Berry Aguelira adalah seorang wanita pembunuh bayaran yang sudah berumur 35 tahun.
Berry ingin pensiun dari pekerjaan gelap nya karena dia ingin menikmati sisa hidup nya untuk kegiatan normal. Seperti mencari kekasih dan menikah lalu hidup bahagia bersama anak-anak nya nanti.
Namun siapa sangka, keinginan sederhana nya itu harus hancur ketika musuh-musuh nya datang dan membunuh nya karena balas dendam.
Berry pun mati di tangan mereka tapi bukan nya mati dengan tenang. Wanita itu malah bertransmigrasi ke tubuh seorang anak SMA. Yang ternyata adalah seorang figuran dalam sebuah novel.
Berry pikir ini adalah kesempatan nya untuk menikmati hidup yang ia mau tapi sekali lagi ternyata dia salah. Tubuh figuran yang ia tempati ternyata memiliki banyak sekali masalah yang tidak dapat Berry bayangkan.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang mantan pembunuh bayaran ditubuh seorang gadis SMA? Mampukah Berry menjalani hidup dengan baik atau malah menyerah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilnaarifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Jeffrey meletakkan kertas hasil tes DNA yang dia lakukan diam-diam di atas meja, semua berkumpul di ruang tamu kecuali anak-anak yang masih sekolah.
"Lihat itu, setelah ini tidak akan ada yang menghalangi ayah untuk membawa gadis itu kesini." Ucap pria tua itu datar.
Elkan segera mengambil kertas itu dan segera membaca nya dengan cepat. Keningnya berkerut ringan, dia menyerahkan kertas itu pada sang istri yang duduk di sampingnya.
"Seratus persen. Ini tidak di ragukan lagi." Ucap Jasmine menepuk pundak suami nya.
Natali Everest, istri Jeffrey meminta kertas itu. Dia bergumam tidak jelas dengan pelan.
"Apa dia akan tinggal disini?"Tanya Kairo pada kakeknya.
Pria tua itu mengangguk, "Tentu saja. Paman pertamamu juga akan kembali kesini. Ini memang rumah mereka, kan?"Jawab nya dengan santai.
Mansion utama Everest itu sangat besar dan luas. Ada puluhan kamar di dalam nya,
dan itu belum termasuk kamar para pekerja.
Menampung tiga keluarga sekaligus, itu bukan hal yang sulit untuk di lakukan.
Elkan segera menatap ayah nya, "Dia kembali? Apa dia sudi menginjakkan kaki kemari setelah kejadian bertahun-tahun
yang lalu?"Ucap pria itu dengan sinisnya.
Natali meliriknya sekilas,"Bukan keputusan mu yang menentukan, keinginan nya"Gumam wanita tua itu.
Semua mengalihkan pandangan pada ibu mereka. Wanita tua ini, sangat jarang mau berbicara, dia hanya bisa bergumam pelan dan tidak terlaku jelas.
Namun jika dia sudah membuka mulut nya bahkan sang ayah, tetua keluarga tidak berani berkutik, begitu pun dengan nya.
"Bawa dia kemari secepatnya. Tidak baik berlama-lama di luar sana." Lanjut wanita itu bergumam pada suami nya namun semua yang ada di ruangan itu dapat mendengar
dengan jelas. Natali bangun dari duduk nya dan segera pergi meninggalkan ruangan itu.
"Aku harus kembali berbicara dengan orang tua gadis itu, meski kita keluarga kandungnya, mereka lah yang telah membesarkan nya hingga sekarang." Ucap Jeffrey.
"Menantu ku, beri tahu pada para pekerja untuk membersihkan kamar yang ada di lantai tiga. Ipar mu dan putri nya akan tinggal disana nanti." Lanjut nya meminta pada Jasmine.
Mommy Ruby itu pun mengangguk paham, "Baik ayah"Jawab nya patuh.
Elkan hanya melirik nya saja tanpa menanggapi sedikit pun. "Kairo, hubungi paman ketiga mu, dia harus tahu berita ini.
Setidaknya, dia harus melihat keponakan nya yang telah lama hilang." Perintah nya pada kakak tertua Ruby, pemuda itu pun
mengangguk.
