Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Momen yang Tak Terduga
Setelah Zoe pergi, Ethan mencoba menikmati waktunya sendiri. Ini adalah salah satu hal yang dia sadari: dia terlalu sering mengandalkan Zoe untuk mengisi hari-harinya, dan jarang sekali memberanikan diri keluar dari zona nyamannya tanpa kehadirannya. Kali ini, dia memutuskan untuk berkeliling kafe dan sekitarnya sendirian. Bagaimanapun, ada saat di mana Ethan harus belajar untuk menikmati momen tanpa selalu ada Zoe di sekelilingnya.
Ethan berjalan keluar dari kafe dengan langkah perlahan. Jalan-jalan di sekitar kafe itu ramai tapi tetap terasa nyaman, banyak toko kecil dengan etalase yang memajang berbagai barang unik, mulai dari pakaian vintage hingga buku-buku langka. Dia berhenti sejenak di depan sebuah toko buku tua. Sebagai orang yang suka membaca, toko buku selalu berhasil menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang, dia masuk ke dalam.
Suasana toko buku itu tenang, dengan aroma kertas tua yang menenangkan. Tidak banyak pengunjung di sana, hanya satu atau dua orang yang sedang sibuk membaca di sudut. Ethan mulai menjelajahi rak demi rak, mencari sesuatu yang menarik. Buku-buku tua dengan sampul usang dan judul-judul yang mungkin sudah tidak dicetak lagi berjejer rapi di rak kayu. Dia mengambil sebuah buku yang terlihat menarik, "Thoughts of a Quiet Mind," dan mulai membolak-balik halamannya.
Saat dia tenggelam dalam bacaan, sebuah suara menyapanya dari belakang. “Serius banget, ya. Kalau dilihat dari gaya bacanya, kayak lagi baca buku fisika, padahal judulnya cukup santai.”
Ethan menoleh, sedikit terkejut. Di hadapannya berdiri seorang wanita yang usianya mungkin sebaya dengannya, dengan senyum ramah dan mata yang terlihat cerdas. “Oh, enggak kok,” jawab Ethan sambil menggaruk kepala. “Ini buku tentang pikiran introvert, kebetulan lagi cocok aja sama mood gue sekarang.”
Wanita itu tertawa kecil. “Introvert ya? Pantesan keliatan kalem banget tadi. Gue nggak pernah nyangka bakal ketemu orang yang baca buku kayak gini di toko buku kecil kayak ini. Jarang ada yang suka masuk ke sini.”
Ethan mengangkat bahu. “Gue juga sebenarnya gak sengaja masuk. Iseng aja jalan-jalan.”
“Namaku Claire,” wanita itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
Ethan tersenyum, menjabat tangannya. “Ethan. Senang kenal kamu.”
Claire terlihat penasaran. “Gue jadi penasaran, kenapa orang introvert bisa tertarik jalan-jalan sendirian di tempat rame kayak gini? Biasanya, bukannya lebih suka di rumah, santai sambil baca buku atau nonton Netflix?”
Ethan tertawa kecil. "Jujur aja, biasanya iya. Tapi, hari ini gue lagi mau coba sesuatu yang beda. Lagi mencoba buat lebih 'keluar' dari kebiasaan lama gue."
Claire tersenyum lebar. “Wah, keren tuh. Gue setuju sih, kadang kita harus berani coba hal-hal baru biar nggak bosen sama rutinitas. Apalagi buat orang introvert kayak kamu, pasti tantangannya lebih gede.”
Obrolan mereka mulai mengalir lancar. Claire ternyata adalah seorang penulis lepas yang tinggal di kota itu. Dia sering datang ke toko buku ini untuk mencari inspirasi atau sekadar menyegarkan pikiran. Mereka berbicara tentang buku, film, dan sedikit tentang kehidupan sehari-hari mereka. Claire orang yang humoris, dan itu membuat Ethan merasa lebih nyaman dan terbuka.
“Gue lagi nulis artikel tentang gimana orang bisa mengatasi rasa takut tampil di depan umum,” Claire menjelaskan. “Dan gue rasa lo cocok banget buat jadi bahan observasi.”
Ethan tertawa lagi. “Gue? Serius? Gue malah lebih sering ngumpet kalau disuruh tampil di depan umum.”
Claire mengangguk sambil tersenyum lebar. “Justru itu! Gue pengen tahu perspektif dari orang yang cenderung nggak suka tampil di depan banyak orang. Siapa tahu artikel gue jadi lebih menarik kalau ada pandangan kayak gitu.”
