Seorang Duta Besar Republik Indonesia yang bertugas di Belanda, diperintahkan pulang oleh pimpinan Partai, untuk dicalonkan sebagai Presiden pada Pemilu 2023. Dialah Milano Arghani Baskara. Pria mapan berusia 35 tahun yang masih berstatus single. Guna mendongkrak elektabilitasnya dalam kampanye, Milano Arghani Baskara, atau yang lebih dikenal dengan nama Arghani Baskara, diminta untuk segera menikah. Tidak sedang menjalin hubungan dengan wanita manapun, Argha terpaksa menerima Perjodohan yang diatur oleh orang tuanya. Dialah Nathya Putri Adiwilaga. Wanita muda berumur 23 tahun. Begitu Energik, Mandiri dan juga Pekerja keras. Nathya yang saat ini Bekerja di sebuah Hotel, memiliki mimpi besar. Yaitu melanjutkan pendidikan S2 nya di Belanda.
Akankah cinta beda usia dan latar belakang ini bersemi?
Mampukah Nathya menaikkan elektabilitas suaminya dalam berkampanye??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sirchy_10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Sikap menyebalkan tante Riana tidak berhenti saat Nathya bangun kesiangan hari itu saja. Hal yang sama berlanjut hingga hari- hari setelahnya dan kini sudah 3 minggu lebih lamanya.
Nathya sampai sakit mental karena hampir setiap hari diserang dengan perkataan kasar yang tidak berdasar. Dimana letak kesalahan dirinya? Pikir Nathya.
Nathya telah berusaha menyesuaikan diri dengan jadwal Argha, bahkan memastikan dirinya bangun lebih awal dari nona- nona maid. Ia pun selalu memperhatikan detail penampilan Argha, agar selalu tampil tampan, rapi dan wangi ketika keluar dari kediaman Baskara. Dan bersikap layaknya pasangan yang sedang jatuh cinta di mabuk asmara.
Lalu, apa lagi sekarang?
"Tidak becus. Benar- benar tidak becus. Buat malu saja kamu."
Mengapa tante itu yang jadi penguasa di rumah mertuanya? Air mata Nathya luruh karena masih tak paham dimana letak kesalahannya. Mengapa tante Riana terus menyerangnya?
Apakah tante itu terobsesi pada keponakannya sendiri alias Argha sehingga melakukan segala cara agar Nathya tertekan lalu melayangkan gugatan cerai pada Argha?
Tolong ya tante. Pernikahan mereka baru berumur 1 bulan. Nathya tidak sanggup membayar denda besar jika ia melanggar kontrak setahunnya. Namun jika terus begini, Nathya benar- benar tidak sanggup dan harus menjadwalkan diri untuk berkonsultasi ke Psikiater atau poli kejiwaan.
Mirisnya penderitaan justru bukan berasal dari sikap Argha yang sedatar papan tulis— yang bahkan tidak ada apa- apanya. Atau serangan pertanyaan dari wartawan yang terus menanyakan apa keunggulan Argha. Rasa sakitnya berasal dari salah satu anggota keluarga besar bukan inti, yang kebetulan teramat dihormati oleh keluarga Baskara, Her Majesty tante Riana.
Mungkinkah tante Riana adalah kepala suku di keluarga Baskara, sehingga merasa dirinya berada di atas awan dalam memperlakukan orang lain, yang dirasa tidak cocok dengan nilai budaya yang telah keluarga Baskara anut, sejak jaman Kerajaan Majapahit?
Tante itu luar biasa semena- mena. Sama sekali tidak mengizinkan Nathya memberi pendapat. Semua yang Nathya lakukan selalu salah dimatanya. Selalu memberi kritikan pedas dan tajam namun tidak memberinya solusi.
Selalu meletakkan Nathya pada posisi yang tidak menguntungkan sejak pertama kali bertemu dimeja makan. Yang artinya sudah dua puluh satu hari, Nathya berjuang tertatih- tatih membela hak dan martabatnya yang di caci secara brutal.
Sakit sekali rasanya mendengar dirinya disebut tidak tau diri, tidak tau malu, tidak becus atau bahkan tidak pantas untuk Argha. Selalu dibanding- bandingkan dengan seseorang yang pernah mampir dalam kisah cinta Argha.
