“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
K ~ Bab 06
Daripada dikasihani, lebih baik memilih mati.
......................
Sosok berpakaian serba hitam itu, sedang mengencangkan tali sarung parang yang diikatkan pada pinggang.
Dhien melepaskan sepatu boot-nya, menggulung lengan kaos lengan panjang sampai siku, dirinya mengambil ancang-ancang hendak memanjat pohon karet.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Kedua tangan serta kakinya begitu ringan dalam memanjat, begitu sampai atas, Dhien menarik napas terlebih dahulu, lalu tangan kirinya berpegangan erat pada batang pohon, dia berdiri di pohon bercabang dua.
Dhien mengayunkan parangnya, memotong dahan yang kering, saat di rasa cukup, sebelah kakinya menginjak batang kayu tadi.
Krek, Bugh.
“Alhamdulillah.” Dhien bergegas turun lagi, saat sudah menjejak tanah, segera dirinya memotong kayu lumayan panjang tadi menjadi beberapa bagian.
Ya, begitulah caranya mencari kayu bakar, bukan hanya mengais yang ada di tanah saja, tetapi memanjat dan memotong ranting kering yang belum lepas dari pohon.
Tumpukan potongan kayu sudah cukup tinggi, tapi Dhien masih sibuk mencari lagi agar hasil yang diperoleh lebih banyak, sehingga upahnya pun bertambah pula.
“Hust … pergi sana kau! Aku tak berniat memotong mu, tapi kalau kau mencoba melukai ku, jangan salahkan diri ini menebas mu!” Dhien mendapati ular hijau yang sedang menegakkan kepalanya.
Ular tadi seperti mengerti kalau sedang berhadapan dengan gadis hutan, cepat-cepatnya menyingkir dari sana.
“Amala pasti mau juga sayur pakis ni, lebih baik ku petik lebih banyak lagi!” Dhien sedang ramban pakis.
“Apa betul kau hendak menikah dengan Fikar, Dhien?”
“Astaghfirullah. Mengejutkan saja kau, Dzikri! Udah macam Jelangkung sosok mu tu!” Dhien begitu terkejut akan kehadiran pria berpakaian kerja, sampai kayu yang ia susun di sepeda jatuh lagi.
Dzikri membantu Dhien memasukkan kayu di sela bagian tengah sepeda.
“Aku bertanya padamu, Dhien!”
“Tanpa ku jawab pun, kau sudah tahu bukan? Lantas, apa gunanya bertanya lagi?”
Sebelum menanggapi, Dzikri mengambil sepotong kayu untuk cagak sepeda, setelahnya ia berdiri tegak memandang wajah kemerahan Dhien yang bercampur keringat.
“Tak nya kau tahu bagaimana perangainya, Dhien? Fikar bukanlah laki-laki baik, tapi kasar, suka be-cewek, belum lagi hobi betul dirinya berjudi dan sabung Ayam macam Zulham. Yakin kau, hendak dipersunting oleh orang macam tu?”
Dhien memasukkan kembali parangnya. “Allah Maha membalikkan hati manusia, dan setiap insan pasti bisa berubah, tergantung dengan siapa nya berpasangan. Aku yakin kalau dibalik sifat jelek Fikar, tersembunyi sedikit kebaikan.”
‘Ya, baik untuk dilenyapkan!’ sambungnya dalam hati.
“Kau cinta dengannya? Padahal setahuku, kalian tak pernah terlihat dekat.”
“Tahu apa kau tentang ku, Dzikri?” Dhien menatap tegas pria bertopi bulat dengan tali terikat di bawah dagu. “Apa pulak bahas tentang cinta, apa kau pernah merasakannya?”
“Aku pernah mendengar pepatah ni, ‘Cinta bisa datang karena terbiasa’, anggap saja tu benar adanya, entah esok ataupun kelak … pasti diri ini bisa mencintai sosok suaminya!” Dhien tidak memberikan kesempatan untuk Dzikri menanggapi pertanyaannya.
Namun, Dzikri belum mau menyerah. “Apa semua ni, skenario dari keluarga almarhum Ayahmu, Dhien?”
Mendapati teman masa kecilnya bungkam, dan enggan menatapnya. “Kalau memang betul, bisakah aku yang menggantikannya? Sebagai Sahabat, sungguh aku tak rela kau bersuamikan laki-laki macam si Fikar_”
“Cukup, Dzikri!” Dhien menyela kalimat tidak sempurna itu, lalu memegang setang sepedanya, bersiap hendak pergi.
“Daripada kau kasihani, lebih baik aku memilih mati!” Sepenuh tenaga, Dhien mendorong sepeda bermuatan penuh kayu bakar dan ada dua ikat pakis di atas tumpukan nya.
Dzikri belum beranjak, matanya menatap lekat pada sosok yang terseok-seok menuntun sepeda bermuatan berat.
***
Untuk pertama kalinya, calon suami Dhien datang bertandang ke rumah calon istrinya, sebelumnya mereka telah bertemu dua kali di kantor balai desa kala hendak mengurus berkas syarat pernikahan.
