"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Mengemislah Mas!
...Happy reading!...
...•••...
Satu bulan setelah hubungan gelapnya dengan Ailard terbongkar, Kiran akhirnya merasakan hidupnya kembali seperti sebelum tiga tahun terakhir ini.
Kini ia dapat sepenuhnya fokus pada hal-hal yang penting baginya, terutama usaha roti yang dirintis bersama sang adik. Janji Kiran untuk membantu adiknya membangun usaha ini terwujud, dan resep roti dari mendiang ibu mereka menjadi andalan yang menarik banyak pesanan di platform marketplace. Setiap hari mereka menerima permintaan yang terus meningkat, dan Kiran menikmati kesibukan yang kini mengisi hari-harinya.
Namun, berbeda dengan Kiran, Ailard justru semakin kehilangan kendali atas dirinya. Tanpa kehadiran Kiran, amarah dan frustrasi dalam dirinya semakin membara, diperparah dengan desakan dari keluarganya—terutama Ibu Tiara—yang meminta Kiran kembali. Keadaan ini diperkeruh oleh Cherry dan Leonidas yang, tanpa diketahui Ailard, terus melindungi Kiran dari belakang, memastikan pria itu merasakan akibat dari perbuatannya.
Mas Ailard
Saya sudah muak, Kirana. Datanglah ke rumah Ibu saya. Jangan coba melawan lagi, saya bisa menghancurkanmu jika mau!
Kirana Cahyaning
Memohonlah padaku, Mas, mengemislah!
Mas Ailard
Sialan!
Kirana menghela nafas panjang begitu membuka pesan dari Ailard yang selalu ia respons dengan acuh tak acuh, sengaja untuk menyentil egonya. Biarkan saja, biar pria itu juga tahu diri bagaimana rasanya memohon.
"Mbak..." Tian memanggil dengan nada antusias.
"Iya, ada apa, Tian?"
"Kita berhasil dapat keuntungan segini, lho! Padahal baru dua minggu, dan ini semua berkat bantuan Mbak Cherry sama Pak Leo. Kita jadi bisa meraup untung banyak. Jadi, gimana soal rencana kita untuk sewa tempat dan buka outlet?"
Kiran tersenyum lebar. “Sedang Mbak usahakan Tian, untuk sekarang kita bisa fokus jualan online dulu."
Tian mengangguk penuh semangat, matanya berbinar membayangkan masa depan usaha mereka. “iya Mbak, makasih ya sudah penuhi janji Mbak."
Kirana ikut bahagia melihat gairah semangat dari adiknya, benar, untuk berjalan di dunia ini kita harus berani dan penuh tekad.
...•••...
"Mom, Rose dimana?" Tanya Ailard begitu sampai dirumah keluarganya selepas pulang dari kantor.
Tiara menatap dingin putra keduanya, "baru saja tidur. Rose seharian tangisi Kiran, selalu begitu sebelum kangennya terobati." Ucap Tiara begitu ketus, kemudian ia berlalu pergi menaiki tangga.
Ailard menghela nafas panjang, tak lama itu iapun naik menuju lantai dua untuk melihat putrinya.
Saat tiba di kamar Rose, Ailard membuka pintu dengan pelan. Di ranjangnya, Rose terlelap dengan wajah tenang, namun sisa-sisa air mata masih tampak di pipinya.
Ailard duduk di tepi ranjang, memperhatikan putrinya dengan perasaan gamang.
"Dunia ini belum bisa kamu pahami sepenuhnya sayang, tetaplah jadi putri kecil Papa yang cantik."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Cherry berdiri di ambang pintu, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang sarat makna.
"Aku ingin berbicara denganmu, Bang. Cherry tunggu di balkon."
Ailard mencium kening Rose sebelum keluar dari kamar putrinya. Ia segera berjalan menuju balkon, disana adiknya sudah menunggu sambil menghisap rokok.
"Ambil satu," Cherry menyodorkan sebungkus kotak rokok yang sudah terbuka, Ailard menerima rokok yang disodorkan Cherry, menyalakannya dengan pelan lalu menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum membuang napasnya, memecah keheningan.
"Bang, kamu harus benar-benar jujur. Ini sudah cukup, aku muak melihat kamu terus jahat sama Mbak Kiran."
Ailard mendesah, matanya terarah kekegelapan malam. "Apa lagi yang mau kamu ceramahin tentang Abang?"
Cherry menoleh padanya, sorot matanya tajam. "Aku tahu kamu masih ganggu Mbak Kiran ya Bang, kamu masih tetep paksa dia untuk ikutin kemauan kamu. Mbak Kiran itu bukan siapa-siapa kamu Bang, pacar bukan, istri juga bukan tapi kamu berlagak seperti memilikinya. Tahu diri dong Bang!"
Ailard mendengus, melirik sekilas dengan lelah kearah adiknya. "Urusan Abang sama dia belum selesai, tidak, dia akan terus berurusan dengan abang. Selain itu, ibu dan yang lainnya juga mendesak untuk abang bawa Kiran kesini. Make sense kan? CK! Bagaimanapun dia itu selalu memerlukan pertolongan Abang."
"Nah itu, kenapa Mbak Kiran harus terus berurusan sama kamu?"
Ailard terkekeh pelan, namun juga kesal dengan Cherry yang terus mendesak.
