Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Tuhan Mengirimkannya
"Teteh makin cantik, mau kemana?"
Senyum Ameera mengembang kala Ayumi memujinya. Sesuai anjuran Cakra, dia menggunakan abaya biru muda yang merupakan kado ulang tahun kakak iparnya di Bandung beberapa bulan lalu, tidak lupa kerudung yang senada.
Pujian dari Ayumi bukan pertama kali dia dapatkan pagi ini. Sejak pagi tadi, tepatnya ketika mandi ke sungai ditemani Rukmini, Ameera sudah banjir pujian lantaran bangun kala hari masih gelap. Semua yang dia lakukan hanya demi Cakra, memasksimalkan waktu lantaran tidak ingin membuat Cakra menunggu nantinya.
"Teh."
"Hah? Kenapa, Yu?" Selama ini hidup Ameera sudah penuh dengan pujian, seharusnya bukan hal aneh lagi sampai melamun semacam ini.
"Mau kemana? Ikut pengajian sama Ambu ya?"
"Oh bukan, Yu ... mau ziarah," jawab Ameera membenarkan. Beruntung, Ayumi tidak bertanya lebih dalam, dia hanya tersenyum kemudian pamit lebih dulu karena harus mengajar ke sekolah.
Sebuah keberuntungan bagi Ameera, dia sempat khawatir pertemuannya dengan Cakra akan menjadi masalah, terlebih lagi di pertemuan pertama Ameera menyaksikan bagaimana kedekatan mereka berdua.
Cukup lama setelah Ayumi pergi, Cakra baru tiba dengan sepeda motornya. Ameera yang sejak tadi menunggu di teras jelas saja segera menghampiri Cakra segera. Sama seperti Ameera yang sempat terpesona dengan penampilan Cakra dengan motor barunya, Cakra juga demikian.
"Cantik, maling dimana?"
Ameera mencebikkan bibirnya, sama sekali tidak dia duga jika Cakra akan memuji dengan kalimat semacam itu. "Memang punyaku!! Masa iya maling."
Cakra terbahak, bibir Ameera yang maju beberapa centi terlihat begitu lucu di matanya. Awal pertemuan yang baik sekali, belum apa-apa Cakra sudah membuat wanitanya cemberut. "Abah mana?"
"Sudah pergi barusan, aku sendirian ... Mahendra mandi," jelas Ameera sekalipun tidak diminta, seolah tengah menegaskan jika Cakra datang terlalu siang.
"Aku kesiangan, ada urusan sedikit tadi," tutur Cakra seraya memasangkan helm untuk Ameera, walau di pedesaan tetap saja keselamatan adalah hal utama.
"Yakin nyaman pakai itu?"
"Yakin, kan kamu sendiri yang minta tertutup semalem," jawab Ameera mengerutkan dahi, agaknya tidak ada yang salah dan dia sudah melakukan yang seharusnya.
"Maksudku tertutup, tapi tidak harus pakai abaya juga." Cakra menoleh, memastikan jika Ameera bisa naik ke atas motornya.
Jujur saja dia khawatir Ameera justru tidak nyaman, lagi pula sedikit saja tidak ada maksud bahwa pakaiannya harus setertutup itu. Namun, walau keraguan Cakra sebesar itu, tapi Ameera sendiri yang meyakinkan bahwa dia sangat nyaman mengenakannya.
"Su-sudah."
Pertama kali dibonceng Cakra dengan suasana yang berbeda. Tujuan mereka kali ini jelas, bukan hanya menelusuri jalan ibu kota seperti waktu itu, tapi ke tempat peristirahatan wanita yang telah melahirkan Cakra.
Entah kenapa, gugupnya Ameera seolah tidak jauh berbeda dengan seseorang yang akan bertemu calon mertua. Bahkan, dia sampai komat-kamit dan melafazkan doa yang dahulu pernah dia pelajari dari kakaknya agar sedikit lebih tenang.
Belum begitu lama menempuh perjalanan, Cakra tiba-tiba menepi dan menghentikan motornya hingga Ameera yang duduk di belakang melongo seketika. Bukan karena terpukau setelah pemandangan seperti biasanya, melainkan terkejut lantaran merasa familiar dengan tempat yang kini mereka pijaki.