Mereka terus berbicara selama beberapa waktu, hingga akhirnya Claire melihat jam tangannya. “Gue harus cabut nih, ada deadline yang harus gue kejar. Tapi, seneng banget bisa ngobrol sama lo. Mungkin kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi.”
Ethan mengangguk. “Iya, gue juga senang ngobrol sama lo. Kapan-kapan kita bisa ketemu lagi di sini.”
Claire melambaikan tangan sambil berjalan keluar dari toko buku. Ethan menatap kepergiannya dengan perasaan aneh, campuran antara senang dan penasaran. Dia tidak menyangka hari itu akan berakhir dengan pertemuan tak terduga dengan seseorang yang begitu menarik.
Malam harinya, Zoe mengirim pesan, “Eth! Gue baru kelar sama temen gue. Mau ketemu di tempat biasa gak? Ada yang pengen gue ceritain.”
Ethan tersenyum membaca pesan itu. Zoe selalu punya cerita menarik untuk dibagikan, dan Ethan mulai menyadari bahwa hari-harinya sering terasa kurang lengkap tanpa Zoe. Tapi, setelah bertemu Claire hari ini, Ethan merasa ada perubahan kecil dalam cara dia melihat dunia.
Sampai di kafe tempat mereka biasa bertemu, Ethan sudah menunggu dengan secangkir teh di meja. Zoe datang dengan energi yang selalu sama—penuh semangat. “Eth, lo nggak akan percaya deh apa yang temen gue ceritain tadi! Ini benar-benar lucu. Jadi, dia punya crush sama cowok dari gym-nya, tapi dia nggak pernah berani ngajak ngobrol. Dan hari ini, dia salah ngomong! Bukannya bilang ‘halo,’ dia malah bilang ‘halo apa kabar hari ini gendut banget ya!’ karena gugup. Gue ketawa sampe perut gue sakit tadi!”
Ethan tertawa keras mendengar cerita Zoe. “Serius? Ya ampun, itu awkward banget sih!”
Zoe tertawa juga. “Makanya kan, gue gak habis pikir! Tapi lo tahu apa yang cowok itu bilang? Dia cuma ketawa terus bilang, ‘Ya emang, lagi cheat day!’ Temen gue langsung keringet dingin, Eth!”
Mereka berdua tertawa keras bersama. Momen-momen seperti ini selalu membuat Ethan merasa nyaman. Zoe selalu berhasil membuat suasana jadi ringan dan menyenangkan. Namun, Ethan menyadari sesuatu yang baru hari ini—bahwa meskipun dia menikmati kebersamaan dengan Zoe, dia juga merasa perlu ruang untuk menemukan jati dirinya di luar hubungannya dengan Zoe.
“Ada apa, Eth? Lo kok jadi mikir gitu?” tanya Zoe, tiba-tiba menyadari Ethan yang terlihat termenung.
“Oh, enggak kok. Gue cuma lagi mikir, hari ini gue ketemu orang baru di toko buku,” jawab Ethan sambil tersenyum kecil.
Zoe mengangkat alis. “Oh ya? Siapa tuh? Cewek ya?”
Ethan tertawa kecil. “Iya, namanya Claire. Kita ngobrol sebentar tentang buku dan beberapa hal. Dia penulis lepas.”
Zoe tersenyum jahil. “Wah, lo mau ninggalin gue buat Claire, nih?”
Ethan tertawa. “Bukan gitu, Zo. Cuma senang aja bisa ngobrol sama orang baru. Sesekali keluar dari rutinitas juga seru.”
Zoe menepuk pundak Ethan sambil tersenyum. “Gue seneng lo bisa nikmatin waktu lo, Eth. Beneran. Kadang gue khawatir lo terlalu bergantung sama gue buat bikin hari lo seru. Tapi kalau lo bisa dapetin itu dari tempat lain juga, gue lebih tenang.”
Ethan terdiam sejenak, merasa bahwa Zoe benar. “Iya, gue rasa gue butuh itu juga, Zo. Dan gue mulai sadar, meskipun gue suka ngobrol sama lo, gue juga butuh eksplorasi diri gue sendiri.”
Zoe menatap Ethan dengan senyum lembut. “That’s the spirit, Eth. Hidup itu soal keseimbangan. Lo bisa nikmatin kebersamaan, tapi lo juga harus punya waktu buat diri lo sendiri.”