"Kenapa? Ngga bisa jawab? Huh," Cherry mendengus sebal. "Tiga tahun, Abang yakin ngga ada perasaan sama Mbak Kiran? Selama itu lho bang. Are you serious?"
"Nothing!"
"Terus kenapa bisa tidur selama itu dengan satu perempuan aja? Padahal Abang juga bisa sewa perempuan dari rumah bordil berapapun yang Abang mau. Apa artinya kalau hanya dengan satu orang kalau ngga ada sesuatu yang Abang rasakan untuk Mbak Kiran?" Setelah itu Cherry tertawa cukup kencang, menertawai kekocakan tingkah kakanya yang menjijikan. "Maybe kamu Denial sama perasaanmu Bang, gara-gara masih trauma sama Mbak Lily yang akhirnya ngebuat kamu takut untuk jatuh cinta lagi."
Ailard kini yang tertawa kencang setelah mendengar ucapan adiknya. "Cinta? Perasaan picisan seperti itu ngga bisa tipu Abang lagi, never will be possible!" (tidak akan pernah mungkin).
Cherry mendengus sebal. "Oups...Anda sangat percaya diri sekali Tuan Ailard Wiratama. Baiklah akan saya pegang omongan anda ini, dan jika nanti anda jatuh cinta sama Mbak Kiran sehingga menelan ludah anda sendiri, saya pastikan bakal tertawakan anda Tuan. Tunggu saja!"
"Huh, mimpi saja!"
Percakapan sarkastik diantara kakak beradik itu berakhir ketika sang adik lebih dulu masuk kedalam rumah, meninggalkan sang Kakak yang tengah menghabiskan rokoknya sambil memijat keningnya yang terasa berdenyut.
...•••...
Kiran menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memijat pelipisnya yang terasa tegang. “Kenapa ya? Ini sudah tiga tempat menyetujui, tapi ujung-ujungnya ditolak juga?” gumamnya, merasa pusing memikirkan proses negosiasi penyewaan outlet yang seolah selalu menemui jalan buntu.
Lama melamun, Kiran tiba-tiba mendapatkan notifikasi pesan masuk dari seseorang. Ia membuka pesan itu, dan lagi-lagi, nama Ailard terpampang di layar. Namun, kali ini isi pesan tersebut membuat wajah Kiran berubah serius.
Ailard Rajendra Wiratama
Bagaimana dengan waktumu yang terbuang sia-sia hanya untuk mencari tempat untuk lahan jualan produk murahhanmu itu Kiran?
"Pantas saja para pemilik toko itu langsung menolak, padahal sebelumnya mereka telah setuju. Mas...kamu keterlaluan!" Gumamnya dongkol sekali. Ia sadar bahwa Ailard tidak akan melepaskannya semudah itu.
Kirana Cahyaning
Aku ngga akan berhenti hanya karena kamu menghalangi, Mas. Kamu pikir bisa menghentikanku begitu saja?
Pesan terkirim, dan Kiran menunggu jawaban Ailard dengan cemas. Tidak lama, notifikasi balasan muncul di layar.
Mas Ailard
Saya bisa lakukan lebih dari ini, Kiran. Jangan bermain-main dengan saya.
Send picture
"Tian?"
Mata Kiran melebar begitu melihat Ailard mengirimkan foto Tian yang sedang bersama dengannya.
Kirana segera menelpon Ailard, ia tak mau adiknya di beritahu yang aneh-aneh oleh pria bedebah itu.
Setelah beberapa dering, suara Ailard terdengar di seberang sana dengan nada dingin dan penuh kepuasan. "Jadi bagaimana Kirana Cahyaning?"
"Apa yang kamu lakukan Mas? Kenapa Tian bisa sama kamu?" Kiran berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun ia merasakan ketakutan yang mendalam.
Ailard terkekeh dingin, "sore ini saya jemput kamu di rumah bututmu itu, kalau tidak, saya bisa pastikan Tian akan benci dengan kakaknya karena mengetahui sekotor apa dirimu itu."
Kiran mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. Ia tahu betul bahwa Ailard sedang memanipulasi situasi, menggunakan Tian untuk memaksanya menyerah dan kembali tunduk padanya.
"Aku tidak akan biarkan kamu libatkan Tian dalam masalah ini, Mas," balas Kiran dengan suara bergetar, menahan ledakan emosinya.
"Kalau begitu, patuhi yang saya katakan," sahut Ailard dengan nada yang semakin menantang. "Saya tidak menerima penolakan."
"Mas kamu—"
Ailard segera menutup panggilan, tak memberi Kiran kesempatan untuk berbicara lagi. Kiran mengumpat kesal, "Berengsek!" Pria itu benar-benar tak memberinya ruang untuk bernapas lega. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, Ailard kembali menyeretnya ke dalam bayang-bayang dominannya.
"Bagaimana ini...?" gumamnya dengan suara lirih.
Tak ada satu pun jalan keluar yang tampak aman dalam situasi ini. Dan akhirnya Anan akan menghadapi pria itu, ia akan penuhi inginnya untuk menjelaskan hubungan mereka pada keluarganya.
Perlu ditekankan bahwa Kiran tidak pernah menghindar untuk menjelaskan hubungannya dengan Ailard didepan keluarga besarnya. Ia sebenarnya ingin menguji kesombongan pria itu, ingin tahu sampai mana Ailard bisa mendominasi situasi ini.