"Kok di sini?" tanya Ameera menatap bingung Cakra yang kini ikut turun dan mendekat ke arahnya, tidak lupa membawa seikat bunga dan air yang diperlukan sebagai perlengkapan ziara.
"Memang di sini tempatnya, ayo jalan."
Ameera pikir makam mendiang mama Cakra ada di TPU yang diketahui berada di hulu desa, dia bahkan sudah mengolesi wajah dan tangannya dengan tabir surya karena menduga perjalanan mereka akan sejauh itu. Nyatanya, tempat yang Cakra maksud tidak lain dan tidak bukan ialah dibawah pohon beringin yang merupakan teman curhat Ameera tadi malam.
"Serius?"
"Hm, serius."
Hingga akhir, Ameera masih berharap jika Cakra bercanda. Namun, melihat Cakra mengulurkan tangan dan memintanya segera melangkah membuat Ameera menurut segera.
"Makam mama di sebelah sana," ucap Cakra menunjuk ke depan sana, ucapan pria itu semakin membuat Ameera bingung, kenapa makam ibunya justru terpisah.
Kendati demikian, Ameera tetap memendam pertanyaan itu demi menjaga suasana hati Cakra. Walau memang kedua orang tuanya masih lengkap, tapi Ameera tahu betul bagaimana sakitnya membendung kerinduan pada orang yang sudah berpulang.
Kepergian Opa Ibra beberapa tahun lalu, dan disusul Oma Kanaya belum lama ini sudah cukup menjadi gambaran suasana hati Cakra saat ini. Sudah tentu dia tidak akan banyak bicara kala Cakra termenung memandangi batu nisan sang mama.
"Maaf, Ma, Cakra baru sempat datang hari ini ... mama tahu, rumput di sekitar rumah kita sampai merambat ke dinding karena terlalu lama ditingal," ucap Cakra tanpa sadar meneteskan air mata, tidak lupa dengan senyum penuh kepalsuan yang dia perlihatkan di sana.
Ameera menunduk, dia tidak ingin memperlihatkan jika turut menangis. Semakin lama dia dengar, hati Ameera semakin sakit. Rentetan aduan seorang anak yang ditimpa kemalangan itu bak sembilu yang menggores hati Ameera. "Tapi mama tidak perlu khawatir, beberapa waktu terakhir Tuhan mengirimkan seseorang yang cerewetnya seperti mama, jadi aku Cakra ada temannya," ucap Cakra di akhir hingga wanita itu mendongak, padahal belum tentu dia yang dimaksud Cakra.
Namun, ketika Ameera mendongak baru dia sadari jika Cakra tengah menatap ke arahnya, "Dan hari ini aku membawanya ... namanya Ameera, Ma, lengkapnya Ameera Hatma," tutur Cakra masih terus menatap Ameera lekat-lekat.
.
.
Selesai mengenalkan Ameera pada mendiang sang mama, pria itu pamit segera, tidak lupa dia mengirimkan serentetan doa dan Ameera yang menemaninya. Yang ziarah adalah Cakra, tapi yang matanya sembab bahkan sulit bernapas adalah Ameera.
"Sudah dong, Ra, yang namanya makhluk hidup tidak akan lepas dari maut," ujar Cakra kemudian merangkul pundak Ameera yang masih terus bergetar.
Sayangnya, usaha Cakra untuk menenangkan Ameera sama sekali tidak berhasil. Dia terus terisak dan tidak fokus dalam mengambil langkah, hingga hal itu membuat kaki Ameera tersandung tepat di atas makam yang berada tepat di dekat pohon beringin semalam, makam yang Cakra katakan sebagai korban pembantaian.
"Tuh kan, sudah kubilang berhenti menangisnya ... untung keinjek makam, kalau keinjek perut Abah Asep gimana?"
Ameera tidak segera menjawab, bukan karena sakit atau semacamnya, tapi matanya kini fokus menatap nama di batu nisan tersebut. "Gutama Darmawangsa?"
"Ameera, kenapa diam saja? Apa ada yang sakit? Coba katakan, jangan diam begini, aku panik," desak Cakra meminta Ameera menjawab segera.
"Cakra ... ma-makam ini? Siapa?" tanya Ameera dengan bibir bergetar, dia menatap Cakra yang kini mengernyitkan dahi lantaram teriknya cahaya matahari.
.
.
- To Be Continued -