Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Hari itu, Bagas dan Siti menuju kantor Hasan untuk pertemuan yang telah mereka atur dengan cermat. Hasan mungkin adalah salah satu kunci utama untuk memahami jaringan Bayangan, dan mereka akan menggunakan bukti baru berupa surat Ordo Mata Senja sebagai tekanan.
Sebelum keluar dari mobil, Bagas memeriksa surat itu sekali lagi. Tertulis instruksi-instruksi dari pemimpin Ordo Mata Senja untuk proyek-proyek tertentu, dan di sudut bawah, terdapat tanda tangan Hasan Setiawan, bukti bahwa ia terlibat jauh lebih dalam daripada yang ia akui sebelumnya.
“Kali ini, kita tidak akan memberinya ruang untuk mengelak,” ujar Bagas dengan nada tegas.
Siti mengangguk, sorot matanya penuh keteguhan. “Pak Hasan tak punya alasan lagi untuk berbohong. Kalau dia menolak, kita akan menunjukkan padanya apa yang kita tahu.”
---
Konfrontasi dengan Hasan
Sesampainya di kantor Hasan, mereka langsung diterima di ruang kerjanya yang luas dan elegan. Hasan tampak gelisah ketika mereka masuk, seakan sudah menyadari tujuan kedatangan mereka. Setelah beberapa basa-basi yang singkat, Bagas mengeluarkan surat itu dan meletakkannya di atas meja Hasan.
Hasan menatap surat itu dengan mata terbelalak, wajahnya langsung pucat ketika menyadari bahwa surat tersebut adalah bukti dari masa lalunya. “Dari mana kalian mendapat ini?” tanyanya dengan nada gemetar.
Bagas menatap Hasan tanpa ampun. “Kami punya cara sendiri, Pak Hasan. Kami tahu bahwa Anda tidak hanya sekadar tahu tentang Bayangan, tetapi juga bagian dari organisasi mereka sejak lama.”
Hasan menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Dengar, saya memang pernah terlibat dengan Ordo Mata Senja. Tapi itu masa lalu. Saya tidak lagi berhubungan dengan mereka.”
Siti menatapnya tajam, suaranya penuh ketegasan. “Kalau begitu, buktikan dengan membantu kami. Bayangan telah menghancurkan hidup banyak orang, dan Anda bisa membantu menghentikan mereka.”
Hasan tampak bimbang, namun akhirnya ia membuka mulut. “Baiklah… Kalian benar. Bayangan bukan hanya penerus dari Ordo Mata Senja; mereka lebih kuat sekarang, lebih tersembunyi. Mereka memegang kekuasaan di berbagai sektor, dan pemimpin mereka dikenal sebagai… Bayu Setra.”
Bagas dan Siti terkejut. Mereka belum pernah mendengar nama ini, namun dari nada bicara Hasan, jelas bahwa Bayu Setra adalah sosok penting dalam jaringan Bayangan.
“Siapa Bayu Setra?” tanya Bagas, suaranya penuh antisipasi.
Hasan menelan ludah, matanya dipenuhi ketakutan. “Dia adalah salah satu pendiri Ordo Mata Senja yang tetap bertahan hingga kini. Dialah yang mengendalikan Bayangan dari balik layar, pria yang sangat berbahaya dan tak segan menghabisi siapa saja yang dianggap sebagai ancaman.”
Siti mendengarkan dengan serius. “Lalu di mana kami bisa menemukan Bayu Setra?”
Hasan menggelengkan kepala. “Tak ada yang tahu pasti. Bayu selalu beroperasi dalam bayangan, melalui perantara. Tapi saya dengar, ia sering bertemu dengan anggota senior di sebuah tempat rahasia… sebuah rumah di luar kota, dekat hutan tua yang tak terjamah.”
Bagas mengingat lokasi itu, ia tahu bahwa tempat tersebut tak mudah dijangkau, namun jika Bayu Setra sering berada di sana, ini adalah kesempatan mereka.
---
Ancaman yang Semakin Memuncak
Saat mereka selesai dengan percakapan itu dan bersiap meninggalkan kantor Hasan, ponsel Siti bergetar. Sebuah pesan tanpa nama masuk, dan begitu ia membacanya, wajahnya langsung berubah tegang.
“Pak Bagas, ini pesan dari nomor tak dikenal. Isinya… ancaman untuk kita agar berhenti menyelidiki Bayangan,” bisik Siti.
Bagas mengambil ponsel Siti dan membaca pesan itu: “Ini peringatan terakhir. Jika kalian terus mencampuri urusan kami, nyawa kalian yang akan menjadi bayarannya.”
