🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#32
#32
Hari masihlah pagi, tapi bocah berusia 7 tahun itu sudah bangun untuk menunaikan sholat subuh di masjid bersama sang Ayah.
Keduanya bergandengan mesra sementara Ammar berceloteh riang sepanjang perjalanan, Irfan pun sesekali menanggapi dengan gurauan agar suasana tetap santai.
“Eyang…” Seru Amma ketika melihat Bu Ratih melintas dengan secangkir wedang jahe hangat di tangannya.
“Waduh… sudah bangun rupanya,”
“Iya dong Yang, kan Ammar semakin besar, harus rajin ke masjid seperti Ayah.”
“Besarkah? Kayaknya di mata Eyang, kamu tetap bayi mungil yang Eyang gendong kemana-mana.” Ledek Bu Ratih.
“Aaaahhh Eyang … mana ada bayi berusia 8 tahun,” Keluh Ammar. “Kan hari ini Ammar ulang tahun Eyang, yang ke delapan niihh… “ Ammar mengangkat kedua tangannya yang hanya menampilkan 8 jari.
“Ah hahaha iya lah iya lah, apa Eyang yang mulai pikun ya… masa lupa kalau cucunya sudah berusia 8 tahun.” Bu Ratih meraih Ammar ke pelukannya. Kemudian membisikkan ucapan selamat, karena sudah bertambah usia, serta segenap doa dan harapan untuk kesehatan, kebahagian, serta perlindungan dari Allah dimanapun sang cucu berada.
“Eh… Mas… kok badannya anget?” Tanya Vu Ratih ketika menyadari suhu badan Ammar lebih hangat dari biasanya.
“Nggak, Eyang… aku gak papa.” jawab Ammar, ia bahkan lari ditempat untuk menunjukkan bahwa dirinya sehat sehat saja.
“Lagi ngapain, Mas? Kok lompat-lompat?” Tanya Hilda.
“Kata Ibu, badan Ammar sedikit hangat.” Jawab Irfan.
“Coba Bunda periksa.” Hilda mendekat dan mulai memeriksa suhu badan Ammar. “Iya … agak hangat nih, hari ini istirahat aja ya?”
Seketika wajah Ammar muram, ia teringat akan Janji Om Aldy yang akan mendatanginya di hari ulang tahun, mereka akn kembali mengulang keseruan minggu lalu. “Aaahh gak mau… aku sehat.” Elak Ammar tak mau kalah.
“Hari ini aja, sayang. Besok pagi pasti Ammar sudah sehat.” Hilda kembali membujuk.
“Gak mau, Bunda, hari ini Om Aldy janji akan datang…” Ammar mulai menjelaskan alasannya. “Pokok nya gak mau istirahat.” Ammar menghentakkan kakinya menuju kamar.
Mendengar jawaban Ammar, Hilda hanya mampu memejamkan mata, ikatan darah memang tak bisa bohong, Aldy memang baru saja hadir dalam hidup Ammar, tapi bocah itu sudah merasakan kedekatan secara fisik, dan kini mungkin secara emosional, terlihat dari reaksinya ketika Hilda memintanya istirahat hari ini.
Hilda hendak mengejar, namun Irfan melarangnya, “biar aku yang bicara.”
Hilda pun pasrah, di saat seperti ini hanya Irfan yang bisa membujuk Ammar.
Ammar sedang meringkuk di balik selimut, sementara sang Ayah ikut berbaring memeluk bocah yang kini berusia 8 tahun tersebut. “Mas, tahu gak, didunia ini siapa yang paling sayang sama kita?”
Ammar diam, jelas sekali tak ingin menanggapi, “jika boleh di andaikan, seorang Ibu adalah Malaikat yang selalu mendampingi kita, Allah memberikan pertolongan-Nya melalui kedua tangan seorang Ibu. Kita pernah tinggal, tumbuh, makan dan bernafas dalam perut Ibu selama sembilan bulan. Sesudah lahir kita masih merepotkan Ibu, makan dengan ASI Ibu, menangis ingin digendong kemana-mana, buang kotoran ibu yang membersihkan, apa sekarang jika Bunda meminta Mas istirahat, Mas gak mau menurut?”
Ammar membuka selimutnya perlahan, wajahnya masih cemberut, walau kemarahannya mulai pudar. “Mas juga sayang Bunda, Ayah…” Ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
“Good … jagoan Ayah memang hebat, anak sholeh harus lebih sayang sama Bunda.”
“Kalau Ayah??”
“Rasulullah berkata, sayangi Ibumu, Ibumu, Ibumu, baru Ayahmu. Artinya mas harus tiga kali lebih sayang Bunda baru kemudian sayang Ayah.”
Ammar mengangguk, “sekarang minum obat dulu ya? Ayah Yakin Om Aldy akan mengerti kalau hari ini Ammar harus Istirahat, karena sedang sakit.”