Siapa pula itu? Nathya tidak kenal. Dan bodoh amat juga, tidak mau tau.
Nathya yang terkadang tidak turut dalam jadwal Argha, harus rela terjebak di dalam rumah bersama wanita iblis itu. Atau saat ada jadwal rutin keluarga Baskara dan ia terpaksa mewakili keluarga suaminya, Nathya selalu menjadi pihak yang dirundung. Entah itu menyinggung Ras, warna kulit dan lain sebagainya. Nathya dianggap tidak cantik dan kampungan. Bahkan tidak sedikit dari mereka memberi tekanan untuk ia bercerai dari Argha.
Ternyata mereka tidak benar- benar welcome pada Nathya. Hanya keluarga inti Argha saja yang memperlakukan ia dengan baik. Sayangnya tante Dewina sudah memiliki jadwal berbeda, sehingga tak bisa ikut dengannya dan tak bisa membelanya dari perundungan keluarga sendiri. Melani pun juga sama. Adik iparnya itu bekerja di pemerintahan, jadi sering pulang malam.
Sampai kapan ia harus diam kala ujaran kebencian itu di dapatkannya tampa alasan yang jelas. Tante itu hanya berubah jinak kalau salah satu anggota keluarga Baskara berada di tengah- tengah mereka. Namun ketika sendiri, ia kembali ke setelan pabrik.
Jika bicara mengenai hak, justru Nathya yang paling berhak untuk menguasai rumah mertuanya daripada tante tua itu. Malangnya, Nathya berubah menjadi pribadi yang gak enakkan sehingga tidak mampu mengatakan "Tante, saya gak bisa ya, tante begini kan terus! Saya bakal adukan tante ke Argha, biar tante di deportasi dan harus kembali ke negara tetangga."
Ya, wanita iblis itu memang sudah pindah kewarganegaraan dari kapan tahun. Katanya sih untuk melupakan kenangannya bersama calon suami di bumi pertiwi.
Nathya sampai menangis pilu di balik selimut. Nathya benar- benar stres dengan keadaan. Menikah saja sudah mengguncang kejiwaannya, ditambah lagi sikap buruk dari tante Riana. Lengkap sudah penderitaannya. Bolehkan Nathya berteriak untuk melepaskan beban dihatinya?
Selimut milik Argha mungkin sudah lelah menjadi saksi, Nathya yang selalu menangis diam- diam karena gejolak amarah yang tertahan. Nathya yang memiliki kepribadian keras, bahkan tidak segan untuk berdebat sengit jika tak sesuai dengan isi kepalanya, kini harus meluruhkan segala egonya demi menjadi sosok menantu yang baik dan harus menjaga sikap agar tidak membuat malu keluarga Argha.
"Thya, kamu masih sakit?" tanya Argha malam itu di kamar.
Ya menurut ngana aja pak Argha yang terhormat.
Laki- laki dominan itu duduk di sisi ranjang, lalu dengan perhatian menyentuh dahi sang istri yang sejak dua hari terakhir bersuhu cukup panas. Nathya bersyukur Argha masih menanyakan bagaimana keadaannya, bahkan menawarkan untuk gantian tidur di sofa setelah melihat Nathya hampir pingsan di hadapannya.
Namun yang sedang sakit tidak menjawab. Bibirnya terkatub rapat. tubuhnya masih terasa pegal seolah habis di timpa berton- ton batu kali. Kali ini Nathya percaya, segala penyakit memang berasal dari pikiran. Dan itu fakta, karena ia merasakan sendiri.
"Maaf. Kamu harus menghadapi situasi ini," lanjut Argha. Ia menyadari selama ini ia tidak pernah menanyakan bagaimana keadaan dan kondisi Nathya selama berada di kediaman Baskara. Dan tidak membantu, kala tante Riana berkata- kata kasar padanya.
Mendengar ucapan Argha, air mata Nathya mengalir deras. Ia sangat menyayangkan sikap Argha yang lempem terhadap tantenya itu dan tidak mampu membela atau menyelamatkannya dari situasi buruk, semenjak bergabungnya si iblis Majesty Tante Riana.
