Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 23
Beberapa Minggu kemudian, Trio sudah aktif dalam mengambil mata kuliah, meski hanya kelas karyawan dan di universitas terbuka, ia sangat bersemangat. Tidak ada alasan untuk menyerah, di dalam bayangannya hanya kesuksesan dan bisa bertemu kembali kelak dengan Devani. Perempuan itu memang telah mengisi seluruh ruang hatinya. Semua janji dan serapah akan keberhasilan yang ia inginkan semata-mata hanya untuk mencuri kembali hati Devani, gadis kecil yang pernah ia cintai meski sesaat. Walau mungkin harapan itu kecil, karena bagaimana pun Trio berusaha, kelasnya akan tetap berada di bawah level keluarga Devani. Di setiap langkah yang ia jalani, semua hanya soal bagaimana ia bisa melampaui batas yang mungkin ada di antara dirinya dengan Devani.
*****
Aku masih merasa lesu pagi ini, waktu belajar mata kuliah digeser satu jam ke depan karena pak Hanan, dosen pengajar baru selesai mengambil tugas. Entah tugas apa yang dimaksud, yang jelas aku merasa diuntungkan karena memang hari ini kurang enak badan. Tadi malam tidak seperti biasa, aku terlalu menikmati film sehingga sulit tidur. Setiap adegan yang menegangkan seolah tercetak dalam ingatan dan enggan pergi. Aku sampai kepikiran hingga masuk ke alam bawah sadar dan memimpikannya. Lucu sekali, reka film mengganggu ketenangan sehingga aku tidak nyenyak. Mungkin ini.lah disebut dengan terbawa perasaan.
Lia menerobos barisan maha siswa dan siswi lain untuk datang mendekat, ia duduk di sampingku meski tadi beberapa orang masih antri masuk kelas untuk berebut kursi duduk.
"Kabarin dong kalo udah sampe." katanya tegang. Wajah Lia terlihat sangat lelah dan berkeringat. beruntung karena di kelas ada acara, sebentar lagi suhu tubuh buhnya akan stabil.
"Tadinya mau ngabarin pas udah duduk. Ini baru banget duduk." kilahku sambil menaruh tas di meja. Tidak lupa aku juga merogoh isi tas untuk mengambil keputusan hitam renggang yang biasa kupakai saat menulis nanti, agar rambut tidak mengganggu.
"Aku nungguin di luar, eh, tidak lama liat pak Syarif udah stand by di parkir. Artinya kamu udah masuk." jelasnya, suaranya masih tidak bisa diajak kompromi.
"Ya maaf." aku hanya bisa merendah untuk menyeimbangkan emosinya.
Sambil menunggu dosen, kami bercerita kecil soal drama Korea yang kami tonton semalam, Lia terlalu berlebihan, bukan hanya ketika menonton, saat bercerita ulang pun ia tetap menangis karena alur yang menyedihkan. Sebuah perpisahan dua cinta yang terpaksa dilakukan karena tugas kenegaraan.
"Udah ih, malu sama yang lain. Dikira kamu kenapa lagi." ujarku berbisik sambil mengambilkan tisu untuknya.
"Tapi sedih banget, aku gak tega." bukannya diam, Lia malah menyaringkan suara membuatku semakin kesal.
"Norak." aku berkata tegas, menggebrak meja sedikit agar Lia sedikit reda dan paham bahwa aku kurang suka melihat sikapnya. Tak lama dosen pengajar datang, fokus kami soal drama Korea tadi buyar begitu saja. Lia juga sibuk menghapus air mata di pipinya dengan tisu yang sengaja kubawa dari rumah. Aku memang punya kebiasaan membawa tisu, berjaga-jaga takut dibutuhkan.