Pada ruang tamu sederhana beralaskan tikar, dua sosok berbeda jenis itu duduk berhadapan, masih saling diam.
Dhien enggan menatap dikarenakan malas, sedangkan Fikar begitu semangat serta penuh nafsu memandang bukit kembar calon istrinya yang terlihat menonjol, walaupun sudah ditutupi oleh kaos longgar.
“Tak takut bintitan (bentol) tu mata? Suka betul menikmati pemandangan haram!” sarkas Dhien.
“Sah-sah saja bila sedikit mencuri pandang, lagipula esok kita sudah resmi menjadi sepasang suami istri,” jawabnya tanpa malu.
‘Sabar sabar … orang sabar, pantatnya bertambah lebar,’ Dhien terus berusaha mengolah emosi yang siap meledak.
“Sekarang sudah bertemu bukan, cepatlah pulang sana! Aku masih banyak pekerjaan daripada meladeni laki-laki mata keranjang macam kau, Fikar!”
“Sungguh tak sopan kau, Dhien! Tapi, itulah daya tarik mu, membuat bagian bawah celana ku langsung mengembang.” Fikar menjilat bibir bawahnya, menatap mesum wajah Dhien.
“Dasarnya Kuntul murahan, lihat pantat Ayam pun pasti nya berdiri!” balas Dhien seraya menatap jijik sosok pria berpenampilan necis.
“Kau!” Fikar menuding wajah Dhien, jelas dirinya tersinggung. “Tunggu sampai ijab kabul ku ucapkan, setelahnya akan ku buat kau tak bisa berjalan, menjerit kesakitan di bawa kungkungan diri ini!”
“Siapa takut!” sahut Dhien begitu berani.
Dada Fikar bergemuruh, hatinya memanas, entah mengapa sikap menantang Dhien memancing jiwa lelakinya. ‘Ku pastikan kau tak bisa lepas dari cengkeraman ku, Dhien!’
Tanpa berpamitan dengan Emak Inong, Fikar langsung pulang, dirinya merasa terhina, tidak ada suguhan minuman apalagi camilan, sosok calon mertuanya pun enggan menemuinya.
***
Pagi hari di kediaman rumah Emak Inong.
“Aku yang memotong atau kau, Mala?” Dhien bertanya sambil mengasah mata pisau agar lebih tajam.
“Kau sajalah, Dhien! Biar aku bagian memegang saja … ini mangkuk kacanya!” Mala meletakkan mangkuk kaca di tanah.
"Baiklah.” Dhien menangkap Ayam jantan yang sudah ia kurung dari semalam, lalu memberikan ke sahabatnya.
Amala langsung tanggap, memegang erat kedua kaki dan sayap.
Sebelum menyembelih, terlebih dahulu Dhien mencabut sedikit bulu leher, kemudian membaca basmallah dan mulai melajukan pisaunya sampai urat leher Ayam jantan tadi putus.
Cublik ~ Sebelumnya saya sudah membaca dan mencari tahu, kalau seorang wanita dewasa diperbolehkan menyembelih hewan. Asalkan berakal, tidak datang bulan, pisau tajam, dan membaca basmallah. Maaf, kalau kiranya masih salah.
Dhien dan Amala menampung darah Ayam dalam mangkuk kaca, setelahnya baru dibiarkan hewan tadi kejang-kejang sampai tidak bernyawa.
“Nanti biar aku saja yang memasak daging ayamnya, pasti lezat rasanya, sampai si gila tu tak menyadari bila ada campurannya!” Mala menawarkan diri, sebenarnya malas, tapi demi Dhien dia menyanggupi.
“Tak tahu lagi macam mana hendak berterima kasih. Yang pasti, aku bersyukur memiliki sosok istimewa seperti kau, Mala!” Dhien tersenyum begitu tulus, yang langsung dibalas dengan senyum hangat oleh Amala.
“Kesinikan botolnya! Biar aku saja yang melakukannya!” pinta Dhien.
Dhien memasukkan darah Ayam tadi pada botol kaca bekas minyak rambut urang-aring yang sudah terlebih dahulu dicuci bersih dan pastinya kering.
“Nak …!”
“Ya.” Dhien menanggapi panggilan ibunya.
“Untuk ijab kabul siang nanti, kau hendak mengenakan baju apa?” tanya Emak Inong sambil menghapus air matanya.
Amala memalingkan wajahnya, tidak sanggup menatap sosok ibu dan anak itu. Untung saja ... ibunya sendiri sedang berada di kota Provinsi, menjenguk adiknya yang sedang kuliah.
“Pakai ….”
“KAK DHIEN! MENGAPA HENDAK KAWIN LARI, TAK BILANG-BILANG!!”
.
.
Bersambung.
Terima kasih banyak Kak atas dukungannya yang luar biasa ini 🙏 🥰
semangaat Dhien doaku meyertaimu
tar kembali lagi skalian bawa tiker sm kupi , klo dh End yak. 🤩😘🤗