Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipotermia
"Seharusnya kita tadi ikut bersama para TNI itu!" keluh Kusuma.
"Lalu kenapa kamu nggak bareng mereka?" tanya Abdi.
"Karena ada kamu," jawab Kusuma sambil tersenyum.
"Jangan senyum-senyum, kita masih terjebak di hutan ini!" sahut Abdi dengan nada serius, namun tak urung membuat Kusuma tersenyum kecil lagi.
"Kalau kita nggak bisa keluar dari sini, kamu bakal nyesel nggak?" tanya Kusuma, memancing.
"Sudah, jangan bicara aneh-aneh!" potong Abdi.
Namun Kusuma tak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu, energi kuat yang tak terlihat mengawasi mereka. Meski tak terasa jahat, tetap saja ia merasa waspada.
Diam-diam, Kusuma mundur perlahan, mendekat ke arah Abdi yang duduk tak jauh darinya.
"Ada apa?" Abdi menatapnya curiga.
"Enggak, nggak apa-apa," jawab Kusuma buru-buru, mencoba tersenyum menenangkan.
Pandangan matanya menyapu sekitar, tapi tidak ada apa pun di sana. Hutan tampak sunyi dan gelap. Rasa lelah mulai menguasainya, dan ia hampir tak mampu menahan keinginan untuk tidur.
Ia melirik Abdi, yang tampak sudah terlelap dengan napas teratur. Namun, bibir Abdi tampak sedikit bergetar, tanda tubuhnya kedinginan.
"Dok... Dokter Abdi," panggil Kusuma, mengguncang tubuhnya pelan.
Abdi membuka mata perlahan, suaranya terdengar lemah. "Kita istirahat di sini saja, Kusuma. Aku capek."
"Ada apa, Dok?"
"Kamu kedinginan, kan?" tanyanya lirih.
"Iya... tapi kenapa, Dok?"
"Aku mau minta sesuatu... boleh nggak?" suara Abdi makin kecil, hampir seperti bisikan.
"Minta apa?"
"Kalau aku pasienmu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
Melihat kondisi Abdi, Kusuma segera bergerak. Tubuhnya menggigil, kulitnya dingin, dan terasa kaku. Kusuma tahu, ini bukan sekadar lelah, ada sesuatu yang salah.
"Dokter... hipotermia, ya?" tanya Kusuma cemas. Abdi tak menjawab, hanya terdiam dengan kesadaran yang semakin memudar.
Meskipun tubuhnya sendiri kedinginan, Kusuma akhirnya melepas jas praktik milik Abdi yang ia kenakan. Jas itu ia lipat rapi dan letakkan di bawah tubuh Abdi sebagai alas, memastikan pria itu lebih nyaman bersandar pada pohon.
Ragu dan bingung, Kusuma mendekat ke Abdi, berbisik lirih di telinganya.
"Dok... maaf, ya. Saya cuma mau bantu Dokter," katanya pelan.
Tangan Kusuma yang bergetar mulai membuka kancing baju Abdi satu per satu. Setelah itu, ia membuka hem yang ia pakai sendiri. Ini pertama kalinya ia melakukan sesuatu seperti ini, dan ketakutan bercampur keberanian memacu detak jantungnya.
Dalam dinginnya malam di tengah hutan, Kusuma dan Abdi akhirnya tertidur dalam keadaan berpelukan, berbagi kehangatan untuk menghindari bahaya yang lebih besar.
Ketika suara adzan subuh menggema dari kejauhan, Abdi perlahan tersadar. Matanya yang berat terbuka sedikit, dan ia segera menyadari keberadaan Kusuma yang tertidur di atas tubuhnya.
Kusuma terlihat damai, sementara tangan Abdi masih melingkar di punggung gadis itu, yang tertutup hem merah hati tanpa motif.
"Kusuma... kamu baik-baik saja?" tanyanya lemah, namun Kusuma tidak menjawab. Ia masih terlelap, membuat Abdi memutuskan untuk tetap membiarkannya tidur.