Sebenarnya Irfan dan Hilda tak pernah membiasakan perayaan Ulang tahun anak-anak mereka, hanya saja, di hari Ulang tahun, Hilda biasa memasak banyak menu istimewa untuk disantap bersama-sama dengan para pekerja dan karyawan di rumah besar Bu Ratih.
.
.
Siang itu Ammar bangun setelah tertidur akibat efek obat turun panas yang ia minum.
“Mas … sudah bangun?”
Ammar hanya mengangguk, wajah nya pucat seperti tak dialiri Darah, “pusing, Bunda.” Keluhnya.
Hilda mengusap kepala dan kening Ammar, sudah tidak demam lagi, tapi justru berkeringat dingin.
“Mas Ammar kenapa, Bunda.” Tanya Azam yang kebetulan sedang di suapi oleh sang Bunda.
“Mas, masih sakit sayang.” Jawab Hilda lembut. Sekilas ia menatap Azam… dan…
“Bunda…!!! Itu … Darah…!!!” Pekik Azam dengan suara keras.
“Astaghfirullah…” Seru Hilda ketika kembali menatap Ammar, yang kini hidungnya mengeluarkan darah segar. “Azam ambilkan tisu.”
Dengan gesit Azam turun dari sofa dan menyambar kotak tisu di atas meja. “Azam, panggil Ayah!!!” Hilda kembali memekik ketika darah yang keluar belum juga berhenti. Sementara tisu yang Hilda gunakan untuk menyerap darah, jumlahnya sudah tak terhitung.
“Bunda… kok gelap.” Keluh Ammar.
“Hah, gelap?” Ulang Hilda, padahal lampu ruangan sedang menyala terang. “Mas…!!!”
“Ada apa, Bund?” Dari arah pintu Irfan berjalan cepat.
“Mas… Ammar pingsan.”
Wajah Irfan mendadak Irfan segera membopong tubuh Ammar, “Bersiaplah!!! Kita ke rumah sakit sekarang!!”
Tanpa menunggu lagi, Hilda segera menyiapkan kartu berobat, serta apa saja yang mungkin nanti dibutuhkan selama di Rumah sakit.
.
.
Senada dengan Irfan dan Hilda, Aldy mondar-mandir di lorong UGD, ia cemas luar biasa karena sekilas tadi melihat wajah pucat Ammar serta noda darah di hijab Hilda.
Bayangan buruk tentang penyakit aneh-aneh mulai melintas. Tak bisa dibayangkan jika tubuh kecil Ammar dipenuhi dengan berbagai macam alat-alat medis demi menopang hidup nya.
Tapi kemudian Aldy menggelengkan kepalanya, ia beristighfar memohon ampun atas prasangkanya, berharap apa yang dibayangkan tak menjadi nyata.
“Keluarga pasien, Ammar…” Seru seorang dokter UGD yang menanganinya.
Hilda, irfan, beserta Aldy otomatis mendekati dokter tersebut.
“Gimana Anak saya, Dok?” Tanya Hilda.
“Pasien hanya kelelahan, kondisi tubuhnya juga sedang drop.”
“Hanya karena itu, Dok? Tapi tadi darah yang keluar banyak sekali?” Tanya Irfan.
“Dari hasil pemeriksaan awal begitu, Pak.”
Hilda sedikit bernafas lega, namun tidak dengan Irfan, begitupun Aldy. Keduanya justru berpikir untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
“Silahkan, pasien sudah bisa ditemui, tapi dia belum sadarkan diri, dia juga sudah mendapatkan transfusi darah, jika tidak ada halangan, nanti sore sudah boleh pulang. ”
“Baik, Dok, terima kasih.”
.
.
Sore harinya, Aldy sengaja meminta waktu pada Irfan untuk bicara berdua, sangat tidak mungkin jika ia melibatkan Hilda, mengingat emosinya yang masih belum stabil akibat pertengkaran mereka minggu lalu.
“Maaf, Fan …”
“Tak usah minta maaf, aku yakin kamu pun sama khawatirnya denganku.”
“Kamu benar, Fan, apalagi aku baru saja mengetahui keberadaan Ammar, kini semakin cemas ketika melihat ia kembali sakit, kejadian beberapa minggu yang lalu, sudah cukup membuat nyawaku terlepas dari raga, di tambah lagi hari ini.”
Irfan mengangguk, ia meneguk kopi hangat yang ada di genggamannya. “Oh iya, ada yang ingin kamu sampaikan?”
“Iya, aku harap kamu tak tersinggung dengan permintaanku.”
“Ada apa? Jangan membuatku semakin takut.” Desak Irfan.
“Bisakah kamu meminta Dokter, untuk melakukan pemeriksaan lanjutan?”
“Haruskah sekarang? Karena aku pun berniat melakukan hal yang sama.”
“Iya, harus sekarang, karena aku takut, jika ada sesuatu yang gawat, dan kita terlambat mengetahuinya, aku tak ingin ada penyesalan di kemudian hari.”
Yah… waspada lebih baik, begitu pikir Aldy, ia pernah sangat menyesal, dan kini ia tak ingin mengulang penyesalan untuk kedua kalinya.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg