Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI TENGAH LAUT PART 2
Panji terdiam, menatap Sekar dengan alis terangkat. Saat ini, dia memang berniat menjualnya bahkan sebelum menghasilkan keuntungan. Sekar pintar; dia pasti mendengar percakapannya di telepon.
"Aku memang berniat menjualnya."
"Kepada siapa?" Sekar menutup matanya, menghela napas panjang.
"Aku tidak akan memberitahumu," Panji menjawab tegas sambil mengatupkan rahangnya, pandangannya melayang melewati Sekar ke arah cakrawala. Dia harus tetap diam. Jika dia mengatakan apa pun, rencananya akan hancur. Jika dia mengatakan segalanya, dia tahu pasti Sekar akan pergi, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Panji tidak ingin sendirian lagi.
"Jika uang itu diganti, bukankah itu akan menyelesaikan masalahmu dan menguntungkan perusahaan?," Sekar merasakan napasnya tersendat.
Bibir Panji melengkung membentuk seringai, pandangannya beralih ke arah air sebelum kembali menatap Sekar.
"Tidak," katanya. "Menjual tanpa keuntungan sama sekali tidak ada gunanya. Aku tidak mungkin menjual ide seperti itu kepada perusahaan. Dengan situasi sekarang, ada urgensi untuk menyelesaikan semuanya, dan aku tidak punya niat untuk membuat ayahku marah. Melakukan itu akan membuat kita berdua kehilangan restoran."
"Tapi dalam kasus ini?" Sekar memberanikan diri untuk bertanya.
"Bisnis adalah seni mencari keuntungan, dan intinya di sini adalah tawaranmu belum cukup menarik bagiku."
Sekar merasa kecewa, lebih gugup dan tidak berdaya daripada sebelumnya.
"Hal apa yang bisa membuatmu tertarik?"
Panji memandanginya dengan ketenangan yang mengganggu. Itulah pertanyaan yang dia tunggu-tunggu, peluang yang dia butuhkan.
"Kamu."
Sekar mengerjap. "Maaf... Aku tidak mengerti."
"Aku menginginkanmu."
"Aku tidak paham," ucap Sekar dengan perut yang terasa tenggelam hingga ke dasar. Ekspresi Panji sedingin berlian mahal yang elegan, tanpa emosi. Kombinasi itu membuatnya merasa sangat terintimidasi. Dia juga merasa bodoh, karena tentu saja Panji tidak mungkin bermaksud seperti yang dia pikirkan. Benar, Panji pernah menyarankan sesuatu di masa lalu, tapi bukankah itu hanya gurauan?
"Apa kamu selalu selambat ini menangkap maksud orang?"
"Kamu sedang membicarakan… S-s3ks?" Sekar marah karena rasa malu membuat kata terakhir itu hampir tidak terdengar.
Bulu mata hitam lebat Panji terangkat, memperlihatkan mata coklatnya yang kini tampak bosan. "Apa lagi?"
Sekar memandangnya dengan keterkejutan yang tak terkontrol, seolah-olah seekor zebra tiba-tiba muncul entah dari mana dan berjalan melintasi kapal.
"Ini semacam lelucon, kan?"
"Aku sedang tidak melucu."
Sekar terdiam, pikirannya berpacu, mencoba memahami semua yang baru saja mereka bicarakan.
"Jadi, kamu mengatakan kalau kamu akan menjual restoran itu kepadaku dengan harga yang sama seperti saat kamu membelinya dari bank... jika aku tidur denganmu?"
"Ya."
Sekar tertegun oleh persetujuan yang begitu tegas.
"Tapi itu salah secara moral."
Panji menggeleng. "Kita adalah dua orang dewasa yang saling menyetujui, dan seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, kamu punya pilihan."
Sekar mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi, marah karena merasa sangat malu seperti remaja sekolah, sementara Panji bersikap seolah tidak ada yang terjadi.
"Apakah kamu menikmati menghinaku seperti ini?"
"Bagi satu wanita itu penghinaan, tapi bagi wanita lain itu adalah pujian." Panji memberinya senyuman gelap yang penuh tantangan. "Kali ini aku yakinkan, ini bukan egoku yang berbicara, tapi fakta. Saat aku mengatakan banyak wanita yang akan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kesempatan ini."
"Yah, aku bukan salah satu dari mereka! Aku memiliki harga diri yang lebih tinggi."
"Itulah yang membuatmu jauh lebih menarik," ujar Panji dengan alis terangkat.
"Apakah kamu selalu menginginkan sesuatu yang tidak bisa kamu miliki?" tanya Sekar sedikit lebih tajam daripada yang ia maksudkan.
"Tidak selalu," Panji menjawab santai dengan helaan napas, "Tapi ada sesuatu dalam dirimu."
Sekar menguatkan bahunya. "Tubuhku bukan sesuatu yang bisa ku jadikan alat tukar."
"Baik," kata Panji sambil mengangkat bahu. "Aku akan memberitahu mereka untuk menyiapkan dokumennya sekarang, restoranmu akan diratakan dan diubah menjadi waralaba Meimart generik lainnya."
Sekar terkejut, tangannya terangkat menutupi bibirnya. Segala sesuatu di dalam dirinya terasa seperti terpelintir tajam, dan untuk sesaat dia ingin berlutut dan menangis.
"Sebelum kamu mengatakan tidak, dengarkan aku dulu," Panji mulai berbicara lagi.
Sekar berkedip, memfokuskan pandangannya kembali padanya.
"Jika perubahan dilakukan pada restoran yang ku rasa cocok dan kamu setuju dengan syaratku–" ujarnya menekankan kata terakhir, "aku akan membeli restoran itu dari perusahaan ayahku, dan aku akan tetap menjadi pemilik pasif. Jika aku membeli restoran itu setelah pernikahan kita, kamu secara otomatis akan memiliki setengahnya dalam perceraian."
Tubuh Sekar yang ramping terasa gemetar. Dia merasa Panji menginginkan banyak—menginginkan segalanya. Syarat? Satu malam bersama? Apakah itu hanya soal penaklukan? Apakah dia benar-benar menginginkannya begitu besar? Ketidaktahuannya sendiri tentang hal-hal seksual membuatnya kesal.
"Apa saja syaratmu?" Tanya Sekar “Yah, sejauh yang aku tahu,” katanya perlahan,
“ini tidak masuk akal dan gila, tapi jika tidur denganmu untuk satu malam bisa membantu keluargaku, maka—”
“Satu malam tidak akan cukup.” Panji menimpali.
Sekar merasa seperti dihantam batu besar dengan jawaban tak terduga itu. Dia tidak menyangka Panji menginginkan lebih dari satu malam. Keheningan terasa tegang.
“Berapa lama?”
“Aku menginginkanmu selama kamu bisa memberiku hiburan,” jawab Panji datar.
Sekar menundukkan kepala, menatap lantai.
“Kamu menganggapnya menghibur jika seorang wanita membencimu?” tanyanya dengan nada tajam.
Panji melangkah mendekat, hanya dua langkah memisahkan mereka. Dia menggunakan ujung jarinya untuk menarik dagu Sekar, memaksanya menatap ke arahnya.
“Aku jamin kebencian bukanlah apa yang akan kamu rasakan.” Ujar Panji.
Sekar mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mengingat kalau dia seharusnya merasa terhormat atas ketertarikan Panji. Namun, rasa muak berkecamuk di dalam dirinya hingga dia merasa pusing memikirkan pertukaran ini. Panji memegang semua kendali, bagaimana mungkin dia berkata tidak?
“Aku menginginkan jawabanmu sekarang,” kata Panji tegas. Kilau coklat di matanya begitu intens hingga seakan-akan semua oksigen di antara mereka terbakar habis.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'