Beberapa menit kemudian, Kusuma terbangun perlahan. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya masih dalam pelukan Abdi. Menyadari hal itu, wajahnya memerah, namun ia segera mencoba mengatur napas dan berdiri.
Abdi, yang sudah sadar sepenuhnya, memejamkan mata lagi, pura-pura masih tertidur.
"Dok... Dokter Abdi, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Kusuma, memandang wajahnya dari dekat.
Tangan Kusuma mengusap lembut wajah Abdi, memastikan suhu tubuhnya sudah normal. Ia tersenyum lega dan mulai membenahi pakaiannya.
Abdi akhirnya membuka mata, menatap Kusuma yang tengah membetulkan pakaiannya sambil beranjak dari sisinya.
"Dok... ayo bangun, ya," kata Kusuma sambil membantu mengancingkan baju Abdi dengan tangannya yang cekatan.
Saat ia hendak memasangkan celana panjang Abdi yang tadi dilepas, Abdi meraih pergelangan tangannya, menghentikannya.
"Kusuma..." Abdi memanggil dengan suara rendah, tatapannya lembut namun tegas. "Mendekatlah sebentar."
"Biar aku pakai sendiri." Abdi mencoba bangkit, namun tubuhnya masih lemah, membuat Kusuma sigap membantunya berdiri.
Setelah merapikan celananya, Abdi kembali duduk di samping Kusuma. Ia meraih tangan gadis itu dengan tatapan penuh rasa syukur.
"Aku nggak tahu bagaimana caranya membalas kebaikanmu," ucap Abdi dengan suara lirih.
"Dokter nggak perlu begitu. Aku cuma berusaha menolong," jawab Kusuma cepat.
"Jangan panggil 'dokter,' panggil saja 'Mas,'" ujar Abdi tiba-tiba, membuat Kusuma mengernyit heran.
"Mas?" Kusuma menatapnya dengan ragu.
Sadar dirinya keceplosan, Abdi hanya tersenyum kecil, berusaha mengalihkan perhatian.
"Mas tadi lihat aku pas berdiri, ya?!" seru Kusuma tiba-tiba, wajahnya memerah saat ia memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan, merasa malu.
"Tenang, duduk dulu. Kita bicarakan ini baik-baik," bujuk Abdi dengan nada lembut.
"Sudah, nggak usah bahas ini lagi," balas Kusuma cepat. "Yang penting Mas Abdi sudah lebih baik. Aku juga nggak akan mengungkit ini lagi. Lagi pula, aku cuma membantu menghangatkan tubuh Mas tadi. Karena lihat Mas cuma pakai celana kolor, ya aku lepas buat bantu," jelasnya, suaranya sedikit bergetar.
Abdi tersenyum hangat, lalu mengusap rambut Kusuma pelan. "Terima kasih, ya," ucapnya tulus.
Matahari mulai memperlihatkan sinarnya dari balik pepohonan. Kusuma memandang langit yang cerah dengan harapan baru.
"Sebentar lagi matahari terbit. Semoga kita bisa keluar dari hutan ini dan kembali bekerja," harapnya.
"Tadi aku dengar suara adzan," tambah Abdi. "Mungkin ada perkampungan di sekitar sini. Lebih baik kita segera jalan."
Dengan tubuhnya yang masih lemah, Abdi mencoba berdiri, bertumpu pada batang pohon besar di sampingnya. Namun, langkahnya terlihat goyah, membuat Kusuma segera memegang lengannya.
"Jangan dipaksakan, Mas! Tubuhmu baru saja pulih," kata Kusuma cemas.
"Aku nggak bisa diam saja. Kita harus kembali, kasihan yang lain kalau sampai bingung mencari kita," balas Abdi, meski tubuhnya masih terasa berat.
Tiba-tiba Kusuma menunjuk sesuatu di kejauhan. "Mas, lihat itu!"