Aula ruangan bercat putih bersih terasa begitu lega, suasana yang tiba-tiba hening membuat ketenangan tercipta sangat singkat, sesekali suara ketukan spidol di meja memecah sepi, namun tidak lantas membuat kebisingan dan gangguan. Beginilah suasana sejumput kelas dari sebuah universitas besar, kedisiplinan sangat dijaga begitu ketat, pantas saja tidak sembarang orang bisa lolos untuk ikut belajar di kampus mewah ini. Tes demi tes dilakukan, kecerdasan dan tekat dibutuhkan untuk bisa belajar di kampus elite ini. Bukan hanya urusan uang karena berbiaya tinggi, kampus ini seperti enggan melatih mahasiswa yang kepintarannya di bawah rata-rata.
Jas almamater kukenakan kembali, kelas telah selesai. Kami hambur untuk keluar, aku memiliki niat untuk makan di luar kampus siang ini. Lia membuntuti,
"Hari ini aku ikut kamu ya." pinta Lia tertatih mengejar langkahku.
"Mobilmu mana?" tanyaku. Sejak kuliah Lia memang sudah sesekali dipercayai mengendarai mobil sendiri oleh keluarganya. Karena pak Agus diberi kepercayaan lain. Dia juga kebetulan sangat lihai dalam menguasai setir dan jalan, beda dengan ayah dan ibu yang belum mengizinkan aku belajar mobil dan memiliki sim sendiri.
"Lagi service." katanya terengah-engah.
"Tapi aku tidak langsung pulang."
"Loh, siapa yang mau ngajak pulang, nanti kan ada mata kuliah lagi."
"Lah terus?"
"Aku akan mengikuti ke mana pun kamu pergi." aku terkekeh melihat Lia mengernyitkan wajah mengira aku sewot padanya. Pak Syarif mantap dari jauh dan bersiap untuk membukakan pintu mobil, aku memberi senyum manis seperti biasanya. Pintu dibuka untuk kami berdua.
"Ke mana, non?" pak Syarif ikut masuk dan menyalakan kontak.
"Aku pengen makan di rumah makan depan sana deh pak." tunjukku pada esto mewah tak jauh dari parkiran kampus. Pak Syarif mengerti dan langsung me-ngegas mobil menuju tempat yang dimaksud.
Di dalam mobil Lia tidak mau diam. Ia masih saja membicarakan perasaan yang berkecamuk karena sudah dipermainkan oleh film kesukannya. Ia benar-benar terbawa oleh drama semalam.
"Iya, kan De?" ia meminta persetujuanku.
"iya, iya." aku tidak ingin mengecewakan meski sebetulnya aku sudah sangat muak. Aku takut ia terus bawel sampai ke rumah makan nanti. Itu sangat memalukan.
Lia memang sepertinya memiliki hati yang lembut, ia sebetulnya cepat sekali menangis, biar begitu, Lia selalu terlihat kuat dan tegas, dia tidak pernah memperlihatkan titik kelemahan yang ia miliki. Ia pandai menutupi segala bentuk tangisan yang dirasa, yaaaa. Kecuali soal drama Korea. Mata Lia sampai sembab karena terlalu menikmati tontonan, aku tidak habis pikir kenapa sampai sebegitunya Lia terbawa suasana film yang ditonton, kukira hanya orang yang memiliki mental yang tidak baik-baik saja yang cengengnya memakan durasi lama, seperti Lia ini. Apakah perempuan yang terlihat bahagia ini juga sebetulnya menyimpan masalah yang tidak diketahui oleh orang banyak, apakah dia yang terlihat selalu ceria sebetulnya punya rahasia besar yang tidak ia sebarkan ke mana-mana, ah. Aku mungkin saja hanya berlebihan, cara pikirku keterlaluan. Mungkin saja sifat Lia memang agak cengeng sebenarnya, tidak ada hubungannya dengan mental dan kewarasan yang ia miliki. Aku tidak boleh membandingkan semua kehidupan orang lain dengan diriku. Aku saja yang punya masalah besar hingga merusak mental, orang lain belum tentu memiliki kehidupan sial seperti yang kualami.
Ku-rangkul Lia dari kanan penuh kasih, tidak mungkin perempuan seperti dirinya tidak ceria. Ia adalah anak dari seorang terkaya di kota ini, keberuntungan yang dimiliki tentu tidak akan mengurangi rasa syukurnya.