ia tertawa gurih sambil mengeluarkan tugas yang diberikan dosen kemarin. Sebetulnya ini tugas kelompok yang berisi 5 orang, tapi kami sepakat untuk mengerjakan masing-masih tugas dan digabungkan dalam satu makalah nantinya agar tidak perlu ada pertemuan khusus. Kebetulan Tiara dan Denada sudah izin bawa tidak akan bisa ikut jika tugas dikerjakan bersama karena di rumah Denada ada acara yang tidak bisa ditinggal sedang Tiara harus ikut ayahnya keluar kota dua hari untuk menghadiri acara lelang.
Usai menyelesaikan penggabungan tugas, aku berinisiatif akan pergi ke perpustakaan untuk menghilangkan kegelisahan yang tidak jelas diakibatkan oleh apa. Lagi pula, hari ini dosen akan datang terlambat karena ada kepentingan mendadak katanya. Itu membuat waktuku akan terbuang sia-sia jika tidak digunakan dengan baik. Bukan karena sok rajin, ini adalah salah satu cara agar aku bisa mengatasi gundah yang dirasa. Dengan membaca perasaan bosan dan kantuk akan datang secara beruntun, saat itu aku mungkin memilih makan di kantin guna menghindari rasa kantuk. Setelah kenyang, pikiran yang sempat menggelayut akan segera hilang, sangat sederhana, bukan?
"Adakah perasaan yang timbul dari sebuah perpisahan yang tidak diinginkan, kenapa begitu sulit untuk dilupakan? Tentu saja, kau sudah memberikan sebagian hatimu lewat percintaan pertama sehingga kamu dan dia akan selamanya terpaut dalam perasaan yang begitu sulit untuk dilepaskan. Lucu, itu yang bisa kukatakan saat ini, kamu memberi apa yang semestinya dijaga, lantas saat hatimu terpaut, butuh berapa lama kamu bisa melupakan pengalaman pertama itu?"
Sebuah kata pendek dari novel yang ditulis oleh penulis perempuan yang bernama Ela W. Membuat pikiranku semakin luluh lantak, seolah ini ada hubungannya dengan kisah hidupku sekarang, dan ini sangat menjengkelkan. Aku lantas menutup buku dan keluar dari perpustakaan dengan mood yang semakin kacau. Beruntungnya, di tengah ketidak seimbangan isi pikiran, aku masih fokus dalam menjalankan kuliah. Semua tugas yang diberikan selalu kubenahi ye at waktu, aku juga tidak pernah bolos di mata kuliah mana pun. Masih karena tujuan awal, aku tidak mau ingatan persoalan yang saat ini terasa menjijikkan mengecoh dan membuyarkan segala kokohnya keinginanku. Aku tidak boleh mengecewakan ayah dan ibu.
"Fokus, ... fokus, De." bisikku berbisik pada diri sendiri. Ini memang terdengar menggelikan, tapi akan kupastikan bahwa alam bawah sadar adalah penyemangat utama yang memancar dan berpengaruh besar dalam kehidupanku sekarang.
Lia datang menghampiri dengan wajah penuh antusias.
"Dari tadi aku cariin," ujar Lia sambil terengah-engah.
"Lah, mau ngapain, Tugas udah selesai, kan?"
"Ya kangen aja." ia mencandaiku.
"Kamu waras?" ia tertawa terbahak-bahak. menurutku tidak ada yang lucu, tapi mungkin suasana hatinya sedang baik sehingga baginya semua terasa menyenangkan.