Setelah mengatakan hal-hal yang di perlukan, Jeffrey pun bangkit dari duduk nya, dia akan pergi untuk melakukan beberapa hal lain. Semua yang di ruangan hanya bisa diam, ketika melihat kepergian pria tua itu.
"Jangan berlebihan. Kasihan pada kakak mu." Ucap Jasmine sambil mengusap pundak suami nya, pria itu hanya mendengus dingin.
Kairo melirik adik keduanya, Louis Everest, yang sebenarnya sedari tadi hanya memakai earphone di telinganya.
Pemuda itu sedang dalam masa kuliah, dia jarang berkomunikasi dengan yang lain, namun dia sedikit protektif pada Ruby.
Itu lah sebab nya, dia tidak terlalu tertarik mengenai putri paman pertama nya yang telah di temukan setelah beberapa tahun berlalu.
Sudahlah, semoga saja tidak akan ada keributan yang terjadi di rumah ini nanti, mengingat Ruby adik nya itu sangat sensitif terhadap statusnya yang menjadi cucu perempuan satu-satunya di antara keluarga mereka.
***
Alice keluar dari kelas nya, sudah saat nya mereka pulang. Gadis itu menuruni tangga
dengan santai, dia bergumam mengikuti alunan musik yang ia dengar dari earphone nya.
Namun ketika dia sudah sampai di bawah sebuah tangan menghentikan langkahnya.
Alice segera berbalik karena terkejut, hampir saja dia ingin menyerang orang yang menyentuh diri nya. "Gama!" kesal nya pada pemuda itu.
Gama lah yang menahan tangan alice agar gadis itu tidak segera pulang. "Takut gue dulu." Perintahnya pada Alice.
Dia pun menarik tangan Alice melewati lorong sekolah yang ramai dengan murid-murid lain nya.
"Mau kemana sih? Gue mau pulang, lapar, ngantuk." Ucap gadis itu malas.
"Bentar doang." Jawab Gama datar, dia malas berbicara dengan panjang saat ini. Akhir nya, mereka sampai di ruang OSIS, Gama berjalan masuk ke dalam masih dengan Alice yang mengikuti nya dengan amat terpaksa.
Dian yang sedang menyusun barang-barang pun terkejut ketika melihat teman nya datang sambil memegang seorang gadis itu samping nya.
Begitu pun juga dengan anak OSIS yang lain, mereka mendadak bingung, apa gerangan seorang Gama tiba-tiba membawa gadis ke ruang OSIS.
"Duduk." Suruh Gama pada Alice dan menunjuk ke arah kursi yang ada di depan meja kerja nya sebagai ketua OSIS.
Anak OSIS lain serta Dian memasang kuping untuk mendengar percakapan Gama dengan gadis itu.
Meski tidak suka, Alice tetap duduk sambil memasang wajah cemberut nya. "Cepat katakan, ada perlu apa sama gue?"Ucap Alice malas. Dia sungguh sudah sangat lapar dan mengantuk sekarang.
Gama memberikan kertas yang ia ambil dari dalam laci pada Alice.
"Lihat, ini absen ekskul mu. Lo udah nggak pernah lagi hadir di pertemuan sampai
pengajar nya protes ke ruang OSIS."
Sebenarnya Gama heran, mengapa guru musik malah melapor ke mereka, bukan wali kelas gadis ini?
Alice membeku. Dia lupa, pemilik tubuh dulu sering mengikuti ekskul musik agar bisa memenangkan perlombaan untuk sekolah.
Sejak dia masuk ke tubuh ini, sekali pun dia tidak pernah hadir dalam latihan.
"Ahaha..."
Alice tertawa canggung, kabur sekarang juga tidak akan mungkin, kan? Tangan nya mengambil kertas yang di sodorkan oleh Gama, dia dengan cepat melihat absen itu.
Dalam hati mengumpat ketika melihat ruang kosong yang ada di baris nama nya.
"Minggu depan, lo harus kembali hadir di setiap latihan. Kalau nggak mau nilai lo turun dan ini wajib." Ucap Gama dengan tegas.
Melihat dari reaksi Alice, dia tahu gadis ini memang sengaja tidak datang ekskul.
Alice menipis kan bibir nya, otaknya sedang berperang sekarang. Gama dengan sabar menunggu tanggapan gadis itu, jari Alice mengelus kertas absen dengan pelan.