Sadar bahwa Bayangan mengawasi setiap langkah mereka, Bagas tahu bahwa penyelidikan ini sudah melibatkan risiko yang sangat tinggi. Namun, mereka juga semakin dekat pada jawaban yang mereka cari.
“Kita tak punya waktu lagi, Siti. Kita harus bergerak sebelum mereka punya kesempatan untuk menghentikan kita,” ujar Bagas dengan nada tegas.
Siti mengangguk, meski ia tahu bahwa keputusan ini berarti mereka benar-benar tak bisa mundur lagi.
---
Menelusuri Jejak Bayu Setra
Malam itu, dengan informasi baru yang mereka dapatkan dari Hasan, Bagas dan Siti memutuskan untuk pergi ke rumah yang disebut Hasan, tempat yang diduga sering dikunjungi oleh Bayu Setra. Rumah itu terletak di tengah hutan tua, tempat yang jarang dijamah orang dan hampir tidak terlihat di peta.
Setelah berkendara selama beberapa jam, mereka akhirnya tiba di hutan tua tersebut. Tempat itu sunyi, hanya ada suara angin yang menggerakkan dedaunan, menciptakan suasana mencekam yang membuat bulu kuduk berdiri. Mereka berjalan dengan hati-hati, menyusuri jalan setapak yang ditutupi dedaunan kering.
“Apa kau yakin ini tempatnya, Pak?” bisik Siti, mencoba menahan kegelisahan.
Bagas mengangguk, matanya fokus meneliti setiap sudut. “Hasan mungkin berbohong tentang banyak hal, tapi kali ini dia terlihat ketakutan. Aku yakin ini tempat yang kita cari.”
Setelah beberapa menit, mereka menemukan sebuah rumah tua yang tersembunyi di antara pepohonan besar. Bangunan itu tampak sudah lama ditinggalkan, namun beberapa jendela terlihat bersih dan ada jejak kaki di sekitar pintu masuk, tanda bahwa tempat itu masih sering dikunjungi.
Bagas memberi isyarat pada Siti untuk tetap tenang. Mereka mendekati pintu rumah, mencoba mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela yang tertutup. Di dalam, mereka melihat beberapa pria yang sedang berbincang dengan serius, wajah mereka terlihat tegang.
Namun, sebelum mereka bisa melihat lebih jauh, salah satu pria di dalam ruangan berbalik dan melihat ke arah jendela tempat mereka bersembunyi. Bagas dan Siti segera mundur, berusaha tak terlihat.
“Mereka mungkin tahu kita di sini,” bisik Bagas.
Tanpa membuang waktu, mereka menyelinap menjauh dari jendela, bersembunyi di balik semak-semak, dan mengawasi dari kejauhan. Mereka melihat seorang pria dengan postur tegap keluar dari rumah itu, diikuti oleh beberapa pria lain. Sosok itu, meski samar, memiliki aura otoritas yang kuat. Bagas menduga itu adalah Bayu Setra.
Namun, pria tersebut hanya berdiri di depan pintu sebentar, berbicara dengan anak buahnya, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Bagas dan Siti menyadari bahwa ini adalah kesempatan besar untuk mendekat, namun risiko untuk ditemukan juga sangat besar.
---
Sebuah Pilihan Berbahaya
Setelah memastikan area sekitar cukup aman, Bagas dan Siti memutuskan untuk kembali mendekat dan mencoba mendengar percakapan di dalam rumah. Mereka merayap pelan, mencoba tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.
Ketika mereka cukup dekat, suara pria yang diduga sebagai Bayu Setra terdengar samar dari dalam. “Kita sudah terlalu lama membiarkan mereka. Saatnya menyingkirkan ancaman ini untuk selamanya.”
Mereka mendengar beberapa pria lain menyetujui perintah itu. Bagas dan Siti menyadari bahwa apa pun yang mereka bicarakan, rencana Bayangan kini sudah melibatkan keputusan untuk menghabisi siapa pun yang mencoba mengungkap mereka, termasuk mungkin mereka sendiri.
Siti menatap Bagas dengan ekspresi cemas. “Pak, kalau mereka tahu kita di sini, kita tidak akan punya kesempatan.”
Bagas mengangguk, matanya tajam penuh tekad. “Kita sudah tahu siapa pemimpin mereka sekarang. Ini waktunya kita membuat rencana untuk membongkar semua ini. Tapi pertama-tama, kita harus keluar dari sini dengan selamat.”
Dengan hati-hati, mereka menjauh dari rumah tersebut dan kembali ke mobil mereka, menghilang ke dalam malam yang semakin gelap.
---
Semangat.