Pastinya Nathya kecewa berat. Padahal jelas- jelas dalam kontrak tertulis, bahwa Argha akan menjadi suami yang sepantasnya, tidak bersikap buruk atau menutup mata akan penderitaan Nathya. Tapi mana buktinya, 3 minggu terakhir yang bersangkutan tidak bisa memenuhi perjanjian. Maka dari itu, Nathya menggaris bawahi masalah ini. Dan akan menuntut ganti rugi di kemudian hari. Lihat saja nanti.
Sebetulnya Nathya bisa memahami, Argha memiliki segudang agenda yang harus ia prioritaskan. Tapi, bisa tidak sikap datar dan dinginnya di kurangin sedikit? Minimal peka sedikit gitu lho, berinisiatif membawa Nathya ke rumah sakit. Tapi bapak itu tidak melakukannya.
Rasa sakit hati Nathya sudah tidak mampu diungkapkan dengan kata- kata. Sehingga mengacuhkan keberadaan yang terhormat tuan Arghani Baskara. Bodo teuing ma sama bapak.
Nathya yang tidak menggubris ucapan Argha, membuat bakal capres itu berlalu ke kamar mandi guna membersihkan diri. Tubuhnya butuh kesegaran, karena sedari pagi sudah melalang buana kesana kemari, demi kepentingan persiapan Kampanye.
Beberapa saat berlalu, Argha pun keluar dari kamar mandi, dan menghampiri Nathya kembali.
"Thya, mau ke dokter?"
Hei putra kebanggaan Indonesia. Apakah pertanyaan itu penting untuk di tanyakan saat ini? Nyawa istri anda sudah hampir hilang. Masih bertanya ingin ke dokter atau tidak? Tolong pak tolong, peka sedikit jadi suami. Tahu tidak, dua hari ini Nathya hanya mengandalkan obat- obat generik yang diberi oleh kepala pelayan. Pasti gak tau kan?
Nathya pun tidak berinisiatif untuk ke dokter sendiri. Pasalnya, ia cukup takut dengan jarum suntik. Sebenarnya kalau di paksa kan, Nathya mampu- mampu saja melawan rasa takut atau sakitnya jarum suntik tersebut. Hanya saja ia membutuhkan dukungan secara moral. Minimal, tangannya butuh di genggam untuk menghadap ke dokter. Butuh seseorang yang memberinya keyakinan lalu mengatakan "Ada aku disini, jangan takut disuntik ya".
Apa Bapak Argha yang terhormat ini, tidak mampu mengerti kode sesederhana itu? Apakah Nathya harus menghadapi rasa sakitnya sendiri?
Keterlaluan kali lah bapak ini.
Diamnya Nathya, membuat Argha memutuskan sendiri. Lalu menelpon dokter pribadi keluarga untuk datang ke kediamannya. Kenapa gak dilakukan dari kemarin sih pak?
Tak lama kemudian yang ditunggu- tunggu pun datang. Dokter yang bernama Rizal itu segera memeriksa Nathya.
"Pak Argha, sepertinya pasangan anda butuh liburan."
Ucapan sang dokter membuat dahi Argha bertaut. Sementara Nathya, ingin bersorak dalam hati. Dokter ini sangat tahu apa yang Nathya butuhkan saat ini. Ia memang butuh liburan, suasana baru dan jauh dari iblis wanita itu.
"Saya gak bisa untuk saat ini, dokter."
Jawaban Argha yang memberi penolakan, membuat Nathya kembali stres. Padahal beberapa detik yang lalu, tubuhnya terasa diberi tenaga oleh ucapan dokter Rizal.
"Maaf pak, hanya liburan yang bisa menyembuhkan Nyonya. Karena yang sakit itu bukan fisiknya, tapi mentalnya."
Argha mengalihkan pandangannya pada Nathya yang juga memberinya tatapan bling- bling sarat akan permohonan untuk pergi liburan.
"Lagipula, pak Argha belum sempat honeymoon kan?"
Argha terbatuk mendengar kata honeymoon, yang sebetulnya memang belum mereka lakukan, perkara jadwal Argha yang sibuknya sudah menyaingi kesibukan Presiden Jaka Widoyo. Seharusnya, Argha memang harus menyisihkan waktu tiga sampai lima hari setelah resepsi, untuk mendekatkan diri pada Nathya. Minimal, mereka harus saling mengenal dulu agar kerja sama ini berjalan dengan lancar.
