Nadia Pramesti, seorang arsitek muda berbakat, mendapatkan kesempatan kedua dalam hidup setelah sebuah kecelakaan tragis membawanya kembali ke masa lalu, tepat sebelum hidupnya hancur karena kepercayaan yang salah dan pengkhianatan —akibat kelicikan dan manipulasi Dinda Arumi, sahabat masa kecil yang berubah menjadi musuh terbesarnya, dan Aldo, mantan kekasih yang mengkhianati kepercayaannya.
Di kehidupannya yang baru, Nadia bertekad untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan menghindari perangkap yang sebelumnya menghancurkannya. Namun, Dinda, yang selalu merasa tersaingi oleh Nadia, kembali hadir dengan intrik-intrik yang lebih kejam, berusaha tidak hanya menghancurkan karier Nadia tetapi juga merenggut satu-satunya pria yang pernah benar-benar dicintainya, Raka Wijaya.
Nadia tidak hanya berhadapan dengan musuh eksternal, tetapi juga harus melawan rasa tidak percaya diri, trauma masa lalu, dan tantangan yang terus meningkat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkepung di Kegelapan
Bab 23
Namun, sebelum mereka bisa menginvestigasi lebih jauh, suara pintu yang terbuka tiba-tiba menghentikan langkah mereka. Raka dan Bayu segera bersembunyi di balik peralatan yang ada, memperhatikan dengan cermat siapa yang masuk.
Seorang pria tinggi dengan wajah dingin masuk, diikuti oleh beberapa orang yang tampak seperti anak buahnya. Pria itu membawa sebuah tablet, tampaknya sedang memantau sesuatu.
“Lina tidak akan suka kalau dia tahu tempat ini ditemukan,” kata salah satu anak buahnya.
Pria tinggi itu hanya tersenyum dingin. “Itu tidak masalah. Tempat ini hanya satu dari banyak yang kita miliki. Dan para pengganggu itu... mereka akan segera mendapatkan balasannya.”
Raka dan Bayu saling bertukar pandang. Mereka menyadari bahwa tempat ini mungkin sengaja dibiarkan sebagai umpan. Lina telah menyiapkan jebakan yang tersusun rapi untuk mereka.
Mereka harus segera keluar dari tempat itu sebelum terlambat. Namun, ketika mereka berbalik untuk keluar, pintu yang mereka masuki tadi terkunci dengan suara keras. Alarm mulai berbunyi, dan mereka tahu bahwa mereka telah terperangkap.
“Ini jebakan!” seru Bayu sambil mencari jalan keluar. Mereka berdua berlari ke arah jendela, mencoba membuka jalan, namun kaca itu ternyata lebih kuat dari yang mereka kira. Mereka terjebak di dalam, sementara suara langkah kaki semakin mendekat.
Nadia yang berada di rumah aman mendengar suara alarm melalui komunikasi yang masih tersambung. “Raka! Bayu! Kalian di sana?” tanyanya dengan cemas.
Raka merespon dengan cepat. “Kami terperangkap. Ini jebakan. Lina pasti sudah menunggu kita.”
Nadia segera memutuskan sambungan dan menghubungi salah satu kontaknya untuk meminta bantuan. Dia tahu bahwa waktu sangat berharga, dan setiap detik yang terlewat bisa berarti akhir dari misi mereka.
Ketegangan yang semakin memuncak. Bayu dan Raka harus menemukan jalan keluar dari jebakan yang telah disusun dengan sangat rapi oleh Lina, sementara Nadia berjuang untuk mendapatkan bantuan sebelum semuanya terlambat. Pertarungan mereka dengan Lina kini telah mencapai titik kritis, dan satu kesalahan kecil bisa berujung pada kehancuran.
Raka dan Bayu berpacu dengan waktu. Setiap detik yang berlalu membuat mereka semakin terdesak. Sirene terus meraung, menggema di sepanjang lorong-lorong sempit bangunan tersebut. Cahaya merah dari alarm yang berkedip-kedip menambah intensitas ketegangan, menyoroti wajah-wajah mereka yang tegang.
Bayu menendang pintu darurat di sudut ruangan, namun pintu itu tak bergeming. “Pasti ada cara lain keluar dari sini,” katanya dengan suara putus asa, sambil memeriksa dinding-dinding di sekitarnya untuk menemukan jalan keluar yang tersembunyi.
Raka menatap ke arah langit-langit. “Lihat, ada ventilasi udara di atas. Itu mungkin satu-satunya jalan keluar kita.”
Tanpa membuang waktu, mereka menarik meja yang ada di dekatnya dan mulai memanjat. Bayu membuka tutup ventilasi dengan susah payah, sementara Raka membantu mendorongnya ke atas. Setelah Bayu berhasil masuk, dia menarik Raka ke dalam. Ruang di dalam ventilasi sempit, membuat mereka harus merangkak sambil menahan napas, berharap mereka bisa keluar dari jebakan ini sebelum musuh datang.