"Gue... mau keluar dari ekskul musik." Kata nya datar dan menatap mata Gama kosong.
Pemuda itu tidak menyangka bahwa Alice akan mengatakan itu, sebelum dia bisa berbicara tentang hal ini.
Alice berdiri dari duduk nya, "Untuk kedepannya, jangan pernah bahas tentang hal ini lagi. Gue sendiri yang akan mendatangi pengajar nya, jadi lo nggak perlu repot-repot lagi." Lanjut Alice.
Selo hanya akan menjadi mimpi buruk nya, dan dia tidak mau memiliki mimpi buruk. Gama bahkan belum sempat bereaksi sebelum Alice memilih pergi dari ruang OSIS dengan cepat.
Pemuda itu menghela nafas pasrah, dia memukul meja asal. Dian sedikit terkejut
mendengar benturan itu.
Dian menyuruh anak OSIS yang lain untuk lebih fokus pada pekerjaan mereka masing-masing. Dian, mendatangi Gama, "Lo kenapa, Gam?"Tanya nya heran.
Tidak ada jawaban, dia hanya melihat Gama merobek kertas yang entah apa isi nya dengan kasar. Dian sedikit meringis, kertas yang malang, pikir nya.
"Lo udah atur acara untuk besok kan? Jangan ada terlewat sedikit pun, ingat itu." Ucap Gama dingin, Dian belum bernafas dengan lega dan malah mendapat pekerjaan tambahan.
Sangat sulit menjadi wakil ketua OSIS dijaman sekarang, ya.
Gama mengambil tas nya, "Jangan lupa kunci pintu nanti." Lanjut pemuda itu pada temannya, sebelum melangkah keluarga meninggalkan ruangan.
Anak OSIS yang lain menatap Dian dengan
pandangan bertanya, pemuda itu hanya mengangkat bahu tidak tahu.
Mereka pun hanya bisa melanjutkan pekerjaan masing-masing, tidak mau pulang terlalu lama.
Disisi lain, Alice baru saja selesai menelepon ibu nya dan mengatakan tentang hal yang ia bicarakan dengan Gama tadi.
Wanita itu tidak keberatan dengan itu, dia malah menyemangati Alice untuk menikmati apa saja yang ingin ia lakukan.
"Setidaknya, ada perubahan." Gumam Alice sambil mematikan sambungan telepon nya dengan sang ibu. Sedang kan di seberang sana, Kanna meletakkan ponsel nya di atas meja.
Dia menatap pria di depan nya yang sebenarnya adalah ayah Alice, Marcell. "Cepat atau lambat, ini akan segera terjadi." Ucap nya pelan.
Dia sudah menceritakan pada sang suami
tentang seorang pria tua yang mendatangi nya saat itu di butik dan meminta sampel rambut Alice.
Marcell tidak bisa mengatakan banyak hal, "Kita masih bisa bertemu dengan nya, Kanna. Alice juga pasti akan berpikiran seperti itu." Ucap nya mencoba yang terbaik untuk menenangkan istri nya agar tidak terlalu terbawa emosi.
Kanna mengepalkan tangan nya, dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya pelan.
"Para bajingan sialan itu, seenaknya datang ketika kita sudah membesarkan Alice." Gumamnya penuh dengan kemarahan.
"Tidak ada yang bisa kita katakan tentang kemalangan orang lain, kamu sudah pernah merasakan, bagaimana kehilangan seorang anak, kan?"Ucap Marcell penuh logika.
Dia juga sedikit tidak nyaman tentang keberadaan Alice sekarang namun jika sudah takdir berjalan seperti itu. Mau apa lagi yang akan di perbuat?
"Iya, dan aku akan kehilangan nya untuk kedua kali." Jawab Kanna sarkas.
Marcell terdiam mendengar itu, dia juga
merasakan kehilangan. Belum lagi, Alice sangat dekat dengan dirinya dari dulu.
Kanna menatap jalanan dengan pandangan kosong, mereka berdua sedang berada di cafetaria dekat butik wanita itu.
Demi membahas Alice, dia rela memanggil suami brengsek nya. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk ini.
^^
tp yg baca ko dikit y..
yooo ramaikan hahhlah