"Atau paling tidak, dijauhkan dulu dari keramaian, pak. Kasusnya cukup berat. Nyonya sedang stres dan mungkin tertekan juga," lanjut dokter Rizal menjelaskan.
Aduh pak Dokter, kenapa anda sangat mengerti dibanding suami Nathya sendiri. Membuat Nathya ingin memberi simbol hati dengan jarinya ala- ala pasangan korea yang ada di drakor lalu mengatakan saranghae dokter Rizal.
"Akan saya pikirkan kembali," jawab Argha.
"Baiklah pak Argha. Saya pamit kalau begitu. Permisi."
Setelah dokter Rizal berlalu, Argha kembali duduk di tepian ranjang dan menatap Nathya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukan tatapan marah, karena Nathya banyak maunya. Melainkan tatapan sarat penyesalan karena tidak menyadari wanitanya sedang stres dan dalam keadaan tertekan.
"Kalau kita pindah ke hotel saja bagaimana?" tanya Argha Random.
Setelah membantu Nathya meminum obatnya, Laki- laki dominan itu mendadak jadi perhatian. Membuat Nathya tidak siap akan perubahan Argha yang tiba- tiba demikian.
"Kita stay di hotel sampai rumah yang di Kemang rampung?" sambungnya dengan nada Khawatir.
Mungkinkah Argha mulai mempertimbangkan kesehatan mental Nathya yang betulan kacau akibat sikap buruk tantenya? Ia sedikit menyesali keputusannya membawa Nathya tinggal bersama orang tuanya, ketika tante Riana menginap.
Namun Argha tidak punya pilihan lain. Karena rumah pribadi milik Argha yang berada di Kemang, belum selesai direnovasi. Pernikahan yang mendadak membuat satu dua hal lainnya luput dari persiapan.
"Berapa Lama?"
"Mungkin satu atau dua bulan," jawab Arga santai.
Enteng sekali cocot anda Pak Argha. satu bulan dua bulan itu lama. Mending pindah ke kosan aja, batin Nathya. Membayangkan berapa biaya yang harus di keluarkan Argha untuk waktu selama itu, membuat hati Nathya menjerit takut. Karena hotel yang di maksud Argha minimal maksimal sekelas Ritz Carlton Mega Kuningan atau sedikit dibawahnya, Four Point Sherston.
Membayangkan Argha harus mengeluarkan Rp. 1.500.000 perhari untuk kamar termurah, dikali 60 hari lalu dikali dua kamar, karena ia ingin kamar yang terpisah, membuat sakit Mental Nathya semakin parah.
Namun Nathya menyadari, jika seorang Arghani Baskara, tidak bisa tidur di kamar hotel yang biasa- biasa saja. Minimal maksimalnya harus di kamar Suite dengan range delapan juta perhari. Membuat Nathya kejang- kejang tidak bisa menerima, berapa banyak yang harus di keluarkan Argha demi dirinya. Kepala Nathya terasa semakin sakit memikirkan kelakuan orang kaya yang satu ini.
"Tidak ada opsi lain, pak?" tanya Nathya merasa tidak sreg dengan rencana Argha yang ingin pindah ke hotel.
"Kamu maunya gimana? Saya juga butuh saran dari kamu," kata Argha sembari menghela napas.
"Gak tahu," jawab Nathya ikut- ikutan menghela napas beratnya. Sejenak berpikir dan tidak menemukan solusi lain, akhirnya Nathya pasrah. "Terserah bapak kalau gitu. Saya ngikut aja."
Mendengar jawaban tak bersemangat dari Nathya membuat Argha benar- benar tidak bisa mengabaikannya. Argha pun menyentuh dahi yang sakit sekali lagi, memastikan obat yang diminum barusan bekerja maksimal.
"Ok. Kita liburan."
nunggu loh ini
ayo thya, kekep truss. jngan ksih celah buat mantan alias sidugong.
smngat thor, up trus.... hehe
sehat sllu. 💖💖💖💖💖
dri kmrin kutunggu up
double dong thor!?
pling kutunggu upnya
smoga kk othornya khilap up lg. hehehhe.
smngat kaka
sehat selalu 😍😍😍😍😍😍😍😍
hehehe up