Di sisi lain, Nadia dengan cemas menunggu kabar dari mereka. Sambil menghubungi kontaknya, dia memantau semua jalur komunikasi yang tersambung ke pusat kontrol tempat Bayu dan Raka berada. Tapi apa yang dia lihat di layar membuatnya semakin khawatir. Peta digital menunjukkan bahwa gedung tersebut perlahan dikepung oleh pasukan Lina. Mereka tidak hanya harus melarikan diri dari jebakan, tetapi juga harus menghadapi musuh yang sudah menunggu di luar.
“Nadia, kita masih di sini!” suara Bayu terdengar di radio kecil yang mereka bawa. “Kami menemukan ventilasi, tapi tidak tahu kemana ini akan membawa kita.”
“Aku melihat posisi kalian,”
Nadia cepat-cepat mengecek peta digital yang memperlihatkan denah bangunan. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, mencoba mencari tahu di mana ventilasi yang diakses oleh Raka dan Bayu akan berakhir.
“Ventilasi itu... seharusnya terhubung ke ruangan yang ada di lantai dasar,” ujar Nadia dengan nada penuh konsentrasi. “Tapi kalian harus hati-hati, karena pasukan Lina mungkin sudah berada di area tersebut. Aku akan mencoba menonaktifkan sistem keamanan untuk memberikan kalian waktu lebih banyak.”
Raka dan Bayu melanjutkan perjalanan mereka melalui ventilasi yang sempit. Setiap gerakan terasa lambat, dan rasa takut akan ketahuan semakin besar. Mereka terus merangkak dalam keheningan, hanya terdengar desahan napas dan gesekan pakaian mereka dengan dinding logam.
Sementara itu, Nadia terus mencoba mengalihkan perhatian pasukan Lina dengan mengirim sinyal-sinyal palsu ke berbagai titik di gedung tersebut. “Aku berhasil menonaktifkan sebagian sensor keamanan,” katanya sambil menarik napas lega. “Tapi kalian harus segera keluar dari sana. Aku tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi.”
Raka dan Bayu akhirnya tiba di ujung ventilasi, yang terbuka di atas ruangan besar yang dipenuhi dengan peralatan dan kotak-kotak. Mereka bisa melihat pintu keluar di sudut ruangan, tetapi juga menyadari bahwa ada beberapa penjaga yang berpatroli di dekatnya.
“Kita harus turun dengan hati-hati,” bisik Raka sambil menatap ke bawah, mencoba merencanakan langkah mereka berikutnya.
Bayu mengangguk dan mulai menurunkan dirinya perlahan-lahan dari ventilasi. Mereka berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun, namun saat Bayu hampir mencapai lantai, tiba-tiba salah satu penjaga mendengar sesuatu.
“Siapa di sana?” seru penjaga itu dengan waspada, langsung memegang senjatanya.
Dengan cepat, Raka dan Bayu bersembunyi di balik kotak-kotak besar yang ada di ruangan itu. Mereka menahan napas, berharap tidak terdeteksi. Namun, ketika penjaga itu mulai mendekat, Raka mengambil keputusan cepat. Dia memberi isyarat pada Bayu, dan dalam hitungan detik, mereka berdua menyerang penjaga tersebut. Bayu berhasil mematikan lampu yang ada di ruangan itu, sementara Raka menaklukkan penjaga dengan gerakan cepat dan presisi.
“Bagus,” bisik Raka setelah mereka berhasil menjatuhkan penjaga itu. “Sekarang kita harus segera keluar.”
Dengan pintu keluar yang sudah jelas di depan mata, mereka berlari secepat mungkin, berusaha menghindari perhatian dari penjaga lain yang mungkin berada di luar.
Ketika mereka berhasil melewati pintu keluar, angin malam yang dingin menyambut mereka. Namun, kebebasan itu tidak datang tanpa harga. Sirene semakin keras terdengar, dan dari kejauhan, mereka bisa melihat mobil-mobil hitam yang melaju ke arah gedung.
Nadia, yang terus memantau dari jauh, berbicara lagi melalui radio. “Kalian harus segera pergi! Aku akan mencoba menunda mereka, tapi kalian harus menemukan tempat aman sekarang juga.”
Raka dan Bayu saling bertukar pandang sebelum berlari menuju mobil yang mereka parkir tidak jauh dari situ. Namun, ketika mereka hampir sampai, sebuah tembakan terdengar, dan peluru menghantam tanah di depan mereka. Mereka segera berlindung di balik dinding terdekat.
“Mereka sudah dekat!” seru Bayu, sambil mengeluarkan senjatanya.
Raka dengan tenang mengecek area sekitar, mencoba mencari celah untuk melarikan diri. “Kita harus mencari jalan lain,” katanya sambil mengamati situasi.
Namun sebelum mereka bisa merencanakan langkah berikutnya, suara langkah kaki semakin mendekat. Dengan napas tertahan, mereka menunggu momen yang tepat untuk bertindak.
Raka dan Bayu terkepung di tengah kegelapan, menghadapi ancaman dari segala arah. Mampukah mereka meloloskan diri dari jebakan ini, atau akankah mereka terperangkap dalam jaringan musuh yang semakin menutup? Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di udara, sementara waktu terus berjalan tanpa ampun